Tindak Pidana Korupsi

No comments

  1. Pengertian Korupsi

Kata korupsi berasal dari bahasa latin; Corrupti atau Corruptus yang secara harfiah berarti kebusukan, kebejatan, tidak jujur, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata yang menghina atau memfitnah sebagaimana dapat dibaca dalam The Lexion Webster Dictionary.

Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris: Corruption, Corrupt; Perancis: Corruption, dan Belanda: Corruptive (Koruptie). Dapat dikatatan dari bahasa Belanda inilah turun ke bahasa Indonesia: Korupsi.

Dalam ensiklopedi hukum Islam yang dimaksud korupsi adalah:

“Perbuatan buruk atau tindakan menyelewengkan dana, wewenang, waktu dan sebagainya untuk kepentingan pribadi sehingga menyebabkan kerugian bagi pihak lain.”

Rumusan yuridis formal istilah korupsi di Indonesia ditetapkan dalam bab II pada Pasal 2-16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi:

  1. (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara. (2) Dalam hal tindak korupsi sebagai mana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
  2. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuntungan Negara atau perekonomian Negara.
  3. Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209, 210, 387, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425, dan 435 KUHP.
  4. Setiap orang yang melanggar undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini.
  5. Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.
  6. Setiap orang di luar wilayah Negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.

Kemudian dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 Tentang Perubahan Atas Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ada pemberantasan beberapa item yang digolongkan tindak pidana korupsi, yaitu mulai Pasal 5 sampai dengan Pasal 12. Pada Pasal 5 misalnya memuat ketentuan tentang penyuapan terhadap pegawai negeri atau penyelenggaraan Negara, Pasal 6 tentang penyuapan terhadap hakim dan advokat. Pasal 7 memuat tentang kecurangan dalam pengadaan barang atau pembangunan, dan seterusnya.

Memperhatikan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, maka Tindak Pidana Korupsi dapat dilihat dari dua segi, yaitu korupsi aktif dan korupsi pasif

Yang dimaksud dengan Korupsi Aktif adalah sebagai berikut :

  1. Secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999)
  • Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999)
  • Memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut ( Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999)
  • Percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan Tindak Pidana Korupsi (Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999)
  • Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara dengan maksud supaya berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajiban (Pasal 5 ayat(1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999)
  • Memberi sesuatu kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya (Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)
  • Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili (Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)
  • Pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan Negara dalam keadaan perang (Pasal 7 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)
  • Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a (Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)
  1. Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang dapat membahayakan keselamatan Negara dalam keadaan perang (Pasal 7 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)
  1. Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c (Pasal 7 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)
  1. Pegawai Negeri atau orang lain selain Pegawai Negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau untuk sementara 21 waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan surat berharga itu diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut (Pasal 8 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)
  1. Pegawai Negeri atau selain Pegawai Negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau sementara waktu, dengan sengaja memalsukan buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi (Pasal 9 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)

Sedangkan Korupsi Pasif adalah sebagai berikut :

  1. Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang menerima pemberian atau janji karena berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya (Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)
  • Hakim atau advokat yang menerima pemberian atau janji untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili atau memperngaruhi nasihat atau pendapat yang diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili (Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)
  • Orang yang menerima penyerahan bahan atau keperluan Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia yang membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c Undang-Undang nomor 20 Tahun 2001 (Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001).

b. Unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi

Unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 adalah:

  1. Pelaku (subjek), sesuai dengan Pasal 2 ayat (1). Unsur ini dapat dihubungkan dengan Pasal 20 ayat (1) sampai (7), yaitu:
    1. Dalam hal tindak pidana korupsi oleh atau atas suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya.
    1. Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.
    1. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.
    1. Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat diwakili orang lain.
    1. Hakim dapat memerintah supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintah supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan.
    1. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.
    1. Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu pertiga).
    1. Melawan hukum baik formil maupun materil.
    1. Memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi.
  • Dapat merugikan keuangan atau perekonomian Negara.
  • Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

   C.       Sebab-sebab Korupsi

Sebab-sebab terjadinya korupsi diantaranya adalah:

  1. Kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri di banding dengan kebutuhan sehari- hari yang semakin lama semakin meningkat,
  2. Ketidakberesan manajemen,
  3. Modernisasi
  4. Emosi mental,
  5. Gabungan beberapa faktor.
  6. Memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi.
  • Dapat merugikan keuangan atau perekonomian Negara.
  • Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
  • Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

Peraturan Perundangan Di Indonesia Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Peraturan perundangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi sebenarnya sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal-pasal dalam KUHP yang memuat tindak pidana korupsi adalah Pasal 209, 210, 215, 216, 217, 218, 219, 220, 423, 425, dan 435. Penyalahgunaan jabatan dijelaskan di dalam Bab XXVIII KUHP.

Untuk efektifnya pemberantasan tindak pidana korupsi pemerintah membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Terakhir pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Pembentukan Lembaga Pemberantasan Korupsi

Sebetulnya suatu Badan yang bertugas untuk mengusut dan memberantas tindak pidana korupsi telah ada sejak lama misalnya MPR dan DPR dalam ranah politiknya dan MA, Kejaksaan, dan Kepolisian dalam ranah hukumnya. Disamping itu masih ada lembaga- lembaga seperti BPK, BPPN, dan BPKB, hanya saja lembaga-lembaga tersebut tidak secara khusus menangani korupsi. Lembaga-lembaga tersebut juga menangani kasus-kasus lainnya sehingga kerja-kerja dan pengawasan lembaga tersebut tidak bisa maksimal dan optimal untuk secara khusus menangani dan memberantas korupsi. Untuk memaksimalkan dan menyempurnakan lembaga-lembaga yang telah ada sebelumnya maka pemerintah membentuk yang disebut KPKPN (Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara). Komisi ini bertugas untuk memeriksa atau mengaudit kekayaan para penyelenggara Negara kemudian menginformasikan kepada publik. Namun demikian keberadaan lembaga ini sebenarnya kurang begitu strategis dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia karena kewenangan yang dimilikinya sangat terbatas yakni hanya pada penyelidikan dan penyidikan.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka kemudian dibentuk suatu komisi khusus yang akan menangani dan memberantas korupsi yaitu KPTPK (Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) yang kemudian terakhir disebut KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). KPK merupakan lembaga Negara yang bersifat independen yang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya bebas dari kekuasaan manapun. Visi KPK ini adalah “Mewujudkan Indonesia yang Bebas Korupsi”. Visi tersebut merupakan suatu visi yang cukup sederhana namun mengandung pengertian yang mendalam. Visi ini menunjukkan suatu tekad kuat dari KPK untuk segera dapat menuntaskan segala permasalahan yang menyangkut KKN. Pemberantasan korupsi memerlukan waktu yang tidak sedikit mengingat masalah korupsi ini tidak akan dapat ditangani secara instan, namun diperlukan suatu penanganan yang komprehensif dan sistematis.

Sementara Misi KPK adalah “Penggerak Perubahan untuk Mewujudkan Bangsa yang Anti Korupsi”. Dengan misi tersebut diharapkan bahwa komisi ini nantinya merupakan suatu lembaga yang dapat “membudayakan” anti korupsi di masyarakat, pemerintah dan swasta di Indonesia. Komisi sadar bahwa tanpa adanya keikutsertaan komponen masyarakat, pemerintah dan swasta secara menyeluruh maka upaya untuk memberantas korupsi akan kandas ditengah jalan. Diharapkan dengan partisipasi seluruh lapisan masyarakat tersebut, dalam beberapa tahun mendatang Indonesia akan bebas dari KKN.

secara khusus menangani dan memberantas korupsi. Disamping itu, peraturan perundangan tentang tindak pidana korupsi juga belum dilaksanakan secara konsisten.

Sesuai dengan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, komisi ini mempunyai tugas:

  1. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
  2. Supervise terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
  3. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
  4. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan Negara.

Sementara wewenang komisi ini dijelaskan dalam Pasal 7 sampai Pasal 14 Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002. Adapun susunan komisi ini terdiri dari lima orang, satu orang ketua merangkap anggota dan empat orang wakil ketua merangkap anggota yang kelima orang tersebut merupakan pejabat Negara, empat anggota sebagai tim penasehat dan pegawai KPK debagai pelaksana tugas.

5 Asas KPK dalam Menjalankan Tugas dan Wewenangnya

KPK bertanggung jawab kepada publik dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden, DPR, dan BPK.

Dalam Menjalankan Tugas dan wewenangnya KPK berpatokan pada lima asas yaitu:

1. Kepastian hukum

Asas Kepastian Hukum merupakan asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara.

2. Keterbukaan

Asas Keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara.

3. Akuntabilitas

Asas Akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

d. Kepentingan umum

Asas Kepentingan Umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.

e. Proporsionalitas

Asas Proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban Penyelenggara Negara.

PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Persidangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di atur didalam BAB VII Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002  Dengan Undang-Undang ini dibentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi sesuai bunyi dari Pasal 53 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 .

Adapun di dalam Pasal 54 Ayat (1) menjelaskan mengenai Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berada di lingkungan Peradilan Umum. Ayat (2) Untuk pertama kali Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang wilayah hukumnya meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia dan Ayat (3) Pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara bertahap dengan Keputusan Presiden.

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam Persidangannya di Pimpin oleh Hakim yang mana susuannya tercantum didalam Pasal 56 yang isinya sebagai berikut ;

(1) Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terdiri atas hakim Pengadilan Negeri dan hakim ad hoc.

(2) Hakim Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung.

(3) Hakim ad hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden Republik Indonesia atas usul Ketua Mahkamah Agung.

(4) Dalam menetapkan dan mengusulkan calon hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Ketua Mahkamah Agung wajib melakukan pengumuman kepada masyarakat.

Kesulitan-kesulitan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Menurut Mahfudz MD ada dua pilihan yang bisa diambil, pertama adalah amputasi yaitu dengan melakukan pemberhentian terhadap pejabat-pejabat pemerintah dalam level tertentu. Misalnya semua pejabat di birokrasi yang pada akhir Orde Baru telah mencapai usia tertentu (misalnya berusia 45 tahun) atau menduduki jabatan dalam level tertentu, harus diberhentikan tanpa pandang bulu dengan sebuah produk hukum. Produk hukum yang dimaksud adalah Undang-Undang pemberhentian otomatis atau Undang-Undang Lustrasi. Kedua, melakukan pengampunan nasional dengan syarat tertentu terhadap semua pejabat masa lalu yang diduga melakukan korupsi.

Dengan sistem yang semacam ini sangat sulit untuk memberantas korupsi  yang sudah mengakar kuat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini. Oleh karena itu perlu dilakukan perubahan paradigma yaitu dari sistem hukum yang formal-prosedural ke arah yang menitikberatkan pada penegakan keadilan.

 

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Andi Hamzah. 1984. Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta

Ensiklopedi Hukum Islam. 2003. PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta 

Moh. Mahfud MD. 2003. Setahun Bersama Gus Dur Kenangan Menjadi Menteri di saat Sulit. LP3ES. Jakarta

INTERNET

www. Komisi Pemberantasan Korupsi. 20 Juni 2005

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Tindak Pidana

Kitab Undang-undang Hukum Pidana

Share
       
bambangTindak Pidana Korupsi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *