Membahas masalah etika profesi dan hukum kebidanan sangat penting bagi mahasiswa kebidanan untuk mengetahui tentang apa itu etika, apa itu moral dan bagaimana menerapkannya dalam praktik kebidanan. Sehingga dengan hal tersebut seorang bidan akan terlindung dari kegiatan pelanggaran etik/moral ataupun pelanggaran dalam hukum yang sedang berkembang di hadapan publik dan erat kaitannya dengan pelayanan kebidanan sehingga seorang bidan sebagai provider kesehatan harus kompeten dalam menyikapi dan mengambil keputusan yang tepat untuk bahan tindakan selanjutnya sesuai standar asuhan dan kewenangan bidan.
Etika juga sering dinamakan filsafat moral yaitu cabang filsafat sistematis yang membahas dan mengkaji nilai baik buruknya tindakan manusia yang dilaksanakan dengan sadar serta menyoroti kewajiban-kewajiban yang seharusnya dilakukan oleh manusia. Perbuatan yang dilakukan sesuai dengan norma moral maka akan memperoleh pujian sebagai rewardnya, namun perbuatan yang melanggar norma moral, maka si pelaku akan memperoleh celaan sebagai punishmentnya.
Istilah etik yang kita gunakan sehari-hari pada hakikatnya berkaitan dengan falsafah moral yaitu mengenai apa yang dianggap baik atau buruk di masyarakat dalam kurun waktu tertentu, sesuai dengan perubahan/perkembangan norma/nilai. Pada zaman sekarang ini etik perlu dipertahankan karena tanpa etik dan tanpa diperkuat oleh hukum, manusia yang satu dapat dianggap sebagai saingan oleh sesama yang lain. Saingan yang dalam arti lain harus dihilangkan sebagai akibat timbulnya nafsu keserakahan manusia.
Kalau tidak ada etik yang mengekang maka pihak yang satu bisa tidak segan¬segan untuk melawannya dengan segala cara. Segala cara akan ditempuh untuk menjatuhkan dan mengalahkan lawannya sekadar dapat tercapai tujuan.
BAB II
PEMBAHASAN
PENGERTIAN ETIKA (KODE ETIK)
Etika merupakan bagian filosofis yang berhubungan erat dengan nilai manusia dalam menghargai suatu tindakan, apakah benar atau salah, dan penyelesaiannya baik atau tidak.
Etika diartikan “sebagai ilmu yang mempelajari kebaikan dan keburukan dalam hidup manusia khususnya perbuatan manusia yang didorong oleh kehandak dengan didasari pikiran yang jernih dengan pertimbangan perasaan”.
Etik ialah suatu cabang ilmu filsafat. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa etik adalah disiplin yang mempelajari tentang baik atau buruk sikap tindakan manusia.
Menurut bahasa, Etik diartikan sebagai: dalam bahasa Yunani yaitu Ethos, kebiasaan atau tingkah laku, sedangkan dalam bahsa Inggris berarti Ethis, tingkah laku/prilaku manusia yg baik – tindakan yg harus dilaksanakan manusia sesuai dengan moral pada umumnya.
Selain itu etik juga merupakan aplikasi dari proses & teori filsafat moral terhadap kenyataan yg sebenarnya. Hal ini berhubungan dengan prinsip-prinsip dasar & konsep yg membimbing makhluk hidup dalam berpikir & bertindak serta menekankan nilai-nilai mereka.
Bagi sosiolog, etika adalah adat, kebiasaan dan perilaku orang-orang dari lingkungan budaya tertentu. Bagi praktisi profesional termasuk dokter dan tenaga kesehatan lainnya etika berarti kewajiban dan tanggung jawab memenuhi harapan (ekspekatasi) profesi dan amsyarakat, serta bertindak dengan cara-cara yang profesional, etika adalah salah satu kaidah yang menjaga terjalinnya interaksi antara pemberi dan penerima jasa profesi secara wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat.
- Sistematika Etika
Sebagai suatu ilmu maka etika terdiri atas berbagai macam jenis dan ragamnya antara lain:
- Etika deskriptif, yaitu memberikan gambaran atau ilustrasi tentang tingkah laku manusia ditinjau dari nilai baik/buruk serta hal-hal yangboleh dilakukan sesuai dengan norma etis yang dianut oleh masyarakat.
- Etika Normatif, yaitu membahas dan mengkaji ukuran baik buruk tindakan manusia, etika normatif juga dikelompokkan menjadi beberapa kelompok , sbb:
1). Etika umum, yaitu membahas hal-hal yang berhubungan dengan kondisi manusia untuk bertindak etis dalam mengambil kebijakan berdasarkan teori-teori dan prinsip-prinsip moral.
2). Etika khusus; yaitu terdiri dari Etika sosial, Etika individu dan Etika Terapan.
- a) Etika sosial menekankan tanggung jawab sosial dan hubungan antar sesama manusia dalam aktivitasnya.
- b) Etika individu lebih menekankan pada kewajiban-kewajiban manusia sebagai pribadi.
- c) Etika terapan adalah etika yang diterapkan pada profesi.
Pada tahun 2001 ditetapkan oleh MPR-RI dengan ketetapan MPR-RI No.VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Bangsa. Etika kehidupan bangsa bersumber pada agama yang universal dan nilai-nilai luhur budaya bangsa yaitu Pancasila.
Etika kehidupan berbangsa antara lain meliputi: Etika Sosial Budaya, Etika Politik dan Pemerintahan, Etika Ekonomi dan Bisnis, Etika Penegakkan Hukum yang Berkeadilan, Etika Keilmuan, Etika Lingkungan, Etika Kedokteran dan Etika Kebidanan.
- Kode Etik Profesi
Kode etik suatu profesi adalah berupa norma-norma yang harus diindahkan oleh setiap anggota profesi yang bersangkutan didalam melaksanakan tugas profesinya dan dalam hidupnya di masyarakat. Pada dasarnya tujuan menciptakan atau merumuskan kode etik suatu profesi adalah untuk kepentingan anggota dan kepentingan organisasi.
Secara umum tujuan menciptakan kode etik adalah sebagai berikut:
- Untuk menjunjung tinggi martabat dan citra profesi
Dalam hal ini yang dijaga adalah image dad pihak luar atau masyarakat mencegah orang luar memandang rendah atau remeh suatu profesi. Oleh karena itu, setiap kode etik suatu profesi akan melarang berbagai bentuk tindak tanduk atau kelakuan anggota profesi yang dapat mencemarkan nama baik profesi di dunia luar. Dari segi ini kode etik juga disebut kode kehormatan.
- Untuk menjaga dan memelihara kesejahtraan para anggota
Yang dimaksud kesejahteraan ialah kesejahteraan material dan spiritual atau mental. Dalam hal kesejahteraan materil angota profesi kode etik umumnya menerapkan larangan-larangan bagi anggotanya untuk melakukan perbuatan yang merugikan kesejahteraan. Kode etik juga menciptakan peraturan-peraturan yang ditujukan kepada pembahasan tingkah laku yang tidak pantas atau tidak jujur para anggota profesi dalam interaksinya dengan sesama anggota profesi.
- Untuk meningkatkan pengabdian para anggota profesi
Dalam hal ini kode etik juga berisi tujuan pengabdian profesi tertentu, sehingga para anggota profesi dapat dengan mudah mengetahui tugas dan tanggung jawab pengabdian profesinya. Oleh karena itu kode etik merumuskan ketentuan-ketentuan yang perlu dilakukan oleh para anggota profesi dalam menjalankan tugasnya.
- Untuk meningkatkan mutu profesi
Kode etik juga memuat tentang norma-norma serta anjuran agar profesi selalu berusaha untuk meningkatkan mutu profesi sesuai dengan bidang pengabdiannya. Selain itu kode etik juga mengatur bagaimana cara memelihara dan meningkatkan mutu organisasi profesi.
- ETIKA (KODE ETIK) PROFESI KEBIDANAN
Kode etik profesi merupakan “suatu pernyataan komprehensif dari profesi yang memberikan tuntunan bagi angotanya untuk melaksanakan praktik dalam bidang profesinya baik yang berhubungan dengan klien /pasien, keluarga, masyarakat, teman sejawat, profesi dan dirinya sendin”.
- Fungsi Etika dan Moralitas Dalam Pelayanan
- Menjaga otonomi dari setiap individu khususnya Bidan dan Klien
- Menjaga kita untuk melakukan tindakan kebaikan dan mencegah tindakan yg merugikan/membahayakan orang lain.
- Menjaga privacy setiap individu
- Mengatur manusia untuk berbuat adil dan bijaksana sesuai dengan porsinya
- Dengan etik kita mengatahui apakah suatu tindakan itu dapat diterima dan apa alasannya
- Mengarahkan pola pikir seseorang dalam bertindak atau dalam menganalisis suatu masalah
- Menghasilkan tindakan yg benar
- Mendapatkan informasi tenfang hal yg sebenarnya
- Memberikan petunjuk terhadap tingkah laku/perilaku manusia antara baik, buruk, benar atau salah sesuai dengan moral yg berlaku pada umumnya
- Berhubungan dengans pengaturan hal-hal yg bersifat abstrak
- Memfasilitasi proses pemecahan masalah etik serta mengatur hal-hal yang bersifat praktik
- Mengatur tata cara pergaulan baik di dalam tata tertib masyarakat maupun tata cara di dalam organisasi profesi
- Mengatur sikap, tindak tanduk orang dalam menjalankan tugas profesinya yg biasa disebut kode etik profesi.
- Hak Kewajiban dan Tanggungjawab Kebidanan
Hak dan kewajiban adalah hubungan timbal balik dalam kehidupan sosial sehari-hari. Pasien memiliki hak terhadap bidan atas pelayanan yang diterimanya. Hak pasti berhubungan dengan individu, yaitu pasien.
Sedangkan bidan mempunyai kewajiban/keharusan untuk pasien, jadi hak adalah sesuatu yang diterima oleh pasien. Sedang kewajiban adalah suatu yang diberikan oleh bidan. Seharusnya juga ada hak yang harus diterima oleh bidan dan kewajiban yang harus diberikan oleh pasien.
- Hak Pasien
Hak pasien adalah hak-hak pribadi yang dimiliki manusia sebagai pasien/klien, seperti:
1) Pasien berhak memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di rumah sakit atau instusi pelayanan kesehatan.
2) Pasien berhak atas pelayanan yang manusiawi, adil dan jujur.
3) Pasien berhak memperoleh pelayanan kebidanan sesuai dengan profesi bidan tanpa diskriminasi.
4) Pasien berhak memilih bidan yang akan menolongnya sesuai dengan keinginannya.
5) Pasien berhak mendapatkan informasi yang meliputi kehamilan, persalinan, nifas dan bayinya yang baru dilahirkan.
6) Pasien berhak mendapat pendampingan suami atau keluarga selama proses persalinan berlangsung.
7) Pasien berhak memilih dokter dan kelas perawatan seuai dengan keinginannya dan sesuai dengan peraturan yang berlaku di rumah sakit.
8) Pasien berhak dirawat oleh dokter yang secara bebas menentukan pendapat kritis dan pendapat etisnya tanpa campur tangan dari pihak luar.
9) Pasien berhak meminta konsultasi kepada dokter lain yang terdaftar di rumah sakit tersebut (second opinion) terhadap penyakit yang dideritanya, sepengatahuan dokter yang merawat.
10) Pasien berhak meminta atas privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya.
11) Pasien berhak mendapat informasi yang meliputi:
- Penyakit yang diderita
- Tindakan kebidanan yang akan dilakukan
- Alternatif terapi lainnya
- Prognosisnya
- Perkiraan biaya pengobatan
12) Pasien berhak menyetujui/memberikan izin atas tindakan yang akan dilakukan oleh dokter sehubungan dengan penyakit yang dideritanya.
13) Pasien berhak menolak tindakan yang hendak dilakukan terhadap dirinya dan mengakhiri pengobatan serta perawatan atas tanggungjawab sendiri sesudah memperoleh informasi yang jelas tentang penyakitnya.
14) Pasien berhak didampingi keluarganya dalam keadaan kritis.
15) Pasien berhak menjalankan ibadah sesuai agama/kepercayaan yang dianutnya selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya.
16) Pasien berhak atas keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di rumah sakit.
17) Pasien berhak menerima/menolak bimbingan moril maupun spiritual.
18) Pasien berhak mendapatkan perlindungan hukum atas terjadinya kasus mal¬praktek.
- Kewajiban Pasien
1) Pasien dan keluarganya berkewajiban untuk mentaati segala peraturan dan tata tertib rumah sakit atau institusi pelayanan kesehatan.
2) Pasien berkewajiban untuk mematuhi segala instruksi dokter, bidan, perawat yang merawatnya.
3) Pasien atau penanggungnya berkewajiban untuk melunasi semua imbalan atas jasa pelayanan rumah sakit atau institusi pelayanan kesehatan, dokter, bidan dan perawat.
4) Pasien dan atau penangggungnya berkewajiban memenuhi hal-hal yang selalu disepakati/perjanjian yang telah dibuatnya.
- Hak Bidan
1) Bidan berhak mendapat perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.
2) Bidan berhak untuk bekerja sesuai dengan standar profesi pada setiap tingkat jenjang pelayanan kesehatan.
3) Bidan berhak menolak keinginan pasien/klien dan keluarga yang bertentangan dengan peraturan perundangan dan kode etik profesi.
4) Bidan berhak atas privasi dan menuntut apabila nama baiknya dicemarkan baik oleh pasien, keluarga maupun profesi lain.
5) Bidan berhak atas kesempatan untuk meningkatkan diri baik melalui pendidikan maupun pelatihan.
6) Bidan berhak memperoleh kesempatan untuk meningkatkan jenjang karir dan jabatan yang sesuai.
7) Bidan berhak mendapat kompensasi dan kesejahteraan yang sesuai.
- Kewajiban Bidan
1) Bidan wajib mematuhi peraturan rumah sakit sesuai dengan hubungan hukum antara bidan tersebut dengan rumah sakit bersalin dan sarana pelayanan tempat dia bekerja.
2) Bidan wajib memberikan pelayanan asuhan kebidanan sesuai dengan standar profesi dengan menghormati hak-hak pasien.
3) Bidan wajib merujuk pasien dengan penyulit kepada dokter yang mempunyai kemampuan dan keahlian sesuai dengan kebutuhan pasien.
4) Bidan wajib memberi kesempatan kepada pasien untuk didampingi suami atau keluarga.
5) Bidan wajib memberikan kesempatan kepada pasien untuk menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya.
6) Bidan wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien.
7) Bidan wajib memberikan informasi yang akurat tentang tindakan yang akan dilakukan serta risiko yang mungkiri dapat timbul.
8) Bidan wajib meminta persetujuan tertulis (informed consent) atas tindakan yang akan dilakukan.
9) Bidan wajib mendokumentasikan asuhan kebidanan yang diberikan.
10) Bidan wajib mengikuti perkembangan IPTEK dan menambah ilmu pengetahuannya melalui pendidikan formal atau non formal.
11) Bidan wajib bekerja sama dengan profesi lain dan pihak yang terkait secara timbal balik dalam memberikan asuhan kebidanan.
- KODE ETIK HUKUM KEBIDANAN
Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah”, sedangkan “praktek” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktek berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”. Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi.
Sedangkan difinisi malpraktek profesi kesehatan adalah “kelalaian dari seseorang dokter atau tenaga keperawatan (perawat dan bidan) untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama” (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).
Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut yuridical malpractice.
Hal ini perlu dipahami mengingat dalam profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa yang dilanggar. Karena antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk menentukan adanya ethica malpractice atau yuridical malpractice dengan sendirinya juga berbeda. Yang jelas tidak setiap ethical malpractice merupakan yuridical malpractice akan tetapi semua bentuk yuridical malpractice pasti merupakan ethical malpractice (Lord Chief Justice, 1893).
- Malpraktek Dibidang Hukum
Untuk malpraktek hukum (yuridical malpractice) dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar, yakni Criminal malpractice, Civil malpractice dan Administrative malpractice.
- Criminal malpractice
Criminal malpractice adalah seseorang yang melakukan perbuatan yang mana perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yaitu seperti positive act / negative act yang merupakan perbuatan tercela dan dilakukan dengan sikap batin yang salah yang berupa kesengajaan (intensional), kecerobohan (reklessness) atau kealpaan (negligence).
1) Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional)
- a) Pasal 322 KUHP, tentang Pelanggaran Wajib Simpan Rahasia Kebidanan, yang berbunyi:
- Ayat (1) Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencahariannya, baik yang sekarang, maupun yang dahuluj diancam dengan pidana penjara paling lama sembi Ian bulan atau denda paling banyak enam ratu rupiah.
- Ayat (2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat dituntut ata pengaduan orang itu.
- b) Pasal 346 sampai dengan pasal 349 KUHP, tentang Abortus Provokatus. Pasal 346 KUHP Mengatakan: Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
- c) Pasal 348 KUHP menyatakan:
- Ayat (1) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
- Ayat (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
- d) Pasal 349 KUHP menyatakan: Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan.
- e) Pasal 351 KUHP (tentang penganiayaan), yang berbunyi:
- Ayat (1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
- Ayat (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama lima tahun.
- Ayat (3) Jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
- Ayat (4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
- Ayat (5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
2) Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness)
Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness) misalnya melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien informed consent.
- a) Pasal 347 KUHP menyatakan:
- Ayat (l) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan dan me¬matikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
- Ayat (2) Jika perbuatan itu menyebabkan matinya wanita tersebut, dikenakart pidana penjara paling lama lima belas tahun.
- b) Pasal 349 KUHP menyatakan: Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan.
3) Criminal malpractice yang bersifat kealpaan/lalai (negligence) misalnya kurang hati-hati melakukan proses kelahiran.
- a) Pasal-pasal 359 sampai dengan 361 KUHP, pasal-pasal karena lalai menyebabkan mati atau luka-luka berat.
- Pasal 359 KUHP, karena kelalaian menyebabkan orang mati : Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan mati-nya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.
- Pasal 360 KUHP, karena kelalaian menyebakan luka berat:
Ayat (1) Barangsiapa karena kealpaannya menyebakan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lamasatu tahun.
Ayat (2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehinga menimbulkan penyakit atau alangan menjalankan pekerjaan, jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam de¬ngan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah. - Pasal 361 KUHP, karena kelalaian dalam melakukan jabatan atau pekerjaan (misalnya: dokter, bidan, apoteker, sopir, masinis dan Iain-lain) apabila melalaikan peraturan-peraturan pekerjaannya hingga mengakibatkan mati atau luka berat, maka mendapat hukuman yang lebih berat pula.
- Pasal 361 KUHP menyatakan: Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini di-lakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pencaharian, maka pidana ditambah dengan pertiga, dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencaharian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya putusnya di-umumkan.
Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan.
- Civil Malpractice
Seorang bidan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji). Tindakan bidan yang dapat dikategorikan civil malpractice antara lain:
1) Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan.
2) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melakukannya.
3) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna.
4) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability. Dengan prinsip ini maka rumah sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan karyawannya (bidan) selama bidan tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya.
- Administrative Malpractice
Bidan dikatakan telah melakukan administrative malpractice manakala bidan tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police power, pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi bidan untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja, Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban bidan.
Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hukum administrasi.
- Landasan Hukum Wewenang Bidan
Bidan adalah salah satu tenaga kesehatan. Pengaturan tenaga kesehatan ditetapkan di dalam undang-undang dan Peraturan Pemerintah. Tugas dan kewenangan bidan serta ketentuan yang berkaitan dengan kegiatan praktik bidan diatur di dalam peraturan atau Keputusan Menteri Kesehatan.
Kegiatan praktik bidan dikontrol oleh peraturan tersebut. Bidan harus dapat mempertanggungjawabkan tugas dan kegiatan yang dilakukannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Setiap bidan memiliki tanggung jawab memelihara kemampuan profesionalnya. Oleh karena itu bidan harus selalu meningkatkan pengetahuan dan ketrampilannya dengan cara mengikuti pelatihan, pendidikan berkelanjutan, seminar, dan pertemuan ilmiah lainnya.
- Syarat Praktik Profesional Bidan
1) Harus memiliki Surat Ijin Praktek Bidan (SIPB) baik bagi bidan yang praktik pada sarana kesehatan dan/atau perorangan Bdan Praktek Swasta (BPS).
2) Bidan yang praktik perorangan harus memenuhi persyaratan yang meliputi tempat dan ruangan praktik, tempat tidur, peralatan, obat-obatan dan kelengkapan administrasi.
3) Dalam menjalankan praktik profesionalnya harus sesuai dengan kewenangan yang diberikan, berdasarkan pendidikan dan pengalaman serta berdasarkan standar profesi.
4) Dalam menjalankan praktik profesionalnya harus menghormati hak pasien, memperhatikan kewajiban bidan, merujuk kasus yang tidak dapat ditangani, meminta persetujuan tindakan yang akan dilakukan dan melakukan medical record dengan baik.
5) Dalam menjalankan praktik profesionalnya bidan wajib melakukan pencatatan dan pelaporan.
- Wewenang Bidan dalam Menjalankan Praktik Profesionalnya
Dalam menangani kasus seorang bidan diberi kewenangan sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Indonesia No:900/Menkes/SK/VII/2002 tentang registrasi dan praktek bidan,yang disebut dalam BAB V praktik bidan antara lain:
1). Pasal 14 : bidan dalam menjalankan prakteknya berwenang untuk memberikan pelayanan yang meliputi : (a). Pelayanan kebidanan, (b). Pelayanan keluarga berencana, dan (c). Pelayanan kesehatan masyarakat.
2). Pasal 15 :
a). Pelayanan kebidanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 huruf (pelayanan kebidanan) ditujukan pada ibu dan anak.
b). Pelayanan kepada ibu diberikan pada masa pra nikah, pra hamil, masa hamil, masa bersalin, masa nifas, menyusui dan masa antara (periode interval).
c). Pelayanan kebidanan pada anak diberikan pada masa bayi baru lahir,masa bayi,masa anak balita dan masa pra sekolah.
3). Pasal 16 :
a). Pelayanan kebidanan kepada meliputi :
- Penyuluhan dan konseling
- Pemeriksaan fisik
- Pelayanan antenatal pada kehamilan normal
- Pertolongan pada kehamilan abnormal yang mencakup ibu hamil dengan abortus iminens, hiperemesis grafidarum tingkat 1, pre eklamsi ringan dan anemia ringan.
- Pertolongan persalinan normal
- Pertolongan persalinan abnormal yang mencakup letak sungsang, partus macet kepala di dasar panggul, ketuban pecah dini (KPD) tanpa infeksi, perdarahan post partum, laserasi jalan lahir, distosia karena inersia uteri primer, post aterm dan preterm.
- Pelayanan ibu nifas normal
- Pelayanan ibu nifas abnormal yang mencakup retensio plasenta,renjatan dan infeksi ringan
- Pelayanan dan pengobatan pada kelainan ginekologi yang meliputi keputihan,perdarahan tidak teratur dan penundaan haid.
b). Pelayanan kebidanan kepada anak meliputi:
– Pemeriksaan bayi baru lahir
– Perawatan tali pusat
– Perawatan bayi
– Resusitasi pada bayi baru lahir
– Pemantauan tumbuh kembang anak
– Pemberian imunisasi
– Pemberian penyuluhan
4). Pasal 18 : Bidan dalam memberikan pelayanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 16,berwenang untuk :
– Memberikan imunisasi
– Memberikan suntikan pada penyulit kehamilan dan nifas
– Mengeluarkan plasenta secara secara manual
– Bimbingan senam hamil
– Pengeluaran sisa jaringan konsepsi
– Episiotomi
– Penjahitan luka episiotomi dan luka jalan lahir sampai tingkat 2
– Amniotomi pada pembukaan serviks lebih dari 4 cm
– Pemberian infuse
– Pemberian suntikan intramuskuler uterotonika
– Kompresi bimanual
– Versi ekstrasi gemelli pada kelahiran bayi kedua dan seterusnya
– Vakum ekstraksi dengan kepala bayi di dasar panggul
– Pengendalian anemi
– Peningkatan pemeliharaan dan penggunaan air susu ibu
– Resusitasi bayi baru lahir dengan asfiksia
– Penanganan hipotermi
– Pemberian minum dengan sonde/pipet
– Pemberian obat-obatan terbatas melalui lembaran ,permintaan , obat sesuai dengan formulir IV terlampir
– Pemberian surat kelahiran dan kematian.
- Standar Kompetensi Kebidanan
Standar kompetensi kebidanan yang berhubungan dengan anak dan imunisasi diatur dalam Undang-Undang Kesehatan No. 23 Th 1992, yaitu sbb:
1) Pasal 15
- Ayat (1): Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyclamatkan jiwaibu hamil dan atau janinnya, dapat ditakukan tindakan medis tertentu.
- Ayat (2): Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan :
- a) berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut;
- b) oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta berdasarkan pertimbangan tim ahli;
- c) dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya;
- d) pada sarana kesehatan tertentu.
2) Pasal 80
- Ayat (1): Barang siapa dengan sengaja melakukan tindakan medis tertentu terhadap ibu hamil yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Dalam hal bidan didakwa telah melakukan ciminal malpractice, harus dibuktikan apakah perbuatan bidan tersebut telah memenuhi unsur tidak pidanya, yakni: apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan perbuatan yang tercela dan apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang salah (sengaja, ceroboh atau adanya kealpaan).
Selanjutnya apabila bidan dituduh telah melakukan kealpaan sehingga mengakibatkan pasien meninggal dunia, menderita luka, maka yang harus dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau kurang hati-hati ataupun kurang praduga.
Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan dengan dua cara yakni :
- Cara langsung, kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni :
- Duty (kewajiban). Dalam hubungan perjanjian bidan dengan pasien, bidan haruslah bertindak berdasarkan:
1) Adanya indikasi medis
2) Bertindak secara hati-hati dan teliti
3) Bekerja sesuai standar profesi
4) Sudah ada informed consent.
- Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban) Jika seorang bidan melakukan pekerjaan menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka bidan tersebut dapat dipersalahkan.
- Direct Causation (penyebab langsung)
- Damage (kerugian)
Bidan untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara penyebab (causal) dan kerugian (damage)yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan bidan. Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya kesalahan dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien).
- Cara tidak langsung
Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan (doktrin res ipsa loquitur). Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria:
- Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila bidan tidak lalai
- Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab bidan
- Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada contributory negligence.
Tidak setiap upaya kesehatan selalu dapat memberikan kepuasan kepada pasien baik berupa kecacatan atau bahkan kematian. Malapetaka seperti ini tidak mungkin dapat dihindari sama sekali. Yang perlu dikaji apakah malapetaka tersebut merupakan akibat kesalahan bidan atau merupakan resiko tindakan, untuk selanjutnya siapa yang harus bertanggung gugat apabila kerugian tersebut merupakan akibat kelalaian bidan.
Di dalam transaksi teraputik ada beberapa macam tanggung gugat, antara lain:
1). Contractual liability
Tanggung gugat ini timbul sebagai akibat tidak dipenuhinya kewajiban dari hubungan kontraktual yang sudah disepakati. Di lapangan kewajiban yang harus dilaksanakan adalah daya upaya maksimal, bukan keberhasilan, karena health care provider baik tenaga kesehatan maupun rumah sakit hanya bertanggung jawab atas pelayanan kesehatan yang tidak sesuai standar profesi/standar pelayanan.
2). Vicarius liability
Vicarius liability atau respondeat superior ialah tanggung gugat yang timbul atas kesalahan yang dibuat oleh tenaga kesehatan yang ada dalam tanggung jawabnya (sub ordinate), misalnya rumah sakit akan bertanggung gugat atas kerugian pasien yang diakibatkan kelalaian bidan sebagai karyawannya.
3). Liability in tort
Liability in tort adalah tanggung gugat atas perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Perbuatan melawan hukum tidak terbatas hanya perbuatan yang melawan hukum, kewajiban hukum baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain, akan tetapi termasuk juga yang berlawanan dengan kesusilaan atau berlawanan dengan ketelitian yang patut dilakukan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda orang lain (Hogeraad 31 Januari 1919).
- Upaya Pencegahan Malpraktek Dalam Pelayanan Kesehatan
Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat bidan karena adanya mal praktek diharapkan para bidan dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:
1). Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat verbintenis).
2). Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
3). Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
4). Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.
5). Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala kebutuhannya.
6). Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.
- Upaya Menghadapi Tuntutan Hukum
Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak memuaskan sehingga bidan menghadapi tuntutan hukum, maka bidan seharusnyalah bersifat pasif dan pasien atau keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian bidan.
Apabila tuduhan kepada bidan merupakan criminal malpractice, maka bidan dapat melakukan :
1) Informal defence
Dengan mengajukan bukti untuk menangkis/menyangkal bahwa tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya bidan mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko medik (risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap batin (men rea) sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan.
2) Formal/legal defence
Yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa.
Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya bidan menggunakan jasa penasehat hukum, sehingga yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya. Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana bidan digugat membayar ganti rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat, karena dalam peradilan perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar gugatan bahwa tergugat (bidan) bertanggung jawab atas derita (damage) yang dialami penggugat.
Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk membuktikan adanya tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan adanya hubungan langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya kesehatan (damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah orang-orang awam dibidang kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan bidan.
DAFTAR PUSTAKA
Ameln,F. 1991. Kapita Selekta Hukum Kedokteran. Grafikatama Jaya: Jakarta.
Dahlan, S. 2002. Hukum Kesehatan: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang.
Guwandi, J. 1993. Malpraktek Medik: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
Pendahuluan
Negara hukum (rechtstaat), mengandung sekurang-kurangnya 2 (dua) makna. Pertama, adalah pengaturan mengenai batasan-batasan peranan negara atau pemerintahan dalam mencampuri kehidupan dan pergaulan masyarakat. Kedua, jaminan-jaminan hukum akan hak-hak, baik sipil atau hak-hak pribadi (individual rights), hak-hak politik (political rights), maupun hak-hak sebagai sebuah kelompok atau hak-hak sosial sebagai hak asasi yang melekat ♣ Tulisan ini merupakan bagian dari penelitian dengan judul yang sama, dilakukan dengan biaya mandiri pada tahun 2012 secara alamiah pada setiap insan, baik secara pribadi atau kelompok.1 Peran masyarakat guna membangun kesehatan sangatlah penting, dengan pembangunan adanya masyarakat yang sehat dan kuat maka kesejahteraan dan peningkatan derajat kesehatan juga meningkat dalam hal ini membutuhkan tenaga kesehatan yang profesional. Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, banyak hal yang perlu diperhatikan. Salah satu diantaranya yang dipandang memiliki peranan cukup penting adalah penyelenggaraan pelayanan keseha- 1 Bagir Manan, 2003, Teori Politik dan Konstitusi, Yogyakarta: Fakultas Hukum UII Press, hlm. 24 218 Jurnal Dinamika Hukum Vol. 13 No. 2 Mei 2013 tan untuk memberikan upaya pelayanan kesehatan. Undang-undang No 36 Tahun 2009 (selanjutnya disebut UU No. 36 Tahun 2009) menyebutkan upaya kesehatan adalah setiap kegiatan dan atau serangkaian yang dilakukan secara terpadu, terintegrasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehata masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan/masyarakat. Pembangunan kesehatan pada hakekatnya diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemampuan dan kemauan hidup sehat bagi setiap orang, menyangkut fisik,mental, maupun sosial budaya dan ekonomi. Untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal dilakukan berbagai upaya pelayanan kesehatan yang menyeluruh, terarah dan berkesinambungan. Masalah reproduksi di Indonesia mempunyai dua dimensi. Pertama, yang laten yaitu: kematian ibu dan kematian bayi yang masih tinggi akibat berbagai faktor termasuk pelayanan kesehatan yang relatif kurang baik. Kedua, timbulnya penyakit degeneratif yaitu menepouse dan kanker. Hak atas pelayanan dan perlindungan kesehatan bagi ibu dan anak merupakan hak dasar sebagaimana termaktub dalam Undang–undang Dasar 1945. Pasal 28 H UUD 1945 menentukan bahwa setiap orang hidup sejahtera lahir dan batin bertempat tinggal dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 menentukan bawha negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Pencantuman hak terhadap pelayanan kesehatan tersebut, tidak lain bertujuan untuk menjamin hak-hak kesehatan yang fundamental seperti tertuang dalam Declaration of Human Right 1948, bahwa health is a fundamental human right. Selain itu terdapat juga serangkaian konvensi internasional yang ditandatangani oleh pemerintah Indonesia yaitu UU No. 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, kesepakatan konvensi internasional tentang perempuan di Beijing tahun 1995. Adapun mengenai pembangunan kesehatan nasional yang diatur dalam UU No. 36 Tahun 2009. 2 Sebagai salah satu negara yang ikut menandatangani Deklarasi Millennium Development Goals (MDGs), Indonesia mempunyai komitmen menjadikan program-program MDGs sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari program pembangunan nasional baik dari jangka pendek maupun jangka menengah dan panjang. Termasuk dalam hal ini poin ke empat dan kelima dimana menurunkan angka kematian anak dan meningkatkan kesehatan maternal.3 Ketentuan mengenai kategori, jenis, dan kualifikasi tenaga kesehatan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 36 Tahun 2009 tentang Tenaga Kesehatan. Bidan merupakan salah satu tenaga kesehatan yang memiliki posisi penting dan strategis terutama dalam penurunan angka kematian ibu (AKI) dan angka kesakitan serta angka kematian bayi (AKB). Bidan memberikan pelayanan kebidanan yang berkesinambungan dan paripurna, berfokus pada aspek pencegahan, promosi dengan berlandaskan kemitraan dan pemberdayaan masyarakat bersama-sama dengan tenaga kesehatan lainnya untuk senantiasa melayani siapa saja yang membutuhkannya, kapan dan dimanapun ia berada. Untuk menjaga kualitas tersebut diperlukan suatu standar profesi sebagai acuan untuk melakukan segala tindakan dan sesuatu yang diberikan dalam seluruh aspek pengabdian profesinya kepada individu, keluarga dan masyarakat baik dari aspek input, proses dan output. Sebagai seorang tenaga kesehatan yang langsung memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, seorang bidan harus melakukan tindakan dalam praktik kebidanan secara etis, serta harus memiliki etika kebidanan yang sesuai dengan nilai-nilai keyakinan filosofi profesi dan masyarakat. Selain itu 2 Tedi Sudrajat dan Agus Mardiyanto, “Hak Atas Pelayanan dan Perlindungan Kesehatan Ibu dan Anak (Implementasi Kebijakan di Kabupaten Banyumas)”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12 No. 2 Mei 2012, Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, hlm. 261-262 3 Emmy Latifah, “Harmonisasi Kebijakan Pengentasan Kemiskinan di Indonesia Yang Berorientasi Pada Millennium Development Goals”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 11 No. 3 2011, Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, hlm. 403 Kajian Perbuatan Melawan Hukum terhadap Wewenang Pelayanan Bidan Praktik Mandiri di Kabupaten Banyumas 219 bidan juga berperan dalam memberikan persalinan yang aman, memastikan bahwa semua penolong persalinan mempunyai pengetahuan, ketrampilan dan alat untuk memberikan pertolongan yang aman dan bersih.4 Seorang bidan harus melakukan tindakan dalam praktik kebidanan secara etis serta harus memiliki etika kebidanan yang sesuai dengan nilai-nilai keyakinan filosofi profesi dan masyarakat. Selain itu bidan juga berperan memberikan pelayanan yang maksimal dan profesional, memberika pelayanan yang aman dan nyaman. Disinilah kita harus memastikan bahwa semua peNolong persalinan mempunyai pengetahuan, ketrampilan dan alat untuk memberikan pertolongan yang aman dan bersih. Adanya etika pelayanan bisa memberikan kepedulian, kewajiban dan tanggung jawab moral yang dimiliki oleh bidan tentang hidup dan makna kesehatan selama daur kehidupan. Ketika kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan meningkat, terutama pelayanan bidan, tidak diimbangi oleh keahlian dan keterampilan bidan untuk membentuk suatu mekanisme kerja pelayanan yang baik. Masih sering dijumpai pelayanan bidan tidak sesuai dengan wewenangnya dan juga kurangnya perlindungan hukum terhadap bidan. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas dalam kurun waktu tahun 2010-2011 diperoleh fakta seputar perbuatan melawan hukum terhadap wewenang pelayanan Bidan Praktik Mandiri (BPM) di Kabupaten Banyumas. Ada 13 kamatian perinatal (bayi baru lahir) dan 6 kematian materal (ibu bersalin) yang diperoleh dari data daftar tilik pelacakan kematian dan otopsi verbal maternal dan perinatal di Kabupaten Banyumas. Kejadian tersebut sebagian bukan wewenang bidan dalam melakukan praktiknya dan seharusnya dirujuk ke tingkat yang lebih tinggi untuk memperoleh pertolongan dan sesuai dengan wewenangnya atau tanggung jawabnya. Oleh karena itu, pentingnya penelitian ini adalah dapat ditegakannya penegakan hukum terhadap pelanggaran bidan dan akibat hukumnya, karena seorang bi- 4 Yanti dan W E Nurul, 2010, Etika Profesi Dan Hukum Kebidanan, Yogyakarta: Pustaka Rihama, hlm. 85 dan sudah mempunyai wewenang dan standar praktik bidan dalam hal ini guna membatasi wewenang sesuai dengan peraturan yang verlaku. bidan mengetahui dan dapat mengimplementasikan tanggung jawabnya sesuai dengan peraturan yang ada tanpa melampaui wewenang sesuai dengan kompetensinya, sehingga mortalitas dan morbiditas pasien khususnya ibu dan anak akan lebih terhindar. Permasalahan Kedudukan dari bidan mandiri, khususnya dalam melaksanakan praktik mandiri merupakan hal yang menarik untuk dikaji. Permasalahan yang dikaji pada artikel ini adalah berkaitan dengan masalah konsepsi perbuatan melawan hukum terhadap wewenang pelayanan bidan praktik mandiri di Kabupaten Banyumas. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yuridis Normatif, mempunyai spesifikasi secara preskriptif. Metode penelitian digunakan studi kasus (case study), dengan lokasi penelitian di wilayah Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas pada tahun 2010-2011. Data yang diperoleh, disajikan dalam bentuk teks naratif yang disusun secara sistematis, logis, dan rasional. Dalam arti keseluruhan data yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lain disesuaikan dengan masalah dan tujuan utama penelitian, sehingga merupakan suatu kesatuan yang utuh. Dengan menggunakan metode analisis kualitatif, yaitu: data yang diperoleh dengan menggabungkan antara permasalahan dan data yang diperoleh untuk dicapai pada kesimpulan tertentu sehingga diperoleh hasil yang signifikan dan ilmiah. Pembahasan Analisis Pelanggaran Wewenang Bidan Praktik Mandiri yang Berkenaan dengan Unsur-unsur Perbuatan Melawan Hukum Cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang 220 Jurnal Dinamika Hukum Vol. 13 No. 2 Mei 2013 berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Dalam rangka mencapai cita-cita bangsa tersebut diselenggarakan pembangunan nasional di semua bidang kehidupan yang berkesinambungan yang merupakan suatu rangkaian pembangunan yang menyeluruh, terpadu, dan terarah. Pembangunan kesehatan sebagai salah satu upaya pembangunan nasional diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan, dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Berbicara mengenai hukum dibidang kesehatan (kebidanan), apabila yang dimaksud dengan hukum itu dalam arti sebagai struktur dan aturan-aturan, maka pernyataan ini merupakan salah satu dari 3 (tiga) macam pedoman yang ada. Pertama, hukum dalam arti bahwa ada kekuatan-kekuatan sosial (dan hukum) yang dalam beberapa hal dirasakan sebagai suatu keharusan atau wajib, sehingga dalam hal demikian itu terbentuk hukum; kedua, baru pada hukumnya sendiri yang berupa struktur dan aturan yang dalam kenyataannya juga disebutkan sebagai hukum positif; dan ketiga, hukum terhadap pelaku dalam kenyataannya. Berdasarkan pembagian di atas, hukum kesehatan (kebidanan) masuk pada kategori yang kedua, yaitu struktur dan aturan-aturan sebagai satu keseluruhan yang secara utuh berhubungan dengan sistem hukum tertentu, yaitu sistem yang dianut dalam masyarakat dan negara Republik Indonesia, hukum kesehatan (kebidanan dalam hal ini) meliputi peraturan hukum tertulis, kebiasaan, yurisprudensi dan doktrin/ajaran ilmu pengetahuan, sedangkan objek hukum kesehatan (kebidanan) adalah perawatan kesehatan. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas dalam kurun waktu tahun 2010-2011 diperoleh fakta seputar perbuatan melawan hukum terhadap wewenang pelayanan Bidan Praktik Mandiri (BPM) di Kabupaten Banyumas. Ada 13 kamatian perinatal (bayi baru lahir) dan 6 kematian materal (ibu bersalin) yang diperoleh dari data daftar tilik pelacakan kematian dan otopsi verbal maternal dan perinatal kabupaten Banyumas. Sebagian kasus bukan wewenang bidan dalam melakukan praktiknya dan seharusnya dirujuk ke tingkat yang lebih tinggi untuk memperoleh pertolongan dan sesuai dengan wewenangnya atau tanggung jawabnya. Saat ini masih cenderung terjadi penyimpangan dalam pelayanan kebidanan. Penyimpangan disini diartikan sebagai pelayanan kebidanan yang tidak sesuai dengan Kode Etik Bidan, standar profesi dan hukum, meskipun para bidan praktisi di lapangan sudah berusaha menjalankan pelayanan sesuai standar yang ada. Sehingga dapat disebutkan sebagai dugaan perbuatan melawan hukum. Kemudian terkait dengan kerugian yang ditimbulkan akibat penyimpangan tersebut, angka kesakitan dan kematian baik ibu dan bayi masih menjadi fokus utama di Banyumas. Angka kematian ibu dan bayi masih cenderung tinggi dan belum dapat diturunkan secara signifikan. Berdasarkan hasil penelitian di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas, diperoleh 3 kasus yang diduga melakukan pelanggaran hukum medik bidan dalam kurun waktu tahun 2010 diperoleh fakta-fakta seputar penegakan hukum medik bidan di Kabupaten Banyumas. Dalam penelitian ini, peneliti membatasi hasil penelitian dan pembahasan yaitu difokuskan pada proses penegakan hukum perdata terhadap pelanggaran hukum perdata medik bidan yang merupakan perbuatan melanggar hukum, ketiga kasus tersebut dijabarkan sebagai berikut. Kasus I diperoleh data dari daftar tilik pelacakan kematian bayi/perinatal Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas; adanya riwayat kehamilan pernah melahirkan 3 kali, jarak kehamilan 5 tahun, jumlah periksa 7 kali, tempat pemeriksaan rumah bidan R dan rumah bidan SR, status imunisasi 2 kali waktu hamil terdahulu, imunisasi TT sudah 5 kali selama hidup, pemberian tablet besi ya dengan jumlah 110 tablet dan diminum sesuai petunjuk, komplikasi kehamilan ada yaitu pernah presentasi lintang pada saat usia kehamilan 28 minggu. Riwayat persalinan; tanggal kelahiran 14-2-2010, lahir hidup, jenis kelamin laki-laki, kelahiran tunggal, presentasi bokong, menangis rintih, berat lahir Kajian Perbuatan Melawan Hukum terhadap Wewenang Pelayanan Bidan Praktik Mandiri di Kabupaten Banyumas 221 3000 gr, panjang badan 48 cm, lingkar lengan kiri 10 cm, lingkar dada 32 cm, lingkar kepala 32 cm. Umur kehamilan 38 minggu lebih 1 hari, dengan HPHT (Hari Pertama Haid Terakhir) tanggal 20-5-2009 HPL(Hari Perkiraan Lahir) 27- 2-2010, penolong persalinan bidan R, tempat persalinan rumah bidan (praktik swasta), jarak ke tempat persalinan
Pasien harus mendapatkan haknya sesuai dengan perjanjian yang secara tidak sengaja telah tersepakati, pasien sebagai konsumen berhadapan dengan keadaan yang menyangkut keselamatan dirinya. Pasien berhak mengetahui segala sesuatu yang berkaian dengan pelayanan medis yang diberikan oleh tenaga medis. Jika pelayanan bidan diberikan kepada pasien sesuai dengan standar operasional prosedur, berkualitas dan bermartabat, maka pelayanan itu akan terhindar dari bayangan-bayangan tuntutan hukum maupun tuntutan etika profesi. Permasalahan Angka Kematian Ibu (AKI) yang terdeteksi masih sangat tinggi ini setidaknya karena beberapa penyebab baik langsung maupun tidak langsung. Salah satu pemasok terbesar penyebab langsung perdarahan, pre eklamsi, baik dalam kehamilan, saat bersalin dan setelah bersalin. Sedangkan yang menjadikan penyebab tidak langsung karena keterlambatan membawa ke tempat rujukan, terlambat mencari pertolongan dan terlambat memberi pertolongan di tempat rujukan. Memberikan pelayanan kesehatan kepada ibu hamil bersalin, nifas dan neonatal haruslah sesuai denga ketentuan yang ditetapkan serta berdasarkan pada kode etik profesi sehingga meningkatkan kuwalitas diri perlu selalu dipelihara. Teamwork yang baik dalam pelayanan kesehatan perlu dieratkan dengan kejelasan wewenang dan fungsinya. Oleh karena tanpa mengindahkan hal-hal yang disebutkan sebelumnya, maka konsekwensi hukum akan muncul tatkala terjadi penyimpangan kewenangan atau karena kelalaian. Mengenai kasus di atas, seorang bidan tidak memberikan informasi tentang keadaan pasiennya serta bidan tidak merujuk pasien yang bukan wewenangnya atau kompetensinya. Penempatan terhadap jenis tenaga kesehatan tertentu ditetapkan berdasarkan kebijaksanaan melalui pelaksanaan masa bakti terutama bagi tenaga kesehatan yang sangat potensial di dalam kebutuhan penyelenggaraan upaya kesehatan. Disamping itu tenaga kesehatan tertentu yang bertugas sebagai pelaksana atau pemberi pelayanan kesehatan diberi wewenang sesuai dengan kompetensi pendidikan yang diperolehnya, sehingga terkait erat dengan hak dan kewajibannya. Kompetensi dan kewenangan tersebut menunjukan kemampuan profesional yang baku dan merupakan standar profesi untuk tenaga kesehatan tersebut. Menurut Pasal 2 ayat (3) PP No. 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan, disebutkan bahwa bidan termasuk dalam kelompok tenaga keperawatan. Sehubungan dengan hal tersebut, bidan juga memiliki hubungan dengan pasien, khususnya dalam praktik seperti halnya dengan tenaga kesehatan lainnya. Dalam pemberi pelayanan kesehatan oleh rumah sakit dokter, bidan dan perawat merupakan tenaga kesehatan yang memegang peran penting. Perawat (bidan) melakukan tindakan medik tertentu berdasakan ilmunya. Selanjutnya pasien tidak dirujuk oleh bidan dalam kasus diatas, dijelaskan di UU No. 44 Tahun 2009 Pasal 41 ayat (1) pemerintah dan asosiasi Rumah Sakit membentuk jejaring dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dan ayat (2) jejaring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi informasi, sarana prasarana, pelayanan, rujukan, penyediaan alat dan pendidikan tenaga. Pasal 42 ayat (1) sistem rujukan merupakan penyelenggaraan kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab secara timbal balik baik vertikal maupun horizontal, maupun struktural dan fungsional terhadap kasus penyakit atau masalah penyakit atau permasalahan kesehatan. Pasal 42 ayat (2) menentukan bahwa setiap rumah sakit berkewajiban merujuk pasien yang memerlukan pelayanan di luar kemampuan pelayanan Rumah Sakit. Upaya peningkatan derajat kesehatan semata-mata tidak hanya dilakukan oleh tenaga kesehatan (bidan) tetapi peran serta aktif masyarakat termasuk swasta perlu diarahkan, dibina dan dikembangkan sehingga dapat melakukan fungsi dan tanggung jawab sosialnya sebagai mitra pemerintah. Peran pemerintah lebih dititik beratkan pada pembinaan, pengaturan, dan pengawasan untuk terciptanya pemerataan pelayanan kesehatan dan tercapainya kondisi yang serasi dan seimbang antara upaya kesehatan yang dilaksanakan oleh pemerintah dan masyarakat termasuk swasta. Kewajiban untuk melakukan pemerataan dan peningkatan pela- Kajian Perbuatan Melawan Hukum terhadap Wewenang Pelayanan Bidan Praktik Mandiri di Kabupaten Banyumas 225 yanan kesehatan bagi seluruh lapisan masyarakat, tetap menjadi tanggung jawab Pemerintah. Keberhasilan pembangunan diberbagai bidang dan kemajuan ilmu pengetahuan dan tekNologi telah meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat dan kesadaran akan hidup sehat. Hal Ini mempengaruhi meningkatnya kebutuhan pelayanan dan pemerataan yang mencakup tenaga, sarana, dan prasarana baik jumlah maupun mutu. Oleh karena itu diperlukan pengaturan untuk melindungi pemberi dan penerima jasa pelayanan kesehatan. Bidan sebagai pendukung upaya kesehatan dalam menjalankan tugasnya harus selalu dibina dan diawasi. Pembinaan dilakukan untuk mempertahankan dan meningkatkan kemampuannya, sehingga selalu tanggap terhadap permasalahan kesehatan yang menjadi tanggung jawabnya, sedangkan pengawasan dilakukan terhadap kegiatannya agar tenaga kesehatan tersebut dapat melaksanakan tugasnya sesuai dengan kebijaksanaan peraturan perundangundangan dan sistem yang telah ditetapkan. Setiap penyimpangan pelaksanaan tugas oleh tenaga kesehatan mengakibatkan konsekuensi dalam bentuk sanksi. Telah ditentukan secara jelas bahwasannya tugas atau wewenang bidan sudah diatur oleh pemerintah sebagai berikut: pemberian kewenangan lebih luas kepada bidan dimaksudkan untuk mendekatkan pelayanan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal kepada setiap ibu hamil/bersalin, nifas dan bayi baru lahir (0- 28 hai) agar penanganan dini atau pertolongan pertama sebelum rujukan dapat dilakukan secara cepat dan tepat waktu. Dalam menjalankan kewenangan yang diberikan bidan harus; melaksanakan tugas kewenangannya sesuai dengan standar profesi, memiliki ketrampilan dan kemampuan untuk tindakan yang dilakukannya, mematuhi dan melaksanakan protap yang berlaku diwilayahnya, bertanggung jawab atas pelayanan yang diberikan dan berupaya secara optimal dalam mengutamakan keselamatan ibu calon bayi atau janin. Perhatian khusus yang diberikan pada masa sekitar persalinan karena kebanyakan kematian ibu dan bayi dalam masa tersebut. Pelayanan kesehatan pada anak diberikan kepada bayi(khususnya bayi baru lahir), balita dan anak pra sekolah. Pelayanan dan pengobatan genekologi yang dapat dilakukan oleh bidan adalah kelainan genekologi ringan seperti keputihan dan penundaan haid. Pengobatan ginekologik yang diberikan tersebut pada dasarnya bersifat pertolongan sementara sebelum dirujuk ke dokter atau tindak lanjut pengobatan sesuai advis dokter. Pelayanan neonatal esensial dan tata laksana neonatal sakit diluar rumah sakit meliputi; pertolongan persalinan traumatik, bersih dan aman;menjaga tubuh bayi tetap hangan dengan kontak dini; membersihkan jalan nafas, mempertahankan bayi bernafas spontan; pemberian ASI dini dalam 30 menit setelah melahirkan; mencegah infeksi pada bayi baru lahir antara lain melalui perawatan tali pusat secara higenis, pemberian imunisasi dan pemberian ASI eksklusif; pemeriksaan dan perawatan bayi baru lahir dilaksanakan pada bayi 0-28 hari. Peraturan Menteri Kesehatan No. 1464/ MenKes/per/X/2010 tentang Izin dan Penyelanggaraan Praktik Bidan Indonesia pada BAB III Penyelanggaraan Praktik Pasal 9 menentukan bahwa bidan dalam menjalankan praktik, berwenang untuk memberikan pelayanan yang meliputi pelayanan kesehatan ibu; pelayanan kesehatan anak; dan pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana. Pasal 10 ayat (1) menentukan bahwa pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a diberikan pada masa pra hamil, kehamilan masa persalinan, masa nifas, masa menyusui dan masa antara dua kehamilan. Pasal 13 ayat (1) selain wewenang bidan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksud ayat (1) meliputi pelayanan konseling pada masa pra hamil; pelayanan antenatal pada kehamilan Normal; pelayanan persalinan normal; pelayanan ibu nifas normal; pelayanan ibu menyusui; dan pelayanan konseling pada masyarakat kedua kehamilan; Pasal 13 ayat (3) menentukan bahwa bidan dalam memberikan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berwenang untuk episiotomi; penjahitan luka jalan lahir tingkat I 226 Jurnal Dinamika Hukum Vol. 13 No. 2 Mei 2013 dan II penanganan kegawatdaruratan dilanjutkan perujukan; pemberian tablet Fe pada ibu hamil; pemberian vitamin A dosis tinggi pada ibu nifas; fasilitas atau bimbingan inisiasi menyusui dini dan promosi air susu ibu eksklusif; pemberian uterotonika pada menejemen aktif kala III dan postpartum; penyuluhan dan konseling; bimbingan pada kelompok ibu hamil; pemberian surat keteranagan kematian; dan emberian surat keterangan cuti bersalin. Berdasarkan Pasal 13 ayat (1), selain kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12, bidan yang menjalankan program Pemerintah berwenang melakukan pelayanan kesehatan meliputi: butir g melaksanakan deteksi dini, merujuk dan memberikan penyuluhan terhadap Infeksi Menular Seksual (IMS) termasuk pemberian kondom dan penyakit lainnya. Suatu perbuatan dikatakan perbuatan melawan hukum apabila memenuhi beberapa unsur. Pertama, bertentangan dengan hak orang lain. Kedua, bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri (kewajiban hukum si pelaku). Ketiga, bertentangan dengan kesusilaan baik. Keempat, bertentangan dengan keharusan yang diindahkan dalam pergaulan. Berdasarkan data di atas, beberapa unsur terpenuhi. Pertama, bertentangan dengan hak orang lain. Maksud bertentangan dengan hak orang lain adalah bertentangan dengan hak subjektif (subjektiferecht) orang lain. Hak-hak pribadi (Persoonlijkheidsrechten) seperti hak atas keutuhan badan, kebebasan, hak atas kehormatan dan nama baik. Keluarga pasien dalam hal ini adalah suami tidak diberikan informasi sesuai dengan keadaan istri dan janinnya. Kedua, bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri (kewajiban hukum si pelaku). Suatu perbuatan adalah melawan hukum apabila perbuatan tersebut adalah bertentangan dengan kewajiban hukum (rechtsplicht) si pelaku. Rechtsplicht adalah kewajiban yang berdasar atas hukum. Menurut pendapat umum dewasa ini, maka hukum, mencakup keseluruhan Norma-norma, baik tertulis maupun tidak tertulis. Pada kasus I, bidan melanggar KepMenkes No. 1464/MenKes/per/X/2010. Bidan melanggar wewenangnya dimana menolong persalinan dengan kondisi janin premature dengan keadaan presentasi bokong, sedangkan dalam peraturan KepMenKes ataupun wewenang bidan diatas sudah jelas bahwasannya bidan hanya menolong kehamilan, persalinan fisiologis dan mendeteksi dini komplikasi persalinan serta dilanjutkan rujukan. Setelah melakukan diagnosa kebidanan bahwa usia kehamilan masih tergolong premature bidan tersebut tidak melakukan rujukan hal ini selain diatur dalam KepMenKes diatas dan wewenang bidan dijelaskan juga pada UU No. 44 Tahun 2009 Pasal 41 dan Pasal 42. Ketiga, bertentangan dengan kesusilaan. Keempat, bertentangan dengan keharusan yang diindahkan dalam pergaulan masyarakat mengenai orang lain atau benda milik orang lain. Unsur ketiga dan empat ini tidak terpenuhi dalam kasus diatas. Jadi kesimpulan sementara pada kasus di atas, bidan tersebut memenuhi unsur pertama dan kedua. Simpulan itu dapat diketahui dari KepMenkes No 1464/MenKes/per/X/2010. Pasal 23 ayat (1) menentukan bahwa dalam rangka pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Menteri, Pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/ kota dapat memberian tindakan administratif kepada bidan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan penyelenggaraan praktik dalam peraturan ini. Ayat (2) dari pasal tersebut menentukan bahwa tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui teguran lisan, teguran tertulis, pencabutan SIKB/SIPB untuk sementara paling lama 1 tahun; atau pencabutan SIKB/SIPB selamanya. Dari sudut hukum, profesi tenaga kesehatan dapat diminta pertanggung jawaban berdasarkan hukum perdata,hukum pidana maupun hukum administrasi. Tanggungjawab dibidang hukum perdata dapat ditemukan disetiap pelayanan kesehatan. Hal ini dapat dipahami karena dalam setiap pelayanan kesehatan selalu terjadi hubungan antara kedua belah pihak sebagai subjek hukum, dimana masing-masing pihak memiliki kewajiban dan haknya yang sama. Maksud kedua belah pihak ini adalah dokter dan pasien. Hubu- Kajian Perbuatan Melawan Hukum terhadap Wewenang Pelayanan Bidan Praktik Mandiri di Kabupaten Banyumas 227 ngan atara dokter dengan pasien diatur dalam suatu perjanjian yang syaratnya harus terpenuhi secara umum sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 BW. Apabila seseorang pada waktu melakukan perbuatan melawan hukum tahu betul suatu perbuatannya akan berakibat suatu keadaan yag merugikan orang lain pada umumnya perbuatan orang tersebut dapat dikatakan bisa dipertanggugjawabkan. Pasal 1365 KUHPer yang menentukan bahwa tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya mengganti kerugian tersebut. Pasal 1366 KUHPer yang menentukan bahwa seiap orang yang bertanggung jawab tidak saja untuk kergian yang disebabkan karena perbuatannya tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kekurang hati-hatiannya. Pasal 1367 KUHPer yang menentukan bahwa seseorang tidak saja bertanggungjawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri tetapi juga kerugian yang disebabkan oleh orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang dibawah pengawasannya. Pasal 1370 KUHPer yang menentukan dalam halnya suatu kematian dengan sengaja atau karena kurang hati-hatinya seseorang maka istri yang ditinggalkan, anak atau orang tua sikorban yang lazim mendapatkan nafkah dari pekerjaan korban mempunyai hak menuntut ganti rugi, yang dinilai menurut kedudukan dan kekayaan dari kedua belah pihak.9 Pasal 58 ayat (1) UU No 36 Tahun 2009 menentukan bahwa setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan dan atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian atau kesalahan akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayaan kesehatan yang diterimanya. 10 Sedangkan aspek perdata lainnya adalah tuntutan ganti rugi berdasarkan perbuatan melanggar hukum, ukuran yang digunakan adalah kesesuaian dengan standar profesi medik serta kerugian yang ditimbulkan. Pengertian diatas menunjukan bahwa se- 9 Bambang Heryanto, “Malpratik Dokter dalam Perspektif Hukum”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol 10 No 2 Mei 2010, Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, hlm. 184 10 Tedi Sudrajat dan Agus Mardiyanto, op.cit, hlm.268 kalipun hubungan hukum antara tenaga kesehatan (bidan) dengan pasien adalah ”upaya secara maksimal”, akan tetapi tidak tertutup kemungkinan timbulnya tuntutan ganti rugi yang didasarkan pada perbuatan melanggar hukum yang tenaga kesehatan harus mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dari segi hukum perdata.11 Kerugian – pada gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum – juga meliputi kerugian materi dan imateriil sebagaimana yang berlaku dalam gugatan berdasarkan wanprestasi. Apabila ketentuan di atas dibandingkan, maka gugatan perbuatan melawan hukum memiliki pengertian jauh lebih luas dibandingkan dengan wanprestasi karena beberapa hal. Pertama, gugatan wan prestasi dasarnya adalah perjanjian yang dalam hal ini adalah kontrak teraupetik (penyembuhan) antara tenaga kesehatan dalam hal ini adalah pasien. Dengan berlakunya azas kepribadian dalam transaksi teraupetik maka pihak yang terkait adalah pasien dan tenaga kesehatan atau rumah sakit. Oleh karena itu jika transaksi teraupetik tidak tercapai tujuannya karena wanprestasi, maka gugatan hanya ditujukan kepada bidan atau rimah sakit, sedangkan pihak lain yang membantu tidak dapat digugat berdasarkan wanprestasi. Kedua, sebaliknya gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum, gugatan tidak dapat ditujukan perbuatan melawan hukum, gugatan tidak hanya ditunjukan pada terhadap pelaku perbuatan itu saja, melainkan juga terhadap orang-orang yang bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang yang ada di bawah tanggung jawabnya. Rumah sakit dapat digugat untuk bertanggung jawab atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang bekerja dirumah sakit tersebut atau dapat digugat untuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh laboran atau perawat yang bekerja diperintahnya. 11 Hargianti Dini Iswandari, “Aspek Hukum Penyelenggaraan Praktik Kedokteran: Suatu Tinjauan Berdasarkan Undang-Undang No.9/2004 Tentang Praktik Kedokteran”, Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol 09 No 2 Juni 2006, Universitas Gadjah Mada, UGM Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan, hlm. 56 228 Jurnal Dinamika Hukum Vol. 13 No. 2 Mei 2013 Ketiga, gugatan berdasarkan wanprestasi dasarnya adalah perjanjian, jadi gugatan hanya diajukan bila bidan melakukan perbuatan melawan hukum lebih luas karena dapat bertujuan yang masuk kategori perbuatan melawan hukum yang menimbulkan pada pihak lain.12 Penutup Simpulan Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa bidan dalam kasus yang diambil sebagai data dalam penelitian ini memberikan pelayanan kepada pasien tetapi dalam hal ini dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum karena pelayanan bidan tersebut memenuhi dua unsur yaitu unsur bertentangan dengan hak subjektif orang lain dan bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri, tidak memberikan informasi secara lengkap dan memberikan pelayanan yang melebihi wewenangnya yaitu meNolong persalinan dengan keadaan janin premature. Dalam hal ini bidan bertentangan dengan PerMenKes No 1464 tahun 2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan, Undang-undang Rumah Sakit No. 44 Tahun 2009 dan Kode Etik serta wewenang bidan. Kedua hal tersebut secara teori termasuk perbuatan melawan hukum dalam arti sempit. DAFTAR PUSTAKA Heryanto, Bambang. “Malpratik Dokter dalam Perspektif Hukum”. Jurnal Dinamika Hukum, Vol 10 No 2 Mei 2010, Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman; Iswandari, Dini Hargianti. “Aspek Hukum Penyelenggaran Praktik Kedokteran: Suatu Tinjauan Berdasarkan Undang-Undang No.9/2004 Tentang Praktik Kedokteran”. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, 12 R.A. Antari Inaka Turingsih, “Tanggung Jawab Keperdataan Bidan Dalam Pelayanan Kesehatan”, Jurnal Mimbar Hukum, Vol 24 No 2 Juni 2012, Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, hlm. 268-274 Vol 09 No 2 Juni 2006. Universitas Gadjah Mada Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan; Latifah, Emmy. “Harmonisasi Kebijakan Pengentasan Kemiskinan di Indonesia yang berorientasi pada Millennium Development Goals”. Jurnal Dinamika Hukum, Vol 11 No 3 September 2011. Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman; Manan, Bagir. 2003. Teori Politik dan Konstitusi. Yogyakarta: FH UII Press; Rozah, Umi. “Pertanggungjawaban Pidana Dokter dalam Malpraktik Medis”. Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Vol 33 No 3 2004. Semarang: Fakultas Hukum UNDIP; Sudrajat,Tedi dan Agus Mardiyanto. “ Hak Atas Pelayanan dan Perlindungan Kesehatan Ibu dan Anak (Implementasi Kebijakan di Kabupaten Banyumas)”. Jurnal Dinamika Hukum, Vol 12 No 2 Mei 2012. Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman; Taufiq, Muhammad. ”Perspektif Yuridis Tanggung Jawab Dokter terhadap Rahasia Medis Pasien HIV/AIDS (Studi di Rumah Sakit Umum Daerah Banyumas)”. Jurnal Dinamika Hukum, Vol 11 No 3 September 2011. Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman; Turingsih, Inaka Antari R.A. “Tanggung Jawab Keperdataan Bidan dalam Pelayanan Kesehatan”. Jurnal Mimbar Hukum, Vol 24 No 2 Juni 2012. Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada; Wahyudi, Setya. ”Tanggung Jawab Rumah Sakit Terhadap Kerugian Akibat Kelalaian Tenaga Keshatan dan Implikasinya”. Jurnal Dinamika Hukum, Vol 11 No 3 September 2011. Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman; Yanti dan W.E. Nurul. 2010. Etika Profesi Dan Hukum Kebidanan. Yogyakarta: Pustaka Riham
PENDAHULUAN Kesehatan merupakan modal utama manusia dalam menjalankan aktifitas seharihari.2 Keberhasilan upaya kesehatan salah satunya tergantung pada ketersediaan sumber daya kesehatan yang berupa tenaga kesehatan3 . Pada awalnya profesi di dunia kesehatan yang diakui oleh masyarakat adalah profesi kedokteran. Namun belakangan pekerjaan keperawatan dan kebidanan mulai dikembangkan secara sungguh-sungguh sebagai profesi sendiri dengan body of know ledge dan bentuk pelayanan tersendiri pula.4 Pasal 1 ayat (6) UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, menyebutkan yang dimaksud dengan Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Ketersediaan tenaga kesehatan harus diikuti dengan profesionalitas kerja agar pelayanan kesehatan mempunyai mutu 2 Safitri Hariyani. 2005. Sengketa Medik : Alternatif Penyelesaian Perselisihan Antara Dokter dengan Pasien. Jakarta: Diadit Media. Hal 1. 3 Sri Praptianingsih.2006. Kedudukan Hukum Perawat dalam Upaya Kesehatan di Rumah Sakit. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Hal. 3. 4 Sofyawan Dahlan. 1999. Hukum Kesehatan Rambu-rambu Profesi Dokter. Semarang: Universitas Diponegoro. Hal-21. yang bagus dan sesuai dengan standar. Adapun yang dimaksud Standar adalah pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi yang meliputi standar pelayanan, standar profesi, dan standar operasional prosedur (Pasal 1 ayat (6) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1464/ MENKES/ KES/PER/2010). Ditinjau dari sudut pandang hukum kesehatan, standar pelayanan medis mempunyai dua tujuan yaitu Pertama, untuk melindungi masyarakat dari praktik-praktik yang tidak sesuai standar profesi. Kedua, melindungi anggota profesi dari tuntutan masyarakat yang tidak wajar5 . Penentuan dari indikasi dan pelaksanaan dari tindakan medis itu haruslah dilakukan sesuai dengan standar medis yang berlaku.6 Oleh karena itu setiap tenaga kesehatan harus memperhatikan standar yang berlaku di profesinya termasuk bidan, selain itu bidan juga harus patuh pada Kode Etik Kebidanan. Kode etik Kebidanan merupakan suatu pernyataan komprehensif profesi yang memberikan tuntunan bagi bidan untuk melaksanakan praktek kebidanan baik yang berhubungan dengan 5 Bahder Johan Nasution. 2005. Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban. Jakarta: Rineka Cipta. Hal. 43. 6 H. J. J. Lenan dan P. A. F. Lamintang. 1991. Pelayanan Kesehatan dan Hukum : suatu studi Tentang Hukum Kesehatan. Bandung: Rineka Cipta. Hal 34. Jurnal Kesehatan dan Budaya “ HIKMAH” AKBID Islam Al-Hikmah Jepara ISSN: 1907-1396 Vol.07 No.02 Edisi November 2014 kesejahteraan keluarga, masyarakat, teman sejawat, profesi dan dirinya. 7 Supaya sesuai standar dan kode etik, seorang bidan dalam menjalankan profesinya harus memperhatikan norma dan aturan yang berlaku. Norma adalah suatu ukuran atau patokan bagi seseorang dalam bertindak atau bertingka laku dalam masyarakat, intinya norma adalah segala aturan yang harus dipatuhi8 . Norma merupakan aturan atau kaidah yang dipakai sebagai tolok ukur untuk menilai sesuatu. Ada tiga macam norma yang dapat dijadikan pedoman bagi manusia untuk berperilaku dalam masyarakat, yaitu: 1. Etika atau Norma kesopanan 2. Norma Hukum 3. Norma moral atau etika.9 Norma hukum merupakan peraturan yang dibuat secara resmi oleh negara yang mengikat semua orang dan berlakunya dapat dipaksakan oleh aparat negara sehingga kaidah hukum dapat selalu dipertahankan berlakunya.10 Bidan sebagai salah satu Profesi yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Dalam 7 Sofyan, Mustika,dkk. 2007. Bidan Menyongsong Masa Depan. Jakarta: PP IBI. Hal-76 8 Maria Farida Indrati Soeprapto. 2006. Ilmu Perundang-undangan dasar-dasar dan pembentukannya. Yogyakarta: Kanisius. Hal-6. 9 Anny.Isfandyarie. 2005. Malpraktek dan Resiko Medik dalam Kajian Hukum Pidana. Jakarta: Prestasi Pustaka. Hal-3. 10 Anny Isfandyarie. Ibid. hal- 3 menjalankan profesinya harus mematuhi norma hukum yang berlaku bagi tenaga kesehatan pada umumnya dan khususnya bagi bidan. Norma hukum yang dimaksud dalam hal ini salah satunya adalah peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia, yang mengatur penyelenggaraan praktek bidan. Penyelenggaraan praktek Bidan diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1464/MENKES/KES/PER/2010. Adanya peraturan ini menjadikan dua peraturan sebelumnya tidak berlaku, Sebagaimana yang tercantum dalam Ketentuan Penutup Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1464/ MENKES/ KES/ PER/2010 yaitu pasal 29, peraturan ini sejak ditetapkannya mencabut dua aturan yang berlaku sebelumnya yaitu: a. Menteri Kesehatan Nomor 900/MENKES/SK/VII/2002 dan b. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor HK. 02.02/Menkes/149/I/2010 Tugas dan Kewenangan bidan dalam peraturan ini diatur dengan jelas, namun ada pro dan kontra terhadap peraturan ini karena banyak perbedaan dari peraturan semula yaitu Keputusa menteri Kesehatan Nomor 900/ MENKES/ SK/VII/2002 dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor HK. 02.02/ Menkes/ 149/I/2010. Peraturan menteri Kesehatan Nomor 1464/ MENKES/ KES/ PER/2010 banyak yang menganggap Jurnal Kesehatan dan Budaya “ HIKMAH” AKBID Islam Al-Hikmah Jepara ISSN: 1907-1396 Vol.07 No.02 Edisi November 2014 mempersempit ruang gerak bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Ada juga yang berpendapat hal tersebut wajar saja karena disamping bidan ada dokter dan dokter specialis Kandungan yang juga mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat sesuai dengan wewenangnya. Hasil penelitian tahun 2012 yang dilakukan oleh Fitriani Nur Damayanti11 di Semarang, menyebutkan ada beberapa Bidan yang melakukan Praktek Mandiri Masih menggunakan atau menerapkan Kepmenkes Nomor 900/ MENKES/ SK/ VII/2002, meski sudah ada Permenkes 1464 alasan mereka sebagian karena tidak mengetahui Permenkes Nomor 1464/MENKES/KES/PER/2010 sehingga tidak mengetahui perbedaan kewenangan bidan setelah keluarnya permenkes nomor 1464 tahun 2010. Permasalahan ketidaktahuan bidan akan peraturan yang baru (permenkes nomor 1464 tahun 2010) mengenai kewenangan bidan adalah fakta dilapangan, dan hal itu dimungkinkan bukan hanya di 11 http://jurnal.unimus.ac.id. Fitriani Nur Damayanti. Perbandingan antara Kepemilikan Kompetensi Bidan Dengan Pelaksanaan Kewenangan bidan dalam Pelayanan Kebidanan pada Bidan Praktik Mandiri menurut kepmenkes no. 900/menkes/sk/vii/2002, permenkes no. Hk.02.02/menkes/149/2010 dan permenkes no. 1464/menkes/per/x/2010 di Kota Semarang. Semarang saja bahkan di daerah-daerah lain apalagi di daerah terpencil yang minim akses informasi. Selain itu banyak bidan yang pro dan kontra terhadap adanya peraturan bidan yang baru tersebut. Berdasarkan hal tersebut penulis tertarik untuk membahas Tinjauan Yuridis kewenangan bidan berdasarkan Permenkes Nomor 1464/MENKES/KES/ PER/2010. Pembahasan ini menjadi penting karena semua orang yang ada di Indonesia dianggap tahu hukum tidak terkecuali bidan, sehingga alasan ketidaktahuan mereka akan peraturan baru tidak berlaku di depan hukum, selain itu pembahasan ini diharapkan memudahkan bidan dalam memahami kewenangannya sesuai peraturan yang berlaku saat ini, sehingga mereka dapat menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai standart dan ketentuan yang berlaku. (asas) Dari latar belakang di atas tulisan ini akan menjawab beberapa persoalan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah dasar hukum kewenangan Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan? 2. Apa sajakah wewenang bidan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010? Jurnal Kesehatan dan Budaya “ HIKMAH” AKBID Islam Al-Hikmah Jepara ISSN: 1907-1396 Vol.07 No.02 Edisi November 2014 PEMBAHASAN Tinjauan Yuridis Kewenanan Bidan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Penyelenggaraan dan Praktek Bidan A. Dasar Kewenangan Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan Menurut Wila Chandrawila Supriadi seorang tenaga kesehatan yang melakukan pekerjaan tanpa kewenangan, dapat dianggap melanggar salah satu standar profesi tenaga kesehatan12 . Wewenang menurut S.F. Marbun ialah kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik, atau secara yuridis adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undangundang yang berlaku untuk melakukan hubungan-hubungan hukum.13 Kata dasar kewenangan adalah wenang atau wewenang. Menurut Kamus Bahasa Indonesia, wewenang adalah hak dan kekuasaan untuk bertindak atau menentukan sesuatu. Menurut kamus hukum, wenang adalah 12 Wila Chandrawila Supriadi. 2001. Hukum Kedokteran. Bandung: Mandar Maju. Hal-140. 13Sadjijono. 2008. Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi. Yogyakarta: LaksBang PRESSindo. Hal-50. hak untuk melaksanakan sesuatu, berarti secara harafiah kewenangan adalah dasar hak atau dasar kekuasaan.14 Hak ialah Kewenangan yang melekat pada diri untuk melakukan atau tidak melakukan, memperoleh atau tidak memperolah sesuatu.15 Kewenangan menurut P.Nicolai adalah kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu (yaitu tindakantindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum, dan mencakup mengenai timbulnya dan lenyapnya akibat tertentu. Kewenangan berisi hak dan kewajiban tertentu, hak berisi kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau menuntut pihak lain melakukan tindakan tertentu, sedangkan kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu.16 Senada dengan pendapat P. Nicolai, Bagir Manan juga berpendapat bahwa wewenang dalam bahasa hukum berarti hak dan kewajiban (rechten en plichten), berbeda dengan kekuasaan 14Soerjono Soekanto & R. Otje Salman. 1996. Disiplin Hukum dan Disiplin Sosial Jakarta: Rajawali Pers. Hal-16. 15 Mariana Amiruddin. 2003. Kesehatan dan Hak Reproduksi Perempuan Panduan untuk Jurnalis, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan (YJP) dan the Japan Foundation. hal-10. 16 Ridwan HR. 2003. Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta: UII Press. Hal 71-72. Jurnal Kesehatan dan Budaya “ HIKMAH” AKBID Islam Al-Hikmah Jepara ISSN: 1907-1396 Vol.07 No.02 Edisi November 2014 (macht) yang hanya menggambarkan hak untuk berbuat dan tidak berbuat.17 Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kewenangan ialah kemampuan atau hak untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang disertai dengan kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu. Kewenangan bidan berarti kemampuan atau hak bidan untuk memberikan pelayaan kesehatan yang mana bidan juga mempunyai kewajiban tertentu. Sesuai dengan dengan UndangUndang Nomor 36 Tahun 2009 Pasal 23 ayat (1 dan 2) Tenaga kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan, adapun pelayanan kesehatan yang dimaksud harus sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki. Selain itu dalam ayat (3) juga disebutkan bahwa dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan wajib memiliki izin dari pemerintah. Tenaga kesehatan yang dimaksud meliputi : 1. Tenaga medis; 2. Tenaga keperawatan dan bidan; 3. Tenaga kefarmasian; 17 Ridwan HR. Ibid. Hal-72. 4. tenaga kesehatan masyarakat; 5. tenaga gizi; 6. tenaga keterapian fisik; dan 7. tenaga keteknisian medis. Dari penjelasan di atas bidan masuk dalam salah satu tenaga kesehatan, yang mana untuk memperoleh kewenangan bidan juga harus mematuhi ketentuan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Pasal 23 ayat (3) yaitu memiliki izin. Bidan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan baik secara mandiri maupun di fasilitas pelayanan kesehatan wajib memiliki izin dari pemerintah. Dalam hal ini pemerintah diwakili oleh Departemen Kesehatan, Pemberian kewenangan kepada bidan yang sudah memenuhi syarat tertentu diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin dan Penyelenggaran Praktik Bidan. Syarat-syarat bidan agar mendapat kewenangan memberikan pelayanan kesehatan sesuai Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 ialah: 1. Sudah memiliki STR (Surat Tanda Regristrasi )18; 18 Apabila belum terbentuk Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI) Majelis Tenaga Kesehatan Provinsi (MTKP) dan/atau proses STR belum dapat dilaksanakan, maka surat Jurnal Kesehatan dan Budaya “ HIKMAH” AKBID Islam Al-Hikmah Jepara ISSN: 1907-1396 Vol.07 No.02 Edisi November 2014 2. Minimal Lulusan D III bagi bidan yang Praktek Mandiri; 3. Memiliki SIPB bagi bidan yang praktek mandiri; 4. Memiliki SIKB bagi bidan yang praktek di fasilitas pelayanan kesehatan. 5. SIKB atau SIPB berlaku hanya untu satu tempat. (pasal 3) Bagi bidan yang sudah di berikan izin oleh pemerintah harus menjalankan kewenangannya untuk melaksanakan pekerjaannya secara professional, sebab seorang tenaga kesehatan dalam melakukan pekerjaannya, selalu dituntut untuk sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur tindakan medik19 Oleh karena itu bagi profesi kesehatan khususnya Bidan harus memahami norma dan aturan yang berlaku di profesinya. Dasar kewenangan bidan sangat tegas dan kuat karena telah diatur oleh Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Pasal 23, dan untuk pelaksanaan teknisnya telah didelegasikan melalui pasal 23 ayat (5) undang-undang tersebut kepada peraturan menteri dan dalam hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor izin Bidan ditetapkan berlaku sebagai STR (pasal 4 ayat (3) Permenkes Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010). 19Wila Chandrawila Supriadi. 2001. Hukum Kedokteran. Bandung: Mandar Maju. 42-43 1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin dan Penyelenggaran Praktik Bidan. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1464/MENKES/KES/PER/2010, ini mempunyai kekuatan hukum yang mengikat profesi bidan karena peraturan ini melaksanakan ketentuan undangundang yaitu pasal 23 ayat (5) Undangundang Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan yang ber bunyi : Ketentuan mengenai perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)20 diatur dalam Peraturan Menteri. Oleh karena itu agar tidak melanggar atau melampaui kewenangannya bidan harus mematuhi peraturan ini, karena mempunyai kekuatan hukum mengikat profesi bidan, sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 7 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan peraturan peraturan perundangundangan yang menyebutkan bahwa Jenis dan hierarkhi peraturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat sebagai berikut : 1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 20 Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan wajib memiliki izin dari pemerintah. Jurnal Kesehatan dan Budaya “ HIKMAH” AKBID Islam Al-Hikmah Jepara ISSN: 1907-1396 Vol.07 No.02 Edisi November 2014 2. Undang-undang atau Peraturan pengganti Undang-undang; 3. Peraturan pemerintah; 4. Peraturan Presiden; 5. Peraturan Daerah; 6. Peraturan perundang-undangan lain yang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Permenkes Nomor 1464/ Menkes/Per/X/2010 tentang Izin dan Penyelenggaran Praktik Bidan termasuk Peraturan perundang-undangan lain yang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam hal ini diperintahkan pasal 3 ayat (5) Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan. Oleh karena itu semua bidan di Indonesia baik yang menyelenggarakan praktek mandiri maupun yang di fasilitas pelayanan kesehatan harus melaksanakan kewenangannya sesuai Peraturan Menteri Kesehatan tersebut. B. Kewenangan Bidan Dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 Kewenangan bidan baik di fasilitas pelayanan kesehatan maupun yang praktek mandiri berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin dan Penyelenggaran Praktik Bidan, sebagai berikut: 1) Kewenangan Bidan secara umum 2) Kewenangan Dalam Menjalankan Program Pemerintah 3) Kewenangan bidan yang menjalankan praktik di daerah yang tidak memiliki dokter. Adapun Rincian Tiga (3) kewenangan Bidan di atas sebagai berikut: 1. Kewenangan Bidan Secara Umum Kewenangan bidan secara umum maksudnya berlaku untuk semua bidan baik di fasilitas kesehatan maupun yang praktek mandiri meliputi: A. Pelayanan kesehatan ibu Pelayanan kesehatan ibu diberikan pada masa pra hamil, kehamilan, masa persalinan, masa nifas, masa menyusui dan masa antara dua kehamilan.(pasal 10 ayat 1) Adapun ruang lingkup pelayanan kesehatan ibu meluputi: a. Pelayanan konseling pada masa pra hamil b. Pelayanan antenatal pada kehamilan normal c. Pelayanan persalinan normal d. Pelayanan ibu nifas normal e. Pelayanan ibu menyusui dan Jurnal Kesehatan dan Budaya “ HIKMAH” AKBID Islam Al-Hikmah Jepara ISSN: 1907-1396 Vol.07 No.02 Edisi November 2014 f. Pelayanan konseling pada masa antara dua kehamilan. (pasal 10 ayat 1) Pelayanan-pelayanan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 10 ayat 2 di atas, bidan berwenang memberikan pelayanan untuk: a. Episiotomi; b. Penjahitan luka jalan lahir tingkat I dan II; c. Penanganan kegawatdaruratan, dilanjutkan dengan perujukan; d. Pemberian tablet Fe pada ibu hamil; e. Pemberian vitamin A dosis tinggi pada ibu nifas; f. Fasilitasi/bimbingan inisiasi menyusu dini (IMD) dan promosi air susu ibu (ASI) eksklusif; g. Pemberian uterotonika pada manajemen aktif kala tiga dan postpartum; h. Penyuluhan dan konseling; i. Bimbingan pada kelompok ibu hamil; j. Pemberian surat keterangan kematian; k. Pemberian surat keterangan cuti bersalin. Ruang lingkup pelayan kebidanan kepada ibu dalam permenkes Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010, ada perbedaan dengan Keputusan Menteri Kesehatan nomor 900/MENKES/SK/VII/2002 dimana perbedaan itu terletak pada dihapuskannya beberapa kewenangan bidan yang semula ada dalam Keputusan Menteri Kesehatan nomor 900/MENKES/SK/VII/2002 yaitu: 1. Pemeriksaan fisik 2. Pertolongan pada kehamilan abnormal yang mencakup ibu hamil dengan abortus iminens, hiperemesis gravidarum tingkat I, preeklamasi ringan dan anemi ringan; 3. Pertolongan pada kehamilan abnormal yang mencakup letak sungsang, partus macet kepala di dasar panggul, ketuban pecah dini (KPD) tanpa infeksi, perdarahan post partum, laserasi jalan lahir, distosia karena inersia uteri primer, post term dan pre term; 4. Pelayanan ibu nifas abnormal yang mencakup retensio plasenta, renjatan dan infeksi ringan; 5. Pelayanan dan pengobatan pada kelainan ginekologi yang Jurnal Kesehatan dan Budaya “ HIKMAH” AKBID Islam Al-Hikmah Jepara ISSN: 1907-1396 Vol.07 No.02 Edisi November 2014 meliputi keputihan, perdarahan tidak teratur dan penundaan Haid. B. Pelayanan kesehatan anak Diberikan kepada bayi baru lahir, bayi, anak balita, dan anak pra sekolah. Kewenangan bidan dalam pelayanan kesehatan kepada anak meliputi: 1. Melakukan asuhan bayi baru lahir normal termasuk resusitasi, pencegahan hipotermi, inisiasi menyusu dini (IMD), injeksi vitamin K 1, perawatan bayi baru lahir pada masa neonatal (0-28 hari), dan perawatan tali pusat 2. Penanganan hipotermi pada bayi baru lahir dan segera merujuk 3. Penanganan kegawatdaruratan, dilanjutkan dengan perujukan 4. Pemberian imunisasi rutin sesuai program Pemerintah 5. Pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita dan anak pra sekolah 6. Pemberian konseling dan penyuluhan 7. Pemberian surat keterangan kelahiran 8. Pemberian surat keterangan kematian. (Pasal 10 ayat 3) C. Pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana Pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana, dengan kewenangan: 1. Memberikan penyuluhan dan konseling kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana 2. Memberikan alat kontrasepsi oral dan kondom Kewenangan bidan secara umum atau yang berlaku untuk semua bidan baik yang di fasilitas kesehatan maupun yang praktek mandiri, dibatasi hanya untuk kesehatan ibu dan anak sementara pelayanan kesehatan masyarakat yang dulu tercantum dalam kepmenkes nomor 900 tahun 2002 ditiadakan. 2. Kewenangan Dalam Menjalankan Program Pemerintah Selain kewenangan umum di atas, khusus bagi bidan yang menjalankan program Pemerintah sebagaimana yang tercantum dalam pasal pasal 13 ayat 1, bidan mendapat kewenangan tambahan untuk melakukan pelayanan kesehatan yang meliputi: Jurnal Kesehatan dan Budaya “ HIKMAH” AKBID Islam Al-Hikmah Jepara ISSN: 1907-1396 Vol.07 No.02 Edisi November 2014 a. Pemberian alat kontrasepsi suntikan, alat kontrasepsi dalam rahim, dan memberikan pelayanan alat kontrasepsi bawah kulit; b. Asuhan antenatal terintegrasi dengan intervensi khusus penyakit kronis tertentu (dilakukan di bawah supervisi dokter); c. Penanganan bayi dan anak balita sakit sesuai pedoman yang ditetapkan; d. Melakukan pembinaan peran serta masyarakat di bidang kesehatan ibu dan anak, anak usia sekolah dan remaja, dan penyehatan lingkungan; e. Pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita, anak pra sekolah dan anak sekolah; f. Melaksanakan pelayanan kebidanan komunitas; g. Melaksanakan deteksi dini, merujuk dan memberikan penyuluhan terhadap Infeksi Menular Seksual (IMS) termasuk pemberian kondom, dan penyakit lainnya; h. Pencegahan penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) melalui informasi dan edukasi; i. Pelayanan kesehatan lain yang merupakan program Pemerintah. Dalam pasal 13 ayat 2 disebutkan Khusus untuk pelayanan alat kontrasepsi bawah kulit, asuhan antenatal terintegrasi, penanganan bayi dan anak balita sakit, dan pelaksanaan deteksi dini, merujuk, dan memberikan penyuluhan terhadap Infeksi Menular Seksual (IMS) dan penyakit lainnya, serta pencegahan penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA), hanya dapat dilakukan oleh bidan yang telah mendapat pelatihan untuk pelayanan tersebut. 3. Kewenangan bidan yang menjalankan praktik di daerah yang tidak memiliki dokter Khusus di daerah (kecamatan atau kelurahan/desa) yang belum ada dokter, bidan juga diberikan kewenangan sementara untuk memberikan pelayanan kesehatan di luar kewenangannya dalam pasal 9 (kewenangan secara umum), dengan syarat telah ditetapkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Kewenangan bidan untuk memberikan pelayanan kesehatan di luar kewenangan Umum tersebut berakhir dan tidak berlaku lagi jika di daerah tersebut sudah terdapat tenaga dokter (pasal 14). Jurnal Kesehatan dan Budaya “ HIKMAH” AKBID Islam Al-Hikmah Jepara ISSN: 1907-1396 Vol.07 No.02 Edisi November 2014 Dalam menjalankan praktik, bidan berkewajiban untuk: 1) Menghormati hak pasien 2) Merujuk kasus yang tidak dapat ditangani dengan tepat waktu. 3) Menyimpan rahasia kedokteran21 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 4) Memberikan informasi tentang masalah kesehatan pasien dan pelayanan yang dibutuhkan; 5) Meminta persetujuan tindakan kebidanan yang akan dilakukan; 6) Melakukan pencatatan asuhan kebidanan secara sistematis; 7) Mematuhi standar; dan 8) Melakukan pelaporan penyelenggaraan praktik kebidanan termasuk pelaporan kelahirana dan kematian. 9) Senantiasa meningkatkan mutu pelayanan profesinya, dengan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pendidikan dan pelatihan sesuai dengan bidang tugasnya. 10) Membantu program pemerintah dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. (Pasal 18) 21 Kewajiban menyimpan rahasia kedokteran merupakan kesejajaran dengan hak pasien untuk disimpan rahasianya oleh dokter (tenaga medis). (Crisdiono, 2007: 11). Hak dan kewajiban selalu beriringan oleh karena itu selain mempunyai kewajiban di atas bidan mempunyai hak22 : 1. Memperoleh perlindngan hukum23 dalam melaksanakan praktik/kerja sepanjang sesuai dengan standar; 2. Memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari pasien dan/atau keluarga; 3. Melaksanakan tugas sesuai dengan kewenangan dan standar; dan 4. Menerima imbalan jasa profesi. (pasal 19) SIMPULAN DAN SARAN Kewenangan Bidan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 1464/ Menkes/ Per/ X/2010 dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa: 22 Hak adalah kepentingan yang dilindungi hukum (Sudikno, 2005:43). 23 Menurut Koerniatmanto soetoprawiro perlindungan hukum itu pada hakekatnya adalah suatu upaya dari pihak yang berwenang untuk memberikan jaminan dan kemudahan yang sedemikian rupa sehingga setiap warga negara ataupun segenap warga negara dapat mengaktualisasikan hak dan kewajiban mereka secara optimal dengan tenang dan tertib. Jurnal Kesehatan dan Budaya “ HIKMAH” AKBID Islam Al-Hikmah Jepara ISSN: 1907-1396 Vol.07 No.02 Edisi November 2014 1. Dasar kewenangan bidan sangat tegas dan kuat karena telah diatur oleh Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Pasal 23, dan untuk pelaksanaan teknisnya telah didelegasikan melalui pasal 23 ayat (5) undang-undang tersebut kepada peraturan menteri dan dalam hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 1464/ Menkes/Per/X/2010 tentang Izin dan Penyelenggaran Praktik Bidan. 2. Ruang lingkup kewenangan bidan yaitu: a. Kewenangan Bidan secara umum Kewenangan bidan secara umum atau yang berlaku untuk semua bidan baik yang di fasilitas kesehatan maupun yang praktek mandiri, dibatasi hanya untuk kesehatan ibu dan anak sementara pelayanan kesehatan masyarakat yang dulu tercantum dalam kepmenkes nomor 900 tahun 2002 ditiadakan. b. Kewenangan Dalam Menjalankan Program Pemerintah c. Kewenangan bidan yang menjalankan praktik di daerah yang tidak memiliki dokter. DAFTAR PUSTAKA 1. Anny.Isfandyarie. 2005. Malpraktek dan Resiko Medik dalam Kajian Hukum Pidana. Jakarta: Prestasi Pustaka. 2. Bahder Johan Nasution. 2005. Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban. Jakarta: Rineka Cipta. 3. Chrisdiono M. Achadiat. 2007. Dinamika Etika dan Hukum kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku Kedoktera EGC. Hal-11. 4. H. J. J. Lenan dan P. A. F. Lamintang. 1991. Pelayanan Kesehatan dan Hukum : suatu studi Tentang Hukum Kesehatan. Bandung: Rineka Cipta. 5. Maria Farida Indrati Soeprapto. 2006. Ilmu Perundang-undangan dasardasar dan pembentukannya. Yogyakarta: Kanisius. 6. Sadjijono. 2008. Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi. Yogyakarta: LaksBang PRESSindo. 7. Safitri Hariyani. 2005. Sengketa Medik : Alternatif Penyelesaian Perselisihan Antara Dokter dengan Pasien. Jakarta: Diadit Media. 8. Soerjono Soekanto & R. Otje Salman. 1996. Disiplin Hukum dan Disiplin Sosial Jakarta: Rajawali Pers. 9. Sofyawan Dahlan. 1999. Hukum Kesehatan Rambu-rambu Profesi Dokter. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. 10. Sofyan, Mustika,dkk. 2007. Bidan Menyongsong Masa Depan. Jakarta: PP IBI. 11. Sri Praptianingsih.2006. Kedudukan Hukum Perawat dalam Upaya Kesehatan di Rumah Sakit. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 12. Wila Chandrawila Supriadi. 2001. Hukum Kedokteran. Bandung: Mandar Maju.http://jurnal.unimus.ac.id. Fitriani Nur Damayanti. Perbandingan Jurnal Kesehatan dan Budaya “ HIKMAH” AKBID Islam Al-Hikmah Jepara ISSN: 1907-1396 Vol.07 No.02 Edisi November 2014 antara Kepemilikan Kompetensi Bidan Dengan Pelaksanaan Kewenangan bidan dalam Pelayanan Kebidanan pada Bidan Praktik Mandiri menurut kepmenkes no. 900/menkes/sk/vii/2002, permenkes no. Hk.02.02/menkes/149/2010 dan permenkes no. 1464/menkes/per/x/2010 di Kota Semarang. 13. Undang-Undang No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. 14. Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan. 15. Kepmenkes RI No.900/ Menkes/ SK/VII/2002 Tentang Registrasi dan Praktik Bidan. 16. Kepmenkes RI No. 369/MENKES/SK/III/2007 Tentang Standar Profesi Bidan. 17. Permenkes RI No. HK.02.02/Menkes/149/I/2010 Tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan. 18. Permenkes No. 1464/ Menkes/ Per/X/2010 Tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan.