Hukum Kebidanan

No comments

BAB I

PENDAHULUAN
Membahas masalah etika profesi dan hukum kebidanan sangat penting bagi mahasiswa kebidanan untuk mengetahui tentang apa itu etika, apa itu moral dan bagaimana menerapkannya dalam praktik kebidanan. Sehingga dengan hal tersebut seorang bidan akan terlindung dari kegiatan pelanggaran etik/moral ataupun pelanggaran dalam hukum yang sedang berkembang di hadapan publik dan erat kaitannya dengan pelayanan kebidanan sehingga seorang bidan sebagai provider kesehatan harus kompeten dalam menyikapi dan mengambil keputusan yang tepat untuk bahan tindakan selanjutnya sesuai standar asuhan dan kewenangan bidan.

Etika juga sering dinamakan filsafat moral yaitu cabang filsafat sistematis yang membahas dan mengkaji nilai baik buruknya tindakan manusia yang dilaksanakan dengan sadar serta menyoroti kewajiban-kewajiban yang seharusnya dilakukan oleh manusia. Perbuatan yang dilakukan sesuai dengan norma moral maka akan memperoleh pujian sebagai rewardnya, namun perbuatan yang melanggar norma moral, maka si pelaku akan memperoleh celaan sebagai punishmentnya.

Istilah etik yang kita gunakan sehari-hari pada hakikatnya berkaitan dengan falsafah moral yaitu mengenai apa yang dianggap baik atau buruk di masyarakat dalam kurun waktu tertentu, sesuai dengan perubahan/perkembangan norma/nilai. Pada zaman sekarang ini etik perlu dipertahankan karena tanpa etik dan tanpa diperkuat oleh hukum, manusia yang satu dapat dianggap sebagai saingan oleh sesama yang lain. Saingan yang dalam arti lain harus dihilangkan sebagai akibat timbulnya nafsu keserakahan manusia.

Kalau tidak ada etik yang mengekang maka pihak yang satu bisa tidak segan¬segan untuk melawannya dengan segala cara. Segala cara akan ditempuh untuk menjatuhkan dan mengalahkan lawannya sekadar dapat tercapai tujuan.
BAB II

PEMBAHASAN


  1. PENGERTIAN ETIKA (KODE ETIK)

Etika merupakan bagian filosofis yang berhubungan erat dengan nilai manusia dalam menghargai suatu tindakan, apakah benar atau salah, dan penyelesaiannya baik atau tidak.
Etika diartikan “sebagai ilmu yang mempelajari kebaikan dan keburukan dalam hidup manusia khususnya perbuatan manusia yang didorong oleh kehandak dengan didasari pikiran yang jernih dengan pertimbangan perasaan”.

Etik ialah suatu cabang ilmu filsafat. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa etik adalah disiplin yang mempelajari tentang baik atau buruk sikap tindakan manusia.
Menurut bahasa, Etik diartikan sebagai: dalam bahasa Yunani yaitu Ethos, kebiasaan atau tingkah laku, sedangkan dalam bahsa Inggris berarti Ethis, tingkah laku/prilaku manusia yg baik – tindakan yg harus dilaksanakan manusia sesuai dengan moral pada umumnya.

Selain itu etik juga merupakan aplikasi dari proses & teori filsafat moral terhadap kenyataan yg sebenarnya. Hal ini berhubungan dengan prinsip-prinsip dasar & konsep yg membimbing makhluk hidup dalam berpikir & bertindak serta menekankan nilai-nilai mereka.

Bagi sosiolog, etika adalah adat, kebiasaan dan perilaku orang-orang dari lingkungan budaya tertentu. Bagi praktisi profesional termasuk dokter dan tenaga kesehatan lainnya etika berarti kewajiban dan tanggung jawab memenuhi harapan (ekspekatasi) profesi dan amsyarakat, serta bertindak dengan cara-cara yang profesional, etika adalah salah satu kaidah yang menjaga terjalinnya interaksi antara pemberi dan penerima jasa profesi secara wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat.

  1. Sistematika Etika

Sebagai suatu ilmu maka etika terdiri atas berbagai macam jenis dan ragamnya antara lain:

  1. Etika deskriptif, yaitu memberikan gambaran atau ilustrasi tentang tingkah laku manusia ditinjau dari nilai baik/buruk serta hal-hal yangboleh dilakukan sesuai dengan norma etis yang dianut oleh masyarakat.
  2. Etika Normatif, yaitu membahas dan mengkaji ukuran baik buruk tindakan manusia, etika normatif juga dikelompokkan menjadi beberapa kelompok , sbb:

1). Etika umum, yaitu membahas hal-hal yang berhubungan dengan kondisi manusia untuk bertindak etis dalam mengambil kebijakan berdasarkan teori-teori dan prinsip-prinsip moral.

2). Etika khusus; yaitu terdiri dari Etika sosial, Etika individu dan Etika Terapan.

  1. a) Etika sosial menekankan tanggung jawab sosial dan hubungan antar sesama manusia dalam aktivitasnya.
  2. b) Etika individu lebih menekankan pada kewajiban-kewajiban manusia sebagai pribadi.
  3. c) Etika terapan adalah etika yang diterapkan pada profesi.

Pada tahun 2001 ditetapkan oleh MPR-RI dengan ketetapan MPR-RI No.VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Bangsa. Etika kehidupan bangsa bersumber pada agama yang universal dan nilai-nilai luhur budaya bangsa yaitu Pancasila.

Etika kehidupan berbangsa antara lain meliputi: Etika Sosial Budaya, Etika Politik dan Pemerintahan, Etika Ekonomi dan Bisnis, Etika Penegakkan Hukum yang Berkeadilan, Etika Keilmuan, Etika Lingkungan, Etika Kedokteran dan Etika Kebidanan.

  1. Kode Etik Profesi

Kode etik suatu profesi adalah berupa norma-norma yang harus diindahkan oleh setiap anggota profesi yang bersangkutan didalam melaksanakan tugas profesinya dan dalam hidupnya di masyarakat. Pada dasarnya tujuan menciptakan atau merumuskan kode etik suatu profesi adalah untuk kepentingan anggota dan kepentingan organisasi.
Secara umum tujuan menciptakan kode etik adalah sebagai berikut:

  1. Untuk menjunjung tinggi martabat dan citra profesi

Dalam hal ini yang dijaga adalah image dad pihak luar atau masyarakat mencegah orang luar memandang rendah atau remeh suatu profesi. Oleh karena itu, setiap kode etik suatu profesi akan melarang berbagai bentuk tindak tanduk atau kelakuan anggota profesi yang dapat mencemarkan nama baik profesi di dunia luar. Dari segi ini kode etik juga disebut kode kehormatan.

  1. Untuk menjaga dan memelihara kesejahtraan para anggota

Yang dimaksud kesejahteraan ialah kesejahteraan material dan spiritual atau mental. Dalam hal kesejahteraan materil angota profesi kode etik umumnya menerapkan larangan-larangan bagi anggotanya untuk melakukan perbuatan yang merugikan kesejahteraan. Kode etik juga menciptakan peraturan-peraturan yang ditujukan kepada pembahasan tingkah laku yang tidak pantas atau tidak jujur para anggota profesi dalam interaksinya dengan sesama anggota profesi.

  1. Untuk meningkatkan pengabdian para anggota profesi

Dalam hal ini kode etik juga berisi tujuan pengabdian profesi tertentu, sehingga para anggota profesi dapat dengan mudah mengetahui tugas dan tanggung jawab pengabdian profesinya. Oleh karena itu kode etik merumuskan ketentuan-ketentuan yang perlu dilakukan oleh para anggota profesi dalam menjalankan tugasnya.

  1. Untuk meningkatkan mutu profesi

Kode etik juga memuat tentang norma-norma serta anjuran agar profesi selalu berusaha untuk meningkatkan mutu profesi sesuai dengan bidang pengabdiannya. Selain itu kode etik juga mengatur bagaimana cara memelihara dan meningkatkan mutu organisasi profesi.

  1. ETIKA (KODE ETIK) PROFESI KEBIDANAN

Kode etik profesi merupakan “suatu pernyataan komprehensif dari profesi yang memberikan tuntunan bagi angotanya untuk melaksanakan praktik dalam bidang profesinya baik yang berhubungan dengan klien /pasien, keluarga, masyarakat, teman sejawat, profesi dan dirinya sendin”.

  1. Fungsi Etika dan Moralitas Dalam Pelayanan
  1. Menjaga otonomi dari setiap individu khususnya Bidan dan Klien
  2. Menjaga kita untuk melakukan tindakan kebaikan dan mencegah tindakan yg merugikan/membahayakan orang lain.
  3. Menjaga privacy setiap individu
  4. Mengatur manusia untuk berbuat adil dan bijaksana sesuai dengan porsinya
  5. Dengan etik kita mengatahui apakah suatu tindakan itu dapat diterima dan apa alasannya
  6. Mengarahkan pola pikir seseorang dalam bertindak atau dalam menganalisis suatu masalah
  7. Menghasilkan tindakan yg benar
  8. Mendapatkan informasi tenfang hal yg sebenarnya
  9. Memberikan petunjuk terhadap tingkah laku/perilaku manusia antara baik, buruk, benar atau salah sesuai dengan moral yg berlaku pada umumnya
  10. Berhubungan dengans pengaturan hal-hal yg bersifat abstrak
  11. Memfasilitasi proses pemecahan masalah etik serta mengatur hal-hal yang bersifat praktik
  12. Mengatur tata cara pergaulan baik di dalam tata tertib masyarakat maupun tata cara di dalam organisasi profesi
  13. Mengatur sikap, tindak tanduk orang dalam menjalankan tugas profesinya yg biasa disebut kode etik profesi.
  14. Hak Kewajiban dan Tanggungjawab Kebidanan

Hak dan kewajiban adalah hubungan timbal balik dalam kehidupan sosial sehari-hari. Pasien memiliki hak terhadap bidan atas pelayanan yang diterimanya. Hak pasti berhubungan dengan individu, yaitu pasien.

Sedangkan bidan mempunyai kewajiban/keharusan untuk pasien, jadi hak adalah sesuatu yang diterima oleh pasien. Sedang kewajiban adalah suatu yang diberikan oleh bidan. Seharusnya juga ada hak yang harus diterima oleh bidan dan kewajiban yang harus diberikan oleh pasien.

  1. Hak Pasien

Hak pasien adalah hak-hak pribadi yang dimiliki manusia sebagai pasien/klien, seperti:

1)   Pasien berhak memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di rumah sakit atau instusi pelayanan kesehatan.
2)   Pasien berhak atas pelayanan yang manusiawi, adil dan jujur.

3)   Pasien berhak memperoleh pelayanan kebidanan sesuai dengan profesi bidan tanpa diskriminasi.

4)   Pasien berhak memilih bidan yang akan menolongnya sesuai dengan keinginannya.

5)   Pasien berhak mendapatkan informasi yang meliputi kehamilan, persalinan, nifas dan bayinya yang baru dilahirkan.

6)   Pasien berhak mendapat pendampingan suami atau keluarga selama proses persalinan berlangsung.

7)   Pasien berhak memilih dokter dan kelas perawatan seuai dengan keinginannya dan sesuai dengan peraturan yang berlaku di rumah sakit.

8)   Pasien berhak dirawat oleh dokter yang secara bebas menentukan pendapat kritis dan pendapat etisnya tanpa campur tangan dari pihak luar.

9)   Pasien berhak meminta konsultasi kepada dokter lain yang terdaftar di rumah sakit tersebut (second opinion) terhadap penyakit yang dideritanya, sepengatahuan dokter yang merawat.

10) Pasien berhak meminta atas privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya.

11) Pasien berhak mendapat informasi yang meliputi:

  1. Penyakit yang diderita
  2. Tindakan kebidanan yang akan dilakukan
  3. Alternatif terapi lainnya
  4. Prognosisnya
  5. Perkiraan biaya pengobatan

12) Pasien berhak menyetujui/memberikan izin atas tindakan yang akan dilakukan oleh dokter sehubungan dengan penyakit yang dideritanya.

13) Pasien berhak menolak tindakan yang hendak dilakukan terhadap dirinya dan mengakhiri pengobatan serta perawatan atas tanggungjawab sendiri sesudah memperoleh informasi yang jelas tentang penyakitnya.

14) Pasien berhak didampingi keluarganya dalam keadaan kritis.

15) Pasien berhak menjalankan ibadah sesuai agama/kepercayaan yang dianutnya selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya.

16) Pasien berhak atas keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di rumah sakit.

17) Pasien berhak menerima/menolak bimbingan moril maupun spiritual.

18) Pasien berhak mendapatkan perlindungan hukum atas terjadinya kasus mal¬praktek.

  1. Kewajiban Pasien

1)   Pasien dan keluarganya berkewajiban untuk mentaati segala peraturan dan tata tertib rumah sakit atau institusi pelayanan kesehatan.

2)   Pasien berkewajiban untuk mematuhi segala instruksi dokter, bidan, perawat yang merawatnya.

3)   Pasien atau penanggungnya berkewajiban untuk melunasi semua imbalan atas jasa pelayanan rumah sakit atau institusi pelayanan kesehatan, dokter, bidan dan perawat.

4)   Pasien dan atau penangggungnya berkewajiban memenuhi hal-hal yang selalu disepakati/perjanjian yang telah dibuatnya.

  1. Hak Bidan

1)   Bidan berhak mendapat perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.

2)   Bidan berhak untuk bekerja sesuai dengan standar profesi pada setiap tingkat jenjang pelayanan kesehatan.

3)   Bidan berhak menolak keinginan pasien/klien dan keluarga yang bertentangan dengan peraturan perundangan dan kode etik profesi.

4)   Bidan berhak atas privasi dan menuntut apabila nama baiknya dicemarkan baik oleh pasien, keluarga maupun profesi lain.

5)   Bidan berhak atas kesempatan untuk meningkatkan diri baik melalui pendidikan maupun pelatihan.

6)   Bidan berhak memperoleh kesempatan untuk meningkatkan jenjang karir dan jabatan yang sesuai.

7)   Bidan berhak mendapat kompensasi dan kesejahteraan yang sesuai.

  1. Kewajiban Bidan

1)   Bidan wajib mematuhi peraturan rumah sakit sesuai dengan hubungan hukum antara bidan tersebut dengan rumah sakit bersalin dan sarana pelayanan tempat dia bekerja.

2)   Bidan wajib memberikan pelayanan asuhan kebidanan sesuai dengan standar profesi dengan menghormati hak-hak pasien.

3)   Bidan wajib merujuk pasien dengan penyulit kepada dokter yang mempunyai kemampuan dan keahlian sesuai dengan kebutuhan pasien.

4)   Bidan wajib memberi kesempatan kepada pasien untuk didampingi suami atau keluarga.

5)   Bidan wajib memberikan kesempatan kepada pasien untuk menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya.

6)   Bidan wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien.
7) Bidan wajib memberikan informasi yang akurat tentang tindakan yang akan dilakukan serta risiko yang mungkiri dapat timbul.

8)   Bidan wajib meminta persetujuan tertulis (informed consent) atas tindakan yang akan dilakukan.

9)   Bidan wajib mendokumentasikan asuhan kebidanan yang diberikan.

10) Bidan wajib mengikuti perkembangan IPTEK dan menambah ilmu pengetahuannya melalui pendidikan formal atau non formal.

11) Bidan wajib bekerja sama dengan profesi lain dan pihak yang terkait secara timbal balik dalam memberikan asuhan kebidanan.

  1. KODE ETIK HUKUM KEBIDANAN

Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah”, sedangkan “praktek” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktek berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”. Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi.
Sedangkan difinisi malpraktek profesi kesehatan adalah “kelalaian dari seseorang dokter atau tenaga keperawatan (perawat dan bidan) untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama” (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).

Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut yuridical malpractice.

Hal ini perlu dipahami mengingat dalam profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa yang dilanggar. Karena antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk menentukan adanya ethica malpractice atau yuridical malpractice dengan sendirinya juga berbeda. Yang jelas tidak setiap ethical malpractice merupakan yuridical malpractice akan tetapi semua bentuk yuridical malpractice pasti merupakan ethical malpractice (Lord Chief Justice, 1893).

  1. Malpraktek Dibidang Hukum

Untuk malpraktek hukum (yuridical malpractice) dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar, yakni Criminal malpractice, Civil malpractice dan Administrative malpractice.

  1. Criminal malpractice

Criminal malpractice adalah seseorang yang melakukan perbuatan yang mana perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yaitu seperti positive act / negative act yang merupakan perbuatan tercela dan dilakukan dengan sikap batin yang salah yang berupa kesengajaan (intensional), kecerobohan (reklessness) atau kealpaan (negligence).
1)   Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional)

  1. a) Pasal 322 KUHP, tentang Pelanggaran Wajib Simpan Rahasia Kebidanan, yang berbunyi:
  • Ayat (1) Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencahariannya, baik yang sekarang, maupun yang dahuluj diancam dengan pidana penjara paling lama sembi Ian bulan atau denda paling banyak enam ratu rupiah.
  • Ayat (2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat dituntut ata pengaduan orang itu.
  1. b) Pasal 346 sampai dengan pasal 349 KUHP, tentang Abortus Provokatus. Pasal 346 KUHP Mengatakan: Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
  2. c) Pasal 348 KUHP menyatakan:
  • Ayat (1) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
  • Ayat (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
  1. d) Pasal 349 KUHP menyatakan: Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan.
  2. e) Pasal 351 KUHP (tentang penganiayaan), yang berbunyi:
  • Ayat (1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
  • Ayat (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama lima tahun.
  • Ayat (3) Jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
  • Ayat (4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
  • Ayat (5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

2)   Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness)

Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness) misalnya melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien informed consent.

  1. a) Pasal 347 KUHP menyatakan:
  • Ayat (l) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan dan me¬matikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
  • Ayat (2) Jika perbuatan itu menyebabkan matinya wanita tersebut, dikenakart pidana penjara paling lama lima belas tahun.
  1. b) Pasal 349 KUHP menyatakan: Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan.

3)   Criminal malpractice yang bersifat kealpaan/lalai (negligence) misalnya kurang hati-hati melakukan proses kelahiran.

  1. a) Pasal-pasal 359 sampai dengan 361 KUHP, pasal-pasal karena lalai menyebabkan mati atau luka-luka berat.
  • Pasal 359 KUHP, karena kelalaian menyebabkan orang mati : Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan mati-nya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.
  • Pasal 360 KUHP, karena kelalaian menyebakan luka berat:
    Ayat (1) Barangsiapa karena kealpaannya menyebakan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lamasatu tahun.
    Ayat (2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehinga menimbulkan penyakit atau alangan menjalankan pekerjaan, jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam de¬ngan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah.
  • Pasal 361 KUHP, karena kelalaian dalam melakukan jabatan atau pekerjaan (misalnya: dokter, bidan, apoteker, sopir, masinis dan Iain-lain) apabila melalaikan peraturan-peraturan pekerjaannya hingga mengakibatkan mati atau luka berat, maka mendapat hukuman yang lebih berat pula.
  • Pasal 361 KUHP menyatakan: Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini di-lakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pencaharian, maka pidana ditambah dengan pertiga, dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencaharian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya putusnya di-umumkan.

Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan.

  1. Civil Malpractice

Seorang bidan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji). Tindakan bidan yang dapat dikategorikan civil malpractice antara lain:

1)   Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan.

2)   Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melakukannya.

3)   Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna.

4)   Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability. Dengan prinsip ini maka rumah sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan karyawannya (bidan) selama bidan tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya.

  1. Administrative Malpractice

Bidan dikatakan telah melakukan administrative malpractice manakala bidan tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police power, pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi bidan untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja, Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban bidan.

Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hukum administrasi.

  1. Landasan Hukum Wewenang Bidan

Bidan adalah salah satu tenaga kesehatan. Pengaturan tenaga kesehatan ditetapkan di dalam undang-undang dan Peraturan Pemerintah. Tugas dan kewenangan bidan serta ketentuan yang berkaitan dengan kegiatan praktik bidan diatur di dalam peraturan atau Keputusan Menteri Kesehatan.

Kegiatan praktik bidan dikontrol oleh peraturan tersebut. Bidan harus dapat mempertanggungjawabkan tugas dan kegiatan yang dilakukannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Setiap bidan memiliki tanggung jawab memelihara kemampuan profesionalnya. Oleh karena itu bidan harus selalu meningkatkan pengetahuan dan ketrampilannya dengan cara mengikuti pelatihan, pendidikan berkelanjutan, seminar, dan pertemuan ilmiah lainnya.

  1. Syarat Praktik Profesional Bidan

1)   Harus memiliki Surat Ijin Praktek Bidan (SIPB) baik bagi bidan yang praktik pada sarana kesehatan dan/atau perorangan Bdan Praktek Swasta (BPS).

2)   Bidan yang praktik perorangan harus memenuhi persyaratan yang meliputi tempat dan ruangan praktik, tempat tidur, peralatan, obat-obatan dan kelengkapan administrasi.

3)   Dalam menjalankan praktik profesionalnya harus sesuai dengan kewenangan yang diberikan, berdasarkan pendidikan dan pengalaman serta berdasarkan standar profesi.

4)   Dalam menjalankan praktik profesionalnya harus menghormati hak pasien, memperhatikan kewajiban bidan, merujuk kasus yang tidak dapat ditangani, meminta persetujuan tindakan yang akan dilakukan dan melakukan medical record dengan baik.

5)   Dalam menjalankan praktik profesionalnya bidan wajib melakukan pencatatan dan pelaporan.

  1. Wewenang Bidan dalam Menjalankan Praktik Profesionalnya

Dalam menangani kasus seorang bidan diberi kewenangan sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Indonesia No:900/Menkes/SK/VII/2002 tentang registrasi dan praktek bidan,yang disebut dalam BAB V praktik bidan antara lain:

1).  Pasal 14 : bidan dalam menjalankan prakteknya berwenang untuk memberikan pelayanan yang meliputi : (a). Pelayanan kebidanan, (b). Pelayanan keluarga berencana, dan (c). Pelayanan kesehatan masyarakat.

2).  Pasal 15 :

a).  Pelayanan kebidanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 huruf (pelayanan kebidanan) ditujukan pada ibu dan anak.

b).  Pelayanan kepada ibu diberikan pada masa pra nikah, pra hamil, masa hamil, masa bersalin, masa nifas, menyusui dan masa antara (periode interval).

c).  Pelayanan kebidanan pada anak diberikan pada masa bayi baru lahir,masa bayi,masa anak balita dan masa pra sekolah.

3).  Pasal 16 :

a).  Pelayanan kebidanan kepada meliputi :

  • Penyuluhan dan konseling
  • Pemeriksaan fisik
  • Pelayanan antenatal pada kehamilan normal
  • Pertolongan pada kehamilan abnormal yang mencakup ibu hamil dengan abortus iminens, hiperemesis grafidarum tingkat 1, pre eklamsi ringan dan anemia ringan.
  • Pertolongan persalinan normal
  • Pertolongan persalinan abnormal yang mencakup letak sungsang, partus macet kepala di dasar panggul, ketuban pecah dini (KPD) tanpa infeksi, perdarahan post partum, laserasi jalan lahir, distosia karena inersia uteri primer, post aterm dan preterm.
  • Pelayanan ibu nifas normal
  • Pelayanan ibu nifas abnormal yang mencakup retensio plasenta,renjatan dan infeksi ringan
  • Pelayanan dan pengobatan pada kelainan ginekologi yang meliputi keputihan,perdarahan tidak teratur dan penundaan haid.

b). Pelayanan kebidanan kepada anak meliputi:

– Pemeriksaan bayi baru lahir

– Perawatan tali pusat

– Perawatan bayi

– Resusitasi pada bayi baru lahir

– Pemantauan tumbuh kembang anak

– Pemberian imunisasi

– Pemberian penyuluhan

4).  Pasal 18 : Bidan dalam memberikan pelayanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 16,berwenang untuk :

– Memberikan imunisasi

– Memberikan suntikan pada penyulit kehamilan dan nifas

– Mengeluarkan plasenta secara secara manual

– Bimbingan senam hamil

– Pengeluaran sisa jaringan konsepsi

– Episiotomi

– Penjahitan luka episiotomi dan luka jalan lahir sampai tingkat 2

– Amniotomi pada pembukaan serviks lebih dari 4 cm

– Pemberian infuse

– Pemberian suntikan intramuskuler uterotonika

– Kompresi bimanual

– Versi ekstrasi gemelli pada kelahiran bayi kedua dan seterusnya

– Vakum ekstraksi dengan kepala bayi di dasar panggul

– Pengendalian anemi

– Peningkatan pemeliharaan dan penggunaan air susu ibu

– Resusitasi bayi baru lahir dengan asfiksia

– Penanganan hipotermi

– Pemberian minum dengan sonde/pipet

– Pemberian obat-obatan terbatas melalui lembaran ,permintaan , obat sesuai dengan formulir IV terlampir

– Pemberian surat kelahiran dan kematian.

  1. Standar Kompetensi Kebidanan

Standar kompetensi kebidanan yang berhubungan dengan anak dan imunisasi diatur dalam Undang-Undang Kesehatan No. 23 Th 1992, yaitu sbb:

1)   Pasal 15

  • Ayat (1): Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyclamatkan jiwaibu hamil dan atau janinnya, dapat ditakukan tindakan medis tertentu.
  • Ayat (2): Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan :
  1. a) berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut;
  2. b) oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta berdasarkan pertimbangan tim ahli;
  3. c) dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya;
  4. d) pada sarana kesehatan tertentu.

2)   Pasal 80

  • Ayat (1): Barang siapa dengan sengaja melakukan tindakan medis tertentu terhadap ibu hamil yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Dalam hal bidan didakwa telah melakukan ciminal malpractice, harus dibuktikan apakah perbuatan bidan tersebut telah memenuhi unsur tidak pidanya, yakni: apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan perbuatan yang tercela dan apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang salah (sengaja, ceroboh atau adanya kealpaan).

Selanjutnya apabila bidan dituduh telah melakukan kealpaan sehingga mengakibatkan pasien meninggal dunia, menderita luka, maka yang harus dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau kurang hati-hati ataupun kurang praduga.

Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan dengan dua cara yakni :

  1. Cara langsung, kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni :
  2. Duty (kewajiban). Dalam hubungan perjanjian bidan dengan pasien, bidan haruslah bertindak berdasarkan:

1) Adanya indikasi medis

2) Bertindak secara hati-hati dan teliti

3) Bekerja sesuai standar profesi

4) Sudah ada informed consent.

  1. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban) Jika seorang bidan melakukan pekerjaan menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka bidan tersebut dapat dipersalahkan.
  2. Direct Causation (penyebab langsung)
  3. Damage (kerugian)

Bidan untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara penyebab (causal) dan kerugian (damage)yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan bidan. Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya kesalahan dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien).

  1. Cara tidak langsung

Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan (doktrin res ipsa loquitur). Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria:

  1. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila bidan tidak lalai
  2. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab bidan
  3. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada contributory negligence.

Tidak setiap upaya kesehatan selalu dapat memberikan kepuasan kepada pasien baik berupa kecacatan atau bahkan kematian. Malapetaka seperti ini tidak mungkin dapat dihindari sama sekali. Yang perlu dikaji apakah malapetaka tersebut merupakan akibat kesalahan bidan atau merupakan resiko tindakan, untuk selanjutnya siapa yang harus bertanggung gugat apabila kerugian tersebut merupakan akibat kelalaian bidan.

Di dalam transaksi teraputik ada beberapa macam tanggung gugat, antara lain:

1).  Contractual liability

Tanggung gugat ini timbul sebagai akibat tidak dipenuhinya kewajiban dari hubungan kontraktual yang sudah disepakati. Di lapangan kewajiban yang harus dilaksanakan adalah daya upaya maksimal, bukan keberhasilan, karena health care provider baik tenaga kesehatan maupun rumah sakit hanya bertanggung jawab atas pelayanan kesehatan yang tidak sesuai standar profesi/standar pelayanan.

2). Vicarius liability

Vicarius liability atau respondeat superior ialah tanggung gugat yang timbul atas kesalahan yang dibuat oleh tenaga kesehatan yang ada dalam tanggung jawabnya (sub ordinate), misalnya rumah sakit akan bertanggung gugat atas kerugian pasien yang diakibatkan kelalaian bidan sebagai karyawannya.

3). Liability in tort

Liability in tort adalah tanggung gugat atas perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Perbuatan melawan hukum tidak terbatas hanya perbuatan yang melawan hukum, kewajiban hukum baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain, akan tetapi termasuk juga yang berlawanan dengan kesusilaan atau berlawanan dengan ketelitian yang patut dilakukan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda orang lain (Hogeraad 31 Januari 1919).

  1. Upaya Pencegahan Malpraktek Dalam Pelayanan Kesehatan

Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat bidan karena adanya mal praktek diharapkan para bidan dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:

1).  Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat verbintenis).

2).  Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.

3).  Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.

4).  Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.

5).  Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala kebutuhannya.

6).  Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.

  1. Upaya Menghadapi Tuntutan Hukum

Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak memuaskan sehingga bidan menghadapi tuntutan hukum, maka bidan seharusnyalah bersifat pasif dan pasien atau keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian bidan.

Apabila tuduhan kepada bidan merupakan criminal malpractice, maka bidan dapat melakukan :

1)   Informal defence

Dengan mengajukan bukti untuk menangkis/menyangkal bahwa tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya bidan mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko medik (risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap batin (men rea) sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan.

2)   Formal/legal defence

Yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa.

Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya bidan menggunakan jasa penasehat hukum, sehingga yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya. Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana bidan digugat membayar ganti rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat, karena dalam peradilan perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar gugatan bahwa tergugat (bidan) bertanggung jawab atas derita (damage) yang dialami penggugat.

Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk membuktikan adanya tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan adanya hubungan langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya kesehatan (damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah orang-orang awam dibidang kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan bidan.

DAFTAR PUSTAKA
Ameln,F. 1991. Kapita Selekta Hukum Kedokteran. Grafikatama Jaya: Jakarta.
Dahlan, S. 2002. Hukum Kesehatan: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang.
Guwandi, J. 1993. Malpraktek Medik: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

MAKALAH KONSEP 

Pendahuluan 

Negara hukum (rechtstaat), mengandung sekurang-kurangnya 2 (dua) makna. Pertama, adalah pengaturan mengenai batasan-batasan peranan negara atau pemerintahan dalam mencampuri kehidupan dan pergaulan masyarakat. Kedua, jaminan-jaminan hukum akan hak-hak, baik sipil atau hak-hak pribadi (individual rights), hak-hak politik (political rights), maupun hak-hak sebagai sebuah kelompok atau hak-hak sosial sebagai hak asasi yang melekat ♣ Tulisan ini merupakan bagian dari penelitian dengan judul yang sama, dilakukan dengan biaya mandiri pada tahun 2012 secara alamiah pada setiap insan, baik secara pribadi atau kelompok.1 Peran masyarakat guna membangun kesehatan sangatlah penting, dengan pembangunan adanya masyarakat yang sehat dan kuat maka kesejahteraan dan peningkatan derajat kesehatan juga meningkat dalam hal ini membutuhkan tenaga kesehatan yang profesional. Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, banyak hal yang perlu diperhatikan. Salah satu diantaranya yang dipandang memiliki peranan cukup penting adalah penyelenggaraan pelayanan keseha- 1 Bagir Manan, 2003, Teori Politik dan Konstitusi, Yogyakarta: Fakultas Hukum UII Press, hlm. 24 218 Jurnal Dinamika Hukum Vol. 13 No. 2 Mei 2013 tan untuk memberikan upaya pelayanan kesehatan. Undang-undang No 36 Tahun 2009 (selanjutnya disebut UU No. 36 Tahun 2009) menyebutkan upaya kesehatan adalah setiap kegiatan dan atau serangkaian yang dilakukan secara terpadu, terintegrasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehata masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan/masyarakat. Pembangunan kesehatan pada hakekatnya diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemampuan dan kemauan hidup sehat bagi setiap orang, menyangkut fisik,mental, maupun sosial budaya dan ekonomi. Untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal dilakukan berbagai upaya pelayanan kesehatan yang menyeluruh, terarah dan berkesinambungan. Masalah reproduksi di Indonesia mempunyai dua dimensi. Pertama, yang laten yaitu: kematian ibu dan kematian bayi yang masih tinggi akibat berbagai faktor termasuk pelayanan kesehatan yang relatif kurang baik. Kedua, timbulnya penyakit degeneratif yaitu menepouse dan kanker. Hak atas pelayanan dan perlindungan kesehatan bagi ibu dan anak merupakan hak dasar sebagaimana termaktub dalam Undang–undang Dasar 1945. Pasal 28 H UUD 1945 menentukan bahwa setiap orang hidup sejahtera lahir dan batin bertempat tinggal dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 menentukan bawha negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Pencantuman hak terhadap pelayanan kesehatan tersebut, tidak lain bertujuan untuk menjamin hak-hak kesehatan yang fundamental seperti tertuang dalam Declaration of Human Right 1948, bahwa health is a fundamental human right. Selain itu terdapat juga serangkaian konvensi internasional yang ditandatangani oleh pemerintah Indonesia yaitu UU No. 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, kesepakatan konvensi internasional tentang perempuan di Beijing tahun 1995. Adapun mengenai pembangunan kesehatan nasional yang diatur dalam UU No. 36 Tahun 2009. 2 Sebagai salah satu negara yang ikut menandatangani Deklarasi Millennium Development Goals (MDGs), Indonesia mempunyai komitmen menjadikan program-program MDGs sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari program pembangunan nasional baik dari jangka pendek maupun jangka menengah dan panjang. Termasuk dalam hal ini poin ke empat dan kelima dimana menurunkan angka kematian anak dan meningkatkan kesehatan maternal.3 Ketentuan mengenai kategori, jenis, dan kualifikasi tenaga kesehatan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 36 Tahun 2009 tentang Tenaga Kesehatan. Bidan merupakan salah satu tenaga kesehatan yang memiliki posisi penting dan strategis terutama dalam penurunan angka kematian ibu (AKI) dan angka kesakitan serta angka kematian bayi (AKB). Bidan memberikan pelayanan kebidanan yang berkesinambungan dan paripurna, berfokus pada aspek pencegahan, promosi dengan berlandaskan kemitraan dan pemberdayaan masyarakat bersama-sama dengan tenaga kesehatan lainnya untuk senantiasa melayani siapa saja yang membutuhkannya, kapan dan dimanapun ia berada. Untuk menjaga kualitas tersebut diperlukan suatu standar profesi sebagai acuan untuk melakukan segala tindakan dan sesuatu yang diberikan dalam seluruh aspek pengabdian profesinya kepada individu, keluarga dan masyarakat baik dari aspek input, proses dan output. Sebagai seorang tenaga kesehatan yang langsung memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, seorang bidan harus melakukan tindakan dalam praktik kebidanan secara etis, serta harus memiliki etika kebidanan yang sesuai dengan nilai-nilai keyakinan filosofi profesi dan masyarakat. Selain itu 2 Tedi Sudrajat dan Agus Mardiyanto, “Hak Atas Pelayanan dan Perlindungan Kesehatan Ibu dan Anak (Implementasi Kebijakan di Kabupaten Banyumas)”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12 No. 2 Mei 2012, Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, hlm. 261-262 3 Emmy Latifah, “Harmonisasi Kebijakan Pengentasan Kemiskinan di Indonesia Yang Berorientasi Pada Millennium Development Goals”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 11 No. 3 2011, Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, hlm. 403 Kajian Perbuatan Melawan Hukum terhadap Wewenang Pelayanan Bidan Praktik Mandiri di Kabupaten Banyumas 219 bidan juga berperan dalam memberikan persalinan yang aman, memastikan bahwa semua penolong persalinan mempunyai pengetahuan, ketrampilan dan alat untuk memberikan pertolongan yang aman dan bersih.4 Seorang bidan harus melakukan tindakan dalam praktik kebidanan secara etis serta harus memiliki etika kebidanan yang sesuai dengan nilai-nilai keyakinan filosofi profesi dan masyarakat. Selain itu bidan juga berperan memberikan pelayanan yang maksimal dan profesional, memberika pelayanan yang aman dan nyaman. Disinilah kita harus memastikan bahwa semua peNolong persalinan mempunyai pengetahuan, ketrampilan dan alat untuk memberikan pertolongan yang aman dan bersih. Adanya etika pelayanan bisa memberikan kepedulian, kewajiban dan tanggung jawab moral yang dimiliki oleh bidan tentang hidup dan makna kesehatan selama daur kehidupan. Ketika kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan meningkat, terutama pelayanan bidan, tidak diimbangi oleh keahlian dan keterampilan bidan untuk membentuk suatu mekanisme kerja pelayanan yang baik. Masih sering dijumpai pelayanan bidan tidak sesuai dengan wewenangnya dan juga kurangnya perlindungan hukum terhadap bidan. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas dalam kurun waktu tahun 2010-2011 diperoleh fakta seputar perbuatan melawan hukum terhadap wewenang pelayanan Bidan Praktik Mandiri (BPM) di Kabupaten Banyumas. Ada 13 kamatian perinatal (bayi baru lahir) dan 6 kematian materal (ibu bersalin) yang diperoleh dari data daftar tilik pelacakan kematian dan otopsi verbal maternal dan perinatal di Kabupaten Banyumas. Kejadian tersebut sebagian bukan wewenang bidan dalam melakukan praktiknya dan seharusnya dirujuk ke tingkat yang lebih tinggi untuk memperoleh pertolongan dan sesuai dengan wewenangnya atau tanggung jawabnya. Oleh karena itu, pentingnya penelitian ini adalah dapat ditegakannya penegakan hukum terhadap pelanggaran bidan dan akibat hukumnya, karena seorang bi- 4 Yanti dan W E Nurul, 2010, Etika Profesi Dan Hukum Kebidanan, Yogyakarta: Pustaka Rihama, hlm. 85 dan sudah mempunyai wewenang dan standar praktik bidan dalam hal ini guna membatasi wewenang sesuai dengan peraturan yang verlaku. bidan mengetahui dan dapat mengimplementasikan tanggung jawabnya sesuai dengan peraturan yang ada tanpa melampaui wewenang sesuai dengan kompetensinya, sehingga mortalitas dan morbiditas pasien khususnya ibu dan anak akan lebih terhindar. Permasalahan Kedudukan dari bidan mandiri, khususnya dalam melaksanakan praktik mandiri merupakan hal yang menarik untuk dikaji. Permasalahan yang dikaji pada artikel ini adalah berkaitan dengan masalah konsepsi perbuatan melawan hukum terhadap wewenang pelayanan bidan praktik mandiri di Kabupaten Banyumas. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yuridis Normatif, mempunyai spesifikasi secara preskriptif. Metode penelitian digunakan studi kasus (case study), dengan lokasi penelitian di wilayah Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas pada tahun 2010-2011. Data yang diperoleh, disajikan dalam bentuk teks naratif yang disusun secara sistematis, logis, dan rasional. Dalam arti keseluruhan data yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lain disesuaikan dengan masalah dan tujuan utama penelitian, sehingga merupakan suatu kesatuan yang utuh. Dengan menggunakan metode analisis kualitatif, yaitu: data yang diperoleh dengan menggabungkan antara permasalahan dan data yang diperoleh untuk dicapai pada kesimpulan tertentu sehingga diperoleh hasil yang signifikan dan ilmiah. Pembahasan Analisis Pelanggaran Wewenang Bidan Praktik Mandiri yang Berkenaan dengan Unsur-unsur Perbuatan Melawan Hukum Cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang 220 Jurnal Dinamika Hukum Vol. 13 No. 2 Mei 2013 berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Dalam rangka mencapai cita-cita bangsa tersebut diselenggarakan pembangunan nasional di semua bidang kehidupan yang berkesinambungan yang merupakan suatu rangkaian pembangunan yang menyeluruh, terpadu, dan terarah. Pembangunan kesehatan sebagai salah satu upaya pembangunan nasional diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan, dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Berbicara mengenai hukum dibidang kesehatan (kebidanan), apabila yang dimaksud dengan hukum itu dalam arti sebagai struktur dan aturan-aturan, maka pernyataan ini merupakan salah satu dari 3 (tiga) macam pedoman yang ada. Pertama, hukum dalam arti bahwa ada kekuatan-kekuatan sosial (dan hukum) yang dalam beberapa hal dirasakan sebagai suatu keharusan atau wajib, sehingga dalam hal demikian itu terbentuk hukum; kedua, baru pada hukumnya sendiri yang berupa struktur dan aturan yang dalam kenyataannya juga disebutkan sebagai hukum positif; dan ketiga, hukum terhadap pelaku dalam kenyataannya. Berdasarkan pembagian di atas, hukum kesehatan (kebidanan) masuk pada kategori yang kedua, yaitu struktur dan aturan-aturan sebagai satu keseluruhan yang secara utuh berhubungan dengan sistem hukum tertentu, yaitu sistem yang dianut dalam masyarakat dan negara Republik Indonesia, hukum kesehatan (kebidanan dalam hal ini) meliputi peraturan hukum tertulis, kebiasaan, yurisprudensi dan doktrin/ajaran ilmu pengetahuan, sedangkan objek hukum kesehatan (kebidanan) adalah perawatan kesehatan. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas dalam kurun waktu tahun 2010-2011 diperoleh fakta seputar perbuatan melawan hukum terhadap wewenang pelayanan Bidan Praktik Mandiri (BPM) di Kabupaten Banyumas. Ada 13 kamatian perinatal (bayi baru lahir) dan 6 kematian materal (ibu bersalin) yang diperoleh dari data daftar tilik pelacakan kematian dan otopsi verbal maternal dan perinatal kabupaten Banyumas. Sebagian kasus bukan wewenang bidan dalam melakukan praktiknya dan seharusnya dirujuk ke tingkat yang lebih tinggi untuk memperoleh pertolongan dan sesuai dengan wewenangnya atau tanggung jawabnya. Saat ini masih cenderung terjadi penyimpangan dalam pelayanan kebidanan. Penyimpangan disini diartikan sebagai pelayanan kebidanan yang tidak sesuai dengan Kode Etik Bidan, standar profesi dan hukum, meskipun para bidan praktisi di lapangan sudah berusaha menjalankan pelayanan sesuai standar yang ada. Sehingga dapat disebutkan sebagai dugaan perbuatan melawan hukum. Kemudian terkait dengan kerugian yang ditimbulkan akibat penyimpangan tersebut, angka kesakitan dan kematian baik ibu dan bayi masih menjadi fokus utama di Banyumas. Angka kematian ibu dan bayi masih cenderung tinggi dan belum dapat diturunkan secara signifikan. Berdasarkan hasil penelitian di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas, diperoleh 3 kasus yang diduga melakukan pelanggaran hukum medik bidan dalam kurun waktu tahun 2010 diperoleh fakta-fakta seputar penegakan hukum medik bidan di Kabupaten Banyumas. Dalam penelitian ini, peneliti membatasi hasil penelitian dan pembahasan yaitu difokuskan pada proses penegakan hukum perdata terhadap pelanggaran hukum perdata medik bidan yang merupakan perbuatan melanggar hukum, ketiga kasus tersebut dijabarkan sebagai berikut. Kasus I diperoleh data dari daftar tilik pelacakan kematian bayi/perinatal Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas; adanya riwayat kehamilan pernah melahirkan 3 kali, jarak kehamilan 5 tahun, jumlah periksa 7 kali, tempat pemeriksaan rumah bidan R dan rumah bidan SR, status imunisasi 2 kali waktu hamil terdahulu, imunisasi TT sudah 5 kali selama hidup, pemberian tablet besi ya dengan jumlah 110 tablet dan diminum sesuai petunjuk, komplikasi kehamilan ada yaitu pernah presentasi lintang pada saat usia kehamilan 28 minggu. Riwayat persalinan; tanggal kelahiran 14-2-2010, lahir hidup, jenis kelamin laki-laki, kelahiran tunggal, presentasi bokong, menangis rintih, berat lahir Kajian Perbuatan Melawan Hukum terhadap Wewenang Pelayanan Bidan Praktik Mandiri di Kabupaten Banyumas 221 3000 gr, panjang badan 48 cm, lingkar lengan kiri 10 cm, lingkar dada 32 cm, lingkar kepala 32 cm. Umur kehamilan 38 minggu lebih 1 hari, dengan HPHT (Hari Pertama Haid Terakhir) tanggal 20-5-2009 HPL(Hari Perkiraan Lahir) 27- 2-2010, penolong persalinan bidan R, tempat persalinan rumah bidan (praktik swasta), jarak ke tempat persalinan

Pasien harus mendapatkan haknya sesuai dengan perjanjian yang secara tidak sengaja telah tersepakati, pasien sebagai konsumen berhadapan dengan keadaan yang menyangkut keselamatan dirinya. Pasien berhak mengetahui segala sesuatu yang berkaian dengan pelayanan medis yang diberikan oleh tenaga medis. Jika pelayanan bidan diberikan kepada pasien sesuai dengan standar operasional prosedur, berkualitas dan bermartabat, maka pelayanan itu akan terhindar dari bayangan-bayangan tuntutan hukum maupun tuntutan etika profesi. Permasalahan Angka Kematian Ibu (AKI) yang terdeteksi masih sangat tinggi ini setidaknya karena beberapa penyebab baik langsung maupun tidak langsung. Salah satu pemasok terbesar penyebab langsung perdarahan, pre eklamsi, baik dalam kehamilan, saat bersalin dan setelah bersalin. Sedangkan yang menjadikan penyebab tidak langsung karena keterlambatan membawa ke tempat rujukan, terlambat mencari pertolongan dan terlambat memberi pertolongan di tempat rujukan. Memberikan pelayanan kesehatan kepada ibu hamil bersalin, nifas dan neonatal haruslah sesuai denga ketentuan yang ditetapkan serta berdasarkan pada kode etik profesi sehingga meningkatkan kuwalitas diri perlu selalu dipelihara. Teamwork yang baik dalam pelayanan kesehatan perlu dieratkan dengan kejelasan wewenang dan fungsinya. Oleh karena tanpa mengindahkan hal-hal yang disebutkan sebelumnya, maka konsekwensi hukum akan muncul tatkala terjadi penyimpangan kewenangan atau karena kelalaian. Mengenai kasus di atas, seorang bidan tidak memberikan informasi tentang keadaan pasiennya serta bidan tidak merujuk pasien yang bukan wewenangnya atau kompetensinya. Penempatan terhadap jenis tenaga kesehatan tertentu ditetapkan berdasarkan kebijaksanaan melalui pelaksanaan masa bakti terutama bagi tenaga kesehatan yang sangat potensial di dalam kebutuhan penyelenggaraan upaya kesehatan. Disamping itu tenaga kesehatan tertentu yang bertugas sebagai pelaksana atau pemberi pelayanan kesehatan diberi wewenang sesuai dengan kompetensi pendidikan yang diperolehnya, sehingga terkait erat dengan hak dan kewajibannya. Kompetensi dan kewenangan tersebut menunjukan kemampuan profesional yang baku dan merupakan standar profesi untuk tenaga kesehatan tersebut. Menurut Pasal 2 ayat (3) PP No. 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan, disebutkan bahwa bidan termasuk dalam kelompok tenaga keperawatan. Sehubungan dengan hal tersebut, bidan juga memiliki hubungan dengan pasien, khususnya dalam praktik seperti halnya dengan tenaga kesehatan lainnya. Dalam pemberi pelayanan kesehatan oleh rumah sakit dokter, bidan dan perawat merupakan tenaga kesehatan yang memegang peran penting. Perawat (bidan) melakukan tindakan medik tertentu berdasakan ilmunya. Selanjutnya pasien tidak dirujuk oleh bidan dalam kasus diatas, dijelaskan di UU No. 44 Tahun 2009 Pasal 41 ayat (1) pemerintah dan asosiasi Rumah Sakit membentuk jejaring dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dan ayat (2) jejaring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi informasi, sarana prasarana, pelayanan, rujukan, penyediaan alat dan pendidikan tenaga. Pasal 42 ayat (1) sistem rujukan merupakan penyelenggaraan kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab secara timbal balik baik vertikal maupun horizontal, maupun struktural dan fungsional terhadap kasus penyakit atau masalah penyakit atau permasalahan kesehatan. Pasal 42 ayat (2) menentukan bahwa setiap rumah sakit berkewajiban merujuk pasien yang memerlukan pelayanan di luar kemampuan pelayanan Rumah Sakit. Upaya peningkatan derajat kesehatan semata-mata tidak hanya dilakukan oleh tenaga kesehatan (bidan) tetapi peran serta aktif masyarakat termasuk swasta perlu diarahkan, dibina dan dikembangkan sehingga dapat melakukan fungsi dan tanggung jawab sosialnya sebagai mitra pemerintah. Peran pemerintah lebih dititik beratkan pada pembinaan, pengaturan, dan pengawasan untuk terciptanya pemerataan pelayanan kesehatan dan tercapainya kondisi yang serasi dan seimbang antara upaya kesehatan yang dilaksanakan oleh pemerintah dan masyarakat termasuk swasta. Kewajiban untuk melakukan pemerataan dan peningkatan pela- Kajian Perbuatan Melawan Hukum terhadap Wewenang Pelayanan Bidan Praktik Mandiri di Kabupaten Banyumas 225 yanan kesehatan bagi seluruh lapisan masyarakat, tetap menjadi tanggung jawab Pemerintah. Keberhasilan pembangunan diberbagai bidang dan kemajuan ilmu pengetahuan dan tekNologi telah meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat dan kesadaran akan hidup sehat. Hal Ini mempengaruhi meningkatnya kebutuhan pelayanan dan pemerataan yang mencakup tenaga, sarana, dan prasarana baik jumlah maupun mutu. Oleh karena itu diperlukan pengaturan untuk melindungi pemberi dan penerima jasa pelayanan kesehatan. Bidan sebagai pendukung upaya kesehatan dalam menjalankan tugasnya harus selalu dibina dan diawasi. Pembinaan dilakukan untuk mempertahankan dan meningkatkan kemampuannya, sehingga selalu tanggap terhadap permasalahan kesehatan yang menjadi tanggung jawabnya, sedangkan pengawasan dilakukan terhadap kegiatannya agar tenaga kesehatan tersebut dapat melaksanakan tugasnya sesuai dengan kebijaksanaan peraturan perundangundangan dan sistem yang telah ditetapkan. Setiap penyimpangan pelaksanaan tugas oleh tenaga kesehatan mengakibatkan konsekuensi dalam bentuk sanksi. Telah ditentukan secara jelas bahwasannya tugas atau wewenang bidan sudah diatur oleh pemerintah sebagai berikut: pemberian kewenangan lebih luas kepada bidan dimaksudkan untuk mendekatkan pelayanan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal kepada setiap ibu hamil/bersalin, nifas dan bayi baru lahir (0- 28 hai) agar penanganan dini atau pertolongan pertama sebelum rujukan dapat dilakukan secara cepat dan tepat waktu. Dalam menjalankan kewenangan yang diberikan bidan harus; melaksanakan tugas kewenangannya sesuai dengan standar profesi, memiliki ketrampilan dan kemampuan untuk tindakan yang dilakukannya, mematuhi dan melaksanakan protap yang berlaku diwilayahnya, bertanggung jawab atas pelayanan yang diberikan dan berupaya secara optimal dalam mengutamakan keselamatan ibu calon bayi atau janin. Perhatian khusus yang diberikan pada masa sekitar persalinan karena kebanyakan kematian ibu dan bayi dalam masa tersebut. Pelayanan kesehatan pada anak diberikan kepada bayi(khususnya bayi baru lahir), balita dan anak pra sekolah. Pelayanan dan pengobatan genekologi yang dapat dilakukan oleh bidan adalah kelainan genekologi ringan seperti keputihan dan penundaan haid. Pengobatan ginekologik yang diberikan tersebut pada dasarnya bersifat pertolongan sementara sebelum dirujuk ke dokter atau tindak lanjut pengobatan sesuai advis dokter. Pelayanan neonatal esensial dan tata laksana neonatal sakit diluar rumah sakit meliputi; pertolongan persalinan traumatik, bersih dan aman;menjaga tubuh bayi tetap hangan dengan kontak dini; membersihkan jalan nafas, mempertahankan bayi bernafas spontan; pemberian ASI dini dalam 30 menit setelah melahirkan; mencegah infeksi pada bayi baru lahir antara lain melalui perawatan tali pusat secara higenis, pemberian imunisasi dan pemberian ASI eksklusif; pemeriksaan dan perawatan bayi baru lahir dilaksanakan pada bayi 0-28 hari. Peraturan Menteri Kesehatan No. 1464/ MenKes/per/X/2010 tentang Izin dan Penyelanggaraan Praktik Bidan Indonesia pada BAB III Penyelanggaraan Praktik Pasal 9 menentukan bahwa bidan dalam menjalankan praktik, berwenang untuk memberikan pelayanan yang meliputi pelayanan kesehatan ibu; pelayanan kesehatan anak; dan pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana. Pasal 10 ayat (1) menentukan bahwa pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a diberikan pada masa pra hamil, kehamilan masa persalinan, masa nifas, masa menyusui dan masa antara dua kehamilan. Pasal 13 ayat (1) selain wewenang bidan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksud ayat (1) meliputi pelayanan konseling pada masa pra hamil; pelayanan antenatal pada kehamilan Normal; pelayanan persalinan normal; pelayanan ibu nifas normal; pelayanan ibu menyusui; dan pelayanan konseling pada masyarakat kedua kehamilan; Pasal 13 ayat (3) menentukan bahwa bidan dalam memberikan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berwenang untuk episiotomi; penjahitan luka jalan lahir tingkat I 226 Jurnal Dinamika Hukum Vol. 13 No. 2 Mei 2013 dan II penanganan kegawatdaruratan dilanjutkan perujukan; pemberian tablet Fe pada ibu hamil; pemberian vitamin A dosis tinggi pada ibu nifas; fasilitas atau bimbingan inisiasi menyusui dini dan promosi air susu ibu eksklusif; pemberian uterotonika pada menejemen aktif kala III dan postpartum; penyuluhan dan konseling; bimbingan pada kelompok ibu hamil; pemberian surat keteranagan kematian; dan emberian surat keterangan cuti bersalin. Berdasarkan Pasal 13 ayat (1), selain kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12, bidan yang menjalankan program Pemerintah berwenang melakukan pelayanan kesehatan meliputi: butir g melaksanakan deteksi dini, merujuk dan memberikan penyuluhan terhadap Infeksi Menular Seksual (IMS) termasuk pemberian kondom dan penyakit lainnya. Suatu perbuatan dikatakan perbuatan melawan hukum apabila memenuhi beberapa unsur. Pertama, bertentangan dengan hak orang lain. Kedua, bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri (kewajiban hukum si pelaku). Ketiga, bertentangan dengan kesusilaan baik. Keempat, bertentangan dengan keharusan yang diindahkan dalam pergaulan. Berdasarkan data di atas, beberapa unsur terpenuhi. Pertama, bertentangan dengan hak orang lain. Maksud bertentangan dengan hak orang lain adalah bertentangan dengan hak subjektif (subjektiferecht) orang lain. Hak-hak pribadi (Persoonlijkheidsrechten) seperti hak atas keutuhan badan, kebebasan, hak atas kehormatan dan nama baik. Keluarga pasien dalam hal ini adalah suami tidak diberikan informasi sesuai dengan keadaan istri dan janinnya. Kedua, bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri (kewajiban hukum si pelaku). Suatu perbuatan adalah melawan hukum apabila perbuatan tersebut adalah bertentangan dengan kewajiban hukum (rechtsplicht) si pelaku. Rechtsplicht adalah kewajiban yang berdasar atas hukum. Menurut pendapat umum dewasa ini, maka hukum, mencakup keseluruhan Norma-norma, baik tertulis maupun tidak tertulis. Pada kasus I, bidan melanggar KepMenkes No. 1464/MenKes/per/X/2010. Bidan melanggar wewenangnya dimana menolong persalinan dengan kondisi janin premature dengan keadaan presentasi bokong, sedangkan dalam peraturan KepMenKes ataupun wewenang bidan diatas sudah jelas bahwasannya bidan hanya menolong kehamilan, persalinan fisiologis dan mendeteksi dini komplikasi persalinan serta dilanjutkan rujukan. Setelah melakukan diagnosa kebidanan bahwa usia kehamilan masih tergolong premature bidan tersebut tidak melakukan rujukan hal ini selain diatur dalam KepMenKes diatas dan wewenang bidan dijelaskan juga pada UU No. 44 Tahun 2009 Pasal 41 dan Pasal 42. Ketiga, bertentangan dengan kesusilaan. Keempat, bertentangan dengan keharusan yang diindahkan dalam pergaulan masyarakat mengenai orang lain atau benda milik orang lain. Unsur ketiga dan empat ini tidak terpenuhi dalam kasus diatas. Jadi kesimpulan sementara pada kasus di atas, bidan tersebut memenuhi unsur pertama dan kedua. Simpulan itu dapat diketahui dari KepMenkes No 1464/MenKes/per/X/2010. Pasal 23 ayat (1) menentukan bahwa dalam rangka pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Menteri, Pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/ kota dapat memberian tindakan administratif kepada bidan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan penyelenggaraan praktik dalam peraturan ini. Ayat (2) dari pasal tersebut menentukan bahwa tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui teguran lisan, teguran tertulis, pencabutan SIKB/SIPB untuk sementara paling lama 1 tahun; atau pencabutan SIKB/SIPB selamanya. Dari sudut hukum, profesi tenaga kesehatan dapat diminta pertanggung jawaban berdasarkan hukum perdata,hukum pidana maupun hukum administrasi. Tanggungjawab dibidang hukum perdata dapat ditemukan disetiap pelayanan kesehatan. Hal ini dapat dipahami karena dalam setiap pelayanan kesehatan selalu terjadi hubungan antara kedua belah pihak sebagai subjek hukum, dimana masing-masing pihak memiliki kewajiban dan haknya yang sama. Maksud kedua belah pihak ini adalah dokter dan pasien. Hubu- Kajian Perbuatan Melawan Hukum terhadap Wewenang Pelayanan Bidan Praktik Mandiri di Kabupaten Banyumas 227 ngan atara dokter dengan pasien diatur dalam suatu perjanjian yang syaratnya harus terpenuhi secara umum sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 BW. Apabila seseorang pada waktu melakukan perbuatan melawan hukum tahu betul suatu perbuatannya akan berakibat suatu keadaan yag merugikan orang lain pada umumnya perbuatan orang tersebut dapat dikatakan bisa dipertanggugjawabkan. Pasal 1365 KUHPer yang menentukan bahwa tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya mengganti kerugian tersebut. Pasal 1366 KUHPer yang menentukan bahwa seiap orang yang bertanggung jawab tidak saja untuk kergian yang disebabkan karena perbuatannya tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kekurang hati-hatiannya. Pasal 1367 KUHPer yang menentukan bahwa seseorang tidak saja bertanggungjawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri tetapi juga kerugian yang disebabkan oleh orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang dibawah pengawasannya. Pasal 1370 KUHPer yang menentukan dalam halnya suatu kematian dengan sengaja atau karena kurang hati-hatinya seseorang maka istri yang ditinggalkan, anak atau orang tua sikorban yang lazim mendapatkan nafkah dari pekerjaan korban mempunyai hak menuntut ganti rugi, yang dinilai menurut kedudukan dan kekayaan dari kedua belah pihak.9 Pasal 58 ayat (1) UU No 36 Tahun 2009 menentukan bahwa setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan dan atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian atau kesalahan akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayaan kesehatan yang diterimanya. 10 Sedangkan aspek perdata lainnya adalah tuntutan ganti rugi berdasarkan perbuatan melanggar hukum, ukuran yang digunakan adalah kesesuaian dengan standar profesi medik serta kerugian yang ditimbulkan. Pengertian diatas menunjukan bahwa se- 9 Bambang Heryanto, “Malpratik Dokter dalam Perspektif Hukum”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol 10 No 2 Mei 2010, Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, hlm. 184 10 Tedi Sudrajat dan Agus Mardiyanto, op.cit, hlm.268 kalipun hubungan hukum antara tenaga kesehatan (bidan) dengan pasien adalah ”upaya secara maksimal”, akan tetapi tidak tertutup kemungkinan timbulnya tuntutan ganti rugi yang didasarkan pada perbuatan melanggar hukum yang tenaga kesehatan harus mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dari segi hukum perdata.11 Kerugian – pada gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum – juga meliputi kerugian materi dan imateriil sebagaimana yang berlaku dalam gugatan berdasarkan wanprestasi. Apabila ketentuan di atas dibandingkan, maka gugatan perbuatan melawan hukum memiliki pengertian jauh lebih luas dibandingkan dengan wanprestasi karena beberapa hal. Pertama, gugatan wan prestasi dasarnya adalah perjanjian yang dalam hal ini adalah kontrak teraupetik (penyembuhan) antara tenaga kesehatan dalam hal ini adalah pasien. Dengan berlakunya azas kepribadian dalam transaksi teraupetik maka pihak yang terkait adalah pasien dan tenaga kesehatan atau rumah sakit. Oleh karena itu jika transaksi teraupetik tidak tercapai tujuannya karena wanprestasi, maka gugatan hanya ditujukan kepada bidan atau rimah sakit, sedangkan pihak lain yang membantu tidak dapat digugat berdasarkan wanprestasi. Kedua, sebaliknya gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum, gugatan tidak dapat ditujukan perbuatan melawan hukum, gugatan tidak hanya ditunjukan pada terhadap pelaku perbuatan itu saja, melainkan juga terhadap orang-orang yang bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang yang ada di bawah tanggung jawabnya. Rumah sakit dapat digugat untuk bertanggung jawab atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang bekerja dirumah sakit tersebut atau dapat digugat untuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh laboran atau perawat yang bekerja diperintahnya. 11 Hargianti Dini Iswandari, “Aspek Hukum Penyelenggaraan Praktik Kedokteran: Suatu Tinjauan Berdasarkan Undang-Undang No.9/2004 Tentang Praktik Kedokteran”, Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol 09 No 2 Juni 2006, Universitas Gadjah Mada, UGM Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan, hlm. 56 228 Jurnal Dinamika Hukum Vol. 13 No. 2 Mei 2013 Ketiga, gugatan berdasarkan wanprestasi dasarnya adalah perjanjian, jadi gugatan hanya diajukan bila bidan melakukan perbuatan melawan hukum lebih luas karena dapat bertujuan yang masuk kategori perbuatan melawan hukum yang menimbulkan pada pihak lain.12 Penutup Simpulan Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa bidan dalam kasus yang diambil sebagai data dalam penelitian ini memberikan pelayanan kepada pasien tetapi dalam hal ini dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum karena pelayanan bidan tersebut memenuhi dua unsur yaitu unsur bertentangan dengan hak subjektif orang lain dan bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri, tidak memberikan informasi secara lengkap dan memberikan pelayanan yang melebihi wewenangnya yaitu meNolong persalinan dengan keadaan janin premature. Dalam hal ini bidan bertentangan dengan PerMenKes No 1464 tahun 2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan, Undang-undang Rumah Sakit No. 44 Tahun 2009 dan Kode Etik serta wewenang bidan. Kedua hal tersebut secara teori termasuk perbuatan melawan hukum dalam arti sempit. DAFTAR PUSTAKA Heryanto, Bambang. “Malpratik Dokter dalam Perspektif Hukum”. Jurnal Dinamika Hukum, Vol 10 No 2 Mei 2010, Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman; Iswandari, Dini Hargianti. “Aspek Hukum Penyelenggaran Praktik Kedokteran: Suatu Tinjauan Berdasarkan Undang-Undang No.9/2004 Tentang Praktik Kedokteran”. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, 12 R.A. Antari Inaka Turingsih, “Tanggung Jawab Keperdataan Bidan Dalam Pelayanan Kesehatan”, Jurnal Mimbar Hukum, Vol 24 No 2 Juni 2012, Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, hlm. 268-274 Vol 09 No 2 Juni 2006. Universitas Gadjah Mada Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan; Latifah, Emmy. “Harmonisasi Kebijakan Pengentasan Kemiskinan di Indonesia yang berorientasi pada Millennium Development Goals”. Jurnal Dinamika Hukum, Vol 11 No 3 September 2011. Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman; Manan, Bagir. 2003. Teori Politik dan Konstitusi. Yogyakarta: FH UII Press; Rozah, Umi. “Pertanggungjawaban Pidana Dokter dalam Malpraktik Medis”. Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Vol 33 No 3 2004. Semarang: Fakultas Hukum UNDIP; Sudrajat,Tedi dan Agus Mardiyanto. “ Hak Atas Pelayanan dan Perlindungan Kesehatan Ibu dan Anak (Implementasi Kebijakan di Kabupaten Banyumas)”. Jurnal Dinamika Hukum, Vol 12 No 2 Mei 2012. Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman; Taufiq, Muhammad. ”Perspektif Yuridis Tanggung Jawab Dokter terhadap Rahasia Medis Pasien HIV/AIDS (Studi di Rumah Sakit Umum Daerah Banyumas)”. Jurnal Dinamika Hukum, Vol 11 No 3 September 2011. Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman; Turingsih, Inaka Antari R.A. “Tanggung Jawab Keperdataan Bidan dalam Pelayanan Kesehatan”. Jurnal Mimbar Hukum, Vol 24 No 2 Juni 2012. Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada; Wahyudi, Setya. ”Tanggung Jawab Rumah Sakit Terhadap Kerugian Akibat Kelalaian Tenaga Keshatan dan Implikasinya”. Jurnal Dinamika Hukum, Vol 11 No 3 September 2011. Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman; Yanti dan W.E. Nurul. 2010. Etika Profesi Dan Hukum Kebidanan. Yogyakarta: Pustaka Riham

PENDAHULUAN Kesehatan merupakan modal utama manusia dalam menjalankan aktifitas seharihari.2 Keberhasilan upaya kesehatan salah satunya tergantung pada ketersediaan sumber daya kesehatan yang berupa tenaga kesehatan3 . Pada awalnya profesi di dunia kesehatan yang diakui oleh masyarakat adalah profesi kedokteran. Namun belakangan pekerjaan keperawatan dan kebidanan mulai dikembangkan secara sungguh-sungguh sebagai profesi sendiri dengan body of know ledge dan bentuk pelayanan tersendiri pula.4 Pasal 1 ayat (6) UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, menyebutkan yang dimaksud dengan Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Ketersediaan tenaga kesehatan harus diikuti dengan profesionalitas kerja agar pelayanan kesehatan mempunyai mutu 2 Safitri Hariyani. 2005. Sengketa Medik : Alternatif Penyelesaian Perselisihan Antara Dokter dengan Pasien. Jakarta: Diadit Media. Hal 1. 3 Sri Praptianingsih.2006. Kedudukan Hukum Perawat dalam Upaya Kesehatan di Rumah Sakit. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Hal. 3. 4 Sofyawan Dahlan. 1999. Hukum Kesehatan Rambu-rambu Profesi Dokter. Semarang: Universitas Diponegoro. Hal-21. yang bagus dan sesuai dengan standar. Adapun yang dimaksud Standar adalah pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi yang meliputi standar pelayanan, standar profesi, dan standar operasional prosedur (Pasal 1 ayat (6) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1464/ MENKES/ KES/PER/2010). Ditinjau dari sudut pandang hukum kesehatan, standar pelayanan medis mempunyai dua tujuan yaitu Pertama, untuk melindungi masyarakat dari praktik-praktik yang tidak sesuai standar profesi. Kedua, melindungi anggota profesi dari tuntutan masyarakat yang tidak wajar5 . Penentuan dari indikasi dan pelaksanaan dari tindakan medis itu haruslah dilakukan sesuai dengan standar medis yang berlaku.6 Oleh karena itu setiap tenaga kesehatan harus memperhatikan standar yang berlaku di profesinya termasuk bidan, selain itu bidan juga harus patuh pada Kode Etik Kebidanan. Kode etik Kebidanan merupakan suatu pernyataan komprehensif profesi yang memberikan tuntunan bagi bidan untuk melaksanakan praktek kebidanan baik yang berhubungan dengan 5 Bahder Johan Nasution. 2005. Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban. Jakarta: Rineka Cipta. Hal. 43. 6 H. J. J. Lenan dan P. A. F. Lamintang. 1991. Pelayanan Kesehatan dan Hukum : suatu studi Tentang Hukum Kesehatan. Bandung: Rineka Cipta. Hal 34. Jurnal Kesehatan dan Budaya “ HIKMAH” AKBID Islam Al-Hikmah Jepara ISSN: 1907-1396 Vol.07 No.02 Edisi November 2014 kesejahteraan keluarga, masyarakat, teman sejawat, profesi dan dirinya. 7 Supaya sesuai standar dan kode etik, seorang bidan dalam menjalankan profesinya harus memperhatikan norma dan aturan yang berlaku. Norma adalah suatu ukuran atau patokan bagi seseorang dalam bertindak atau bertingka laku dalam masyarakat, intinya norma adalah segala aturan yang harus dipatuhi8 . Norma merupakan aturan atau kaidah yang dipakai sebagai tolok ukur untuk menilai sesuatu. Ada tiga macam norma yang dapat dijadikan pedoman bagi manusia untuk berperilaku dalam masyarakat, yaitu: 1. Etika atau Norma kesopanan 2. Norma Hukum 3. Norma moral atau etika.9 Norma hukum merupakan peraturan yang dibuat secara resmi oleh negara yang mengikat semua orang dan berlakunya dapat dipaksakan oleh aparat negara sehingga kaidah hukum dapat selalu dipertahankan berlakunya.10 Bidan sebagai salah satu Profesi yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Dalam 7 Sofyan, Mustika,dkk. 2007. Bidan Menyongsong Masa Depan. Jakarta: PP IBI. Hal-76 8 Maria Farida Indrati Soeprapto. 2006. Ilmu Perundang-undangan dasar-dasar dan pembentukannya. Yogyakarta: Kanisius. Hal-6. 9 Anny.Isfandyarie. 2005. Malpraktek dan Resiko Medik dalam Kajian Hukum Pidana. Jakarta: Prestasi Pustaka. Hal-3. 10 Anny Isfandyarie. Ibid. hal- 3 menjalankan profesinya harus mematuhi norma hukum yang berlaku bagi tenaga kesehatan pada umumnya dan khususnya bagi bidan. Norma hukum yang dimaksud dalam hal ini salah satunya adalah peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia, yang mengatur penyelenggaraan praktek bidan. Penyelenggaraan praktek Bidan diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1464/MENKES/KES/PER/2010. Adanya peraturan ini menjadikan dua peraturan sebelumnya tidak berlaku, Sebagaimana yang tercantum dalam Ketentuan Penutup Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1464/ MENKES/ KES/ PER/2010 yaitu pasal 29, peraturan ini sejak ditetapkannya mencabut dua aturan yang berlaku sebelumnya yaitu: a. Menteri Kesehatan Nomor 900/MENKES/SK/VII/2002 dan b. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor HK. 02.02/Menkes/149/I/2010 Tugas dan Kewenangan bidan dalam peraturan ini diatur dengan jelas, namun ada pro dan kontra terhadap peraturan ini karena banyak perbedaan dari peraturan semula yaitu Keputusa menteri Kesehatan Nomor 900/ MENKES/ SK/VII/2002 dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor HK. 02.02/ Menkes/ 149/I/2010. Peraturan menteri Kesehatan Nomor 1464/ MENKES/ KES/ PER/2010 banyak yang menganggap Jurnal Kesehatan dan Budaya “ HIKMAH” AKBID Islam Al-Hikmah Jepara ISSN: 1907-1396 Vol.07 No.02 Edisi November 2014 mempersempit ruang gerak bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Ada juga yang berpendapat hal tersebut wajar saja karena disamping bidan ada dokter dan dokter specialis Kandungan yang juga mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat sesuai dengan wewenangnya. Hasil penelitian tahun 2012 yang dilakukan oleh Fitriani Nur Damayanti11 di Semarang, menyebutkan ada beberapa Bidan yang melakukan Praktek Mandiri Masih menggunakan atau menerapkan Kepmenkes Nomor 900/ MENKES/ SK/ VII/2002, meski sudah ada Permenkes 1464 alasan mereka sebagian karena tidak mengetahui Permenkes Nomor 1464/MENKES/KES/PER/2010 sehingga tidak mengetahui perbedaan kewenangan bidan setelah keluarnya permenkes nomor 1464 tahun 2010. Permasalahan ketidaktahuan bidan akan peraturan yang baru (permenkes nomor 1464 tahun 2010) mengenai kewenangan bidan adalah fakta dilapangan, dan hal itu dimungkinkan bukan hanya di 11 http://jurnal.unimus.ac.id. Fitriani Nur Damayanti. Perbandingan antara Kepemilikan Kompetensi Bidan Dengan Pelaksanaan Kewenangan bidan dalam Pelayanan Kebidanan pada Bidan Praktik Mandiri menurut kepmenkes no. 900/menkes/sk/vii/2002, permenkes no. Hk.02.02/menkes/149/2010 dan permenkes no. 1464/menkes/per/x/2010 di Kota Semarang. Semarang saja bahkan di daerah-daerah lain apalagi di daerah terpencil yang minim akses informasi. Selain itu banyak bidan yang pro dan kontra terhadap adanya peraturan bidan yang baru tersebut. Berdasarkan hal tersebut penulis tertarik untuk membahas Tinjauan Yuridis kewenangan bidan berdasarkan Permenkes Nomor 1464/MENKES/KES/ PER/2010. Pembahasan ini menjadi penting karena semua orang yang ada di Indonesia dianggap tahu hukum tidak terkecuali bidan, sehingga alasan ketidaktahuan mereka akan peraturan baru tidak berlaku di depan hukum, selain itu pembahasan ini diharapkan memudahkan bidan dalam memahami kewenangannya sesuai peraturan yang berlaku saat ini, sehingga mereka dapat menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai standart dan ketentuan yang berlaku. (asas) Dari latar belakang di atas tulisan ini akan menjawab beberapa persoalan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah dasar hukum kewenangan Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan? 2. Apa sajakah wewenang bidan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010? Jurnal Kesehatan dan Budaya “ HIKMAH” AKBID Islam Al-Hikmah Jepara ISSN: 1907-1396 Vol.07 No.02 Edisi November 2014 PEMBAHASAN Tinjauan Yuridis Kewenanan Bidan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Penyelenggaraan dan Praktek Bidan A. Dasar Kewenangan Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan Menurut Wila Chandrawila Supriadi seorang tenaga kesehatan yang melakukan pekerjaan tanpa kewenangan, dapat dianggap melanggar salah satu standar profesi tenaga kesehatan12 . Wewenang menurut S.F. Marbun ialah kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik, atau secara yuridis adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undangundang yang berlaku untuk melakukan hubungan-hubungan hukum.13 Kata dasar kewenangan adalah wenang atau wewenang. Menurut Kamus Bahasa Indonesia, wewenang adalah hak dan kekuasaan untuk bertindak atau menentukan sesuatu. Menurut kamus hukum, wenang adalah 12 Wila Chandrawila Supriadi. 2001. Hukum Kedokteran. Bandung: Mandar Maju. Hal-140. 13Sadjijono. 2008. Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi. Yogyakarta: LaksBang PRESSindo. Hal-50. hak untuk melaksanakan sesuatu, berarti secara harafiah kewenangan adalah dasar hak atau dasar kekuasaan.14 Hak ialah Kewenangan yang melekat pada diri untuk melakukan atau tidak melakukan, memperoleh atau tidak memperolah sesuatu.15 Kewenangan menurut P.Nicolai adalah kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu (yaitu tindakantindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum, dan mencakup mengenai timbulnya dan lenyapnya akibat tertentu. Kewenangan berisi hak dan kewajiban tertentu, hak berisi kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau menuntut pihak lain melakukan tindakan tertentu, sedangkan kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu.16 Senada dengan pendapat P. Nicolai, Bagir Manan juga berpendapat bahwa wewenang dalam bahasa hukum berarti hak dan kewajiban (rechten en plichten), berbeda dengan kekuasaan 14Soerjono Soekanto & R. Otje Salman. 1996. Disiplin Hukum dan Disiplin Sosial Jakarta: Rajawali Pers. Hal-16. 15 Mariana Amiruddin. 2003. Kesehatan dan Hak Reproduksi Perempuan Panduan untuk Jurnalis, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan (YJP) dan the Japan Foundation. hal-10. 16 Ridwan HR. 2003. Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta: UII Press. Hal 71-72. Jurnal Kesehatan dan Budaya “ HIKMAH” AKBID Islam Al-Hikmah Jepara ISSN: 1907-1396 Vol.07 No.02 Edisi November 2014 (macht) yang hanya menggambarkan hak untuk berbuat dan tidak berbuat.17 Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kewenangan ialah kemampuan atau hak untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang disertai dengan kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu. Kewenangan bidan berarti kemampuan atau hak bidan untuk memberikan pelayaan kesehatan yang mana bidan juga mempunyai kewajiban tertentu. Sesuai dengan dengan UndangUndang Nomor 36 Tahun 2009 Pasal 23 ayat (1 dan 2) Tenaga kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan, adapun pelayanan kesehatan yang dimaksud harus sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki. Selain itu dalam ayat (3) juga disebutkan bahwa dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan wajib memiliki izin dari pemerintah. Tenaga kesehatan yang dimaksud meliputi : 1. Tenaga medis; 2. Tenaga keperawatan dan bidan; 3. Tenaga kefarmasian; 17 Ridwan HR. Ibid. Hal-72. 4. tenaga kesehatan masyarakat; 5. tenaga gizi; 6. tenaga keterapian fisik; dan 7. tenaga keteknisian medis. Dari penjelasan di atas bidan masuk dalam salah satu tenaga kesehatan, yang mana untuk memperoleh kewenangan bidan juga harus mematuhi ketentuan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Pasal 23 ayat (3) yaitu memiliki izin. Bidan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan baik secara mandiri maupun di fasilitas pelayanan kesehatan wajib memiliki izin dari pemerintah. Dalam hal ini pemerintah diwakili oleh Departemen Kesehatan, Pemberian kewenangan kepada bidan yang sudah memenuhi syarat tertentu diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin dan Penyelenggaran Praktik Bidan. Syarat-syarat bidan agar mendapat kewenangan memberikan pelayanan kesehatan sesuai Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 ialah: 1. Sudah memiliki STR (Surat Tanda Regristrasi )18; 18 Apabila belum terbentuk Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI) Majelis Tenaga Kesehatan Provinsi (MTKP) dan/atau proses STR belum dapat dilaksanakan, maka surat Jurnal Kesehatan dan Budaya “ HIKMAH” AKBID Islam Al-Hikmah Jepara ISSN: 1907-1396 Vol.07 No.02 Edisi November 2014 2. Minimal Lulusan D III bagi bidan yang Praktek Mandiri; 3. Memiliki SIPB bagi bidan yang praktek mandiri; 4. Memiliki SIKB bagi bidan yang praktek di fasilitas pelayanan kesehatan. 5. SIKB atau SIPB berlaku hanya untu satu tempat. (pasal 3) Bagi bidan yang sudah di berikan izin oleh pemerintah harus menjalankan kewenangannya untuk melaksanakan pekerjaannya secara professional, sebab seorang tenaga kesehatan dalam melakukan pekerjaannya, selalu dituntut untuk sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur tindakan medik19 Oleh karena itu bagi profesi kesehatan khususnya Bidan harus memahami norma dan aturan yang berlaku di profesinya. Dasar kewenangan bidan sangat tegas dan kuat karena telah diatur oleh Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Pasal 23, dan untuk pelaksanaan teknisnya telah didelegasikan melalui pasal 23 ayat (5) undang-undang tersebut kepada peraturan menteri dan dalam hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor izin Bidan ditetapkan berlaku sebagai STR (pasal 4 ayat (3) Permenkes Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010). 19Wila Chandrawila Supriadi. 2001. Hukum Kedokteran. Bandung: Mandar Maju. 42-43 1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin dan Penyelenggaran Praktik Bidan. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1464/MENKES/KES/PER/2010, ini mempunyai kekuatan hukum yang mengikat profesi bidan karena peraturan ini melaksanakan ketentuan undangundang yaitu pasal 23 ayat (5) Undangundang Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan yang ber bunyi : Ketentuan mengenai perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)20 diatur dalam Peraturan Menteri. Oleh karena itu agar tidak melanggar atau melampaui kewenangannya bidan harus mematuhi peraturan ini, karena mempunyai kekuatan hukum mengikat profesi bidan, sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 7 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan peraturan peraturan perundangundangan yang menyebutkan bahwa Jenis dan hierarkhi peraturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat sebagai berikut : 1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 20 Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan wajib memiliki izin dari pemerintah. Jurnal Kesehatan dan Budaya “ HIKMAH” AKBID Islam Al-Hikmah Jepara ISSN: 1907-1396 Vol.07 No.02 Edisi November 2014 2. Undang-undang atau Peraturan pengganti Undang-undang; 3. Peraturan pemerintah; 4. Peraturan Presiden; 5. Peraturan Daerah; 6. Peraturan perundang-undangan lain yang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Permenkes Nomor 1464/ Menkes/Per/X/2010 tentang Izin dan Penyelenggaran Praktik Bidan termasuk Peraturan perundang-undangan lain yang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam hal ini diperintahkan pasal 3 ayat (5) Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan. Oleh karena itu semua bidan di Indonesia baik yang menyelenggarakan praktek mandiri maupun yang di fasilitas pelayanan kesehatan harus melaksanakan kewenangannya sesuai Peraturan Menteri Kesehatan tersebut. B. Kewenangan Bidan Dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 Kewenangan bidan baik di fasilitas pelayanan kesehatan maupun yang praktek mandiri berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin dan Penyelenggaran Praktik Bidan, sebagai berikut: 1) Kewenangan Bidan secara umum 2) Kewenangan Dalam Menjalankan Program Pemerintah 3) Kewenangan bidan yang menjalankan praktik di daerah yang tidak memiliki dokter. Adapun Rincian Tiga (3) kewenangan Bidan di atas sebagai berikut: 1. Kewenangan Bidan Secara Umum Kewenangan bidan secara umum maksudnya berlaku untuk semua bidan baik di fasilitas kesehatan maupun yang praktek mandiri meliputi: A. Pelayanan kesehatan ibu Pelayanan kesehatan ibu diberikan pada masa pra hamil, kehamilan, masa persalinan, masa nifas, masa menyusui dan masa antara dua kehamilan.(pasal 10 ayat 1) Adapun ruang lingkup pelayanan kesehatan ibu meluputi: a. Pelayanan konseling pada masa pra hamil b. Pelayanan antenatal pada kehamilan normal c. Pelayanan persalinan normal d. Pelayanan ibu nifas normal e. Pelayanan ibu menyusui dan Jurnal Kesehatan dan Budaya “ HIKMAH” AKBID Islam Al-Hikmah Jepara ISSN: 1907-1396 Vol.07 No.02 Edisi November 2014 f. Pelayanan konseling pada masa antara dua kehamilan. (pasal 10 ayat 1) Pelayanan-pelayanan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 10 ayat 2 di atas, bidan berwenang memberikan pelayanan untuk: a. Episiotomi; b. Penjahitan luka jalan lahir tingkat I dan II; c. Penanganan kegawatdaruratan, dilanjutkan dengan perujukan; d. Pemberian tablet Fe pada ibu hamil; e. Pemberian vitamin A dosis tinggi pada ibu nifas; f. Fasilitasi/bimbingan inisiasi menyusu dini (IMD) dan promosi air susu ibu (ASI) eksklusif; g. Pemberian uterotonika pada manajemen aktif kala tiga dan postpartum; h. Penyuluhan dan konseling; i. Bimbingan pada kelompok ibu hamil; j. Pemberian surat keterangan kematian; k. Pemberian surat keterangan cuti bersalin. Ruang lingkup pelayan kebidanan kepada ibu dalam permenkes Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010, ada perbedaan dengan Keputusan Menteri Kesehatan nomor 900/MENKES/SK/VII/2002 dimana perbedaan itu terletak pada dihapuskannya beberapa kewenangan bidan yang semula ada dalam Keputusan Menteri Kesehatan nomor 900/MENKES/SK/VII/2002 yaitu: 1. Pemeriksaan fisik 2. Pertolongan pada kehamilan abnormal yang mencakup ibu hamil dengan abortus iminens, hiperemesis gravidarum tingkat I, preeklamasi ringan dan anemi ringan; 3. Pertolongan pada kehamilan abnormal yang mencakup letak sungsang, partus macet kepala di dasar panggul, ketuban pecah dini (KPD) tanpa infeksi, perdarahan post partum, laserasi jalan lahir, distosia karena inersia uteri primer, post term dan pre term; 4. Pelayanan ibu nifas abnormal yang mencakup retensio plasenta, renjatan dan infeksi ringan; 5. Pelayanan dan pengobatan pada kelainan ginekologi yang Jurnal Kesehatan dan Budaya “ HIKMAH” AKBID Islam Al-Hikmah Jepara ISSN: 1907-1396 Vol.07 No.02 Edisi November 2014 meliputi keputihan, perdarahan tidak teratur dan penundaan Haid. B. Pelayanan kesehatan anak Diberikan kepada bayi baru lahir, bayi, anak balita, dan anak pra sekolah. Kewenangan bidan dalam pelayanan kesehatan kepada anak meliputi: 1. Melakukan asuhan bayi baru lahir normal termasuk resusitasi, pencegahan hipotermi, inisiasi menyusu dini (IMD), injeksi vitamin K 1, perawatan bayi baru lahir pada masa neonatal (0-28 hari), dan perawatan tali pusat 2. Penanganan hipotermi pada bayi baru lahir dan segera merujuk 3. Penanganan kegawatdaruratan, dilanjutkan dengan perujukan 4. Pemberian imunisasi rutin sesuai program Pemerintah 5. Pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita dan anak pra sekolah 6. Pemberian konseling dan penyuluhan 7. Pemberian surat keterangan kelahiran 8. Pemberian surat keterangan kematian. (Pasal 10 ayat 3) C. Pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana Pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana, dengan kewenangan: 1. Memberikan penyuluhan dan konseling kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana 2. Memberikan alat kontrasepsi oral dan kondom Kewenangan bidan secara umum atau yang berlaku untuk semua bidan baik yang di fasilitas kesehatan maupun yang praktek mandiri, dibatasi hanya untuk kesehatan ibu dan anak sementara pelayanan kesehatan masyarakat yang dulu tercantum dalam kepmenkes nomor 900 tahun 2002 ditiadakan. 2. Kewenangan Dalam Menjalankan Program Pemerintah Selain kewenangan umum di atas, khusus bagi bidan yang menjalankan program Pemerintah sebagaimana yang tercantum dalam pasal pasal 13 ayat 1, bidan mendapat kewenangan tambahan untuk melakukan pelayanan kesehatan yang meliputi: Jurnal Kesehatan dan Budaya “ HIKMAH” AKBID Islam Al-Hikmah Jepara ISSN: 1907-1396 Vol.07 No.02 Edisi November 2014 a. Pemberian alat kontrasepsi suntikan, alat kontrasepsi dalam rahim, dan memberikan pelayanan alat kontrasepsi bawah kulit; b. Asuhan antenatal terintegrasi dengan intervensi khusus penyakit kronis tertentu (dilakukan di bawah supervisi dokter); c. Penanganan bayi dan anak balita sakit sesuai pedoman yang ditetapkan; d. Melakukan pembinaan peran serta masyarakat di bidang kesehatan ibu dan anak, anak usia sekolah dan remaja, dan penyehatan lingkungan; e. Pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita, anak pra sekolah dan anak sekolah; f. Melaksanakan pelayanan kebidanan komunitas; g. Melaksanakan deteksi dini, merujuk dan memberikan penyuluhan terhadap Infeksi Menular Seksual (IMS) termasuk pemberian kondom, dan penyakit lainnya; h. Pencegahan penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) melalui informasi dan edukasi; i. Pelayanan kesehatan lain yang merupakan program Pemerintah. Dalam pasal 13 ayat 2 disebutkan Khusus untuk pelayanan alat kontrasepsi bawah kulit, asuhan antenatal terintegrasi, penanganan bayi dan anak balita sakit, dan pelaksanaan deteksi dini, merujuk, dan memberikan penyuluhan terhadap Infeksi Menular Seksual (IMS) dan penyakit lainnya, serta pencegahan penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA), hanya dapat dilakukan oleh bidan yang telah mendapat pelatihan untuk pelayanan tersebut. 3. Kewenangan bidan yang menjalankan praktik di daerah yang tidak memiliki dokter Khusus di daerah (kecamatan atau kelurahan/desa) yang belum ada dokter, bidan juga diberikan kewenangan sementara untuk memberikan pelayanan kesehatan di luar kewenangannya dalam pasal 9 (kewenangan secara umum), dengan syarat telah ditetapkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Kewenangan bidan untuk memberikan pelayanan kesehatan di luar kewenangan Umum tersebut berakhir dan tidak berlaku lagi jika di daerah tersebut sudah terdapat tenaga dokter (pasal 14). Jurnal Kesehatan dan Budaya “ HIKMAH” AKBID Islam Al-Hikmah Jepara ISSN: 1907-1396 Vol.07 No.02 Edisi November 2014 Dalam menjalankan praktik, bidan berkewajiban untuk: 1) Menghormati hak pasien 2) Merujuk kasus yang tidak dapat ditangani dengan tepat waktu. 3) Menyimpan rahasia kedokteran21 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 4) Memberikan informasi tentang masalah kesehatan pasien dan pelayanan yang dibutuhkan; 5) Meminta persetujuan tindakan kebidanan yang akan dilakukan; 6) Melakukan pencatatan asuhan kebidanan secara sistematis; 7) Mematuhi standar; dan 8) Melakukan pelaporan penyelenggaraan praktik kebidanan termasuk pelaporan kelahirana dan kematian. 9) Senantiasa meningkatkan mutu pelayanan profesinya, dengan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pendidikan dan pelatihan sesuai dengan bidang tugasnya. 10) Membantu program pemerintah dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. (Pasal 18) 21 Kewajiban menyimpan rahasia kedokteran merupakan kesejajaran dengan hak pasien untuk disimpan rahasianya oleh dokter (tenaga medis). (Crisdiono, 2007: 11). Hak dan kewajiban selalu beriringan oleh karena itu selain mempunyai kewajiban di atas bidan mempunyai hak22 : 1. Memperoleh perlindngan hukum23 dalam melaksanakan praktik/kerja sepanjang sesuai dengan standar; 2. Memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari pasien dan/atau keluarga; 3. Melaksanakan tugas sesuai dengan kewenangan dan standar; dan 4. Menerima imbalan jasa profesi. (pasal 19) SIMPULAN DAN SARAN Kewenangan Bidan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 1464/ Menkes/ Per/ X/2010 dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa: 22 Hak adalah kepentingan yang dilindungi hukum (Sudikno, 2005:43). 23 Menurut Koerniatmanto soetoprawiro perlindungan hukum itu pada hakekatnya adalah suatu upaya dari pihak yang berwenang untuk memberikan jaminan dan kemudahan yang sedemikian rupa sehingga setiap warga negara ataupun segenap warga negara dapat mengaktualisasikan hak dan kewajiban mereka secara optimal dengan tenang dan tertib. Jurnal Kesehatan dan Budaya “ HIKMAH” AKBID Islam Al-Hikmah Jepara ISSN: 1907-1396 Vol.07 No.02 Edisi November 2014 1. Dasar kewenangan bidan sangat tegas dan kuat karena telah diatur oleh Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Pasal 23, dan untuk pelaksanaan teknisnya telah didelegasikan melalui pasal 23 ayat (5) undang-undang tersebut kepada peraturan menteri dan dalam hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 1464/ Menkes/Per/X/2010 tentang Izin dan Penyelenggaran Praktik Bidan. 2. Ruang lingkup kewenangan bidan yaitu: a. Kewenangan Bidan secara umum Kewenangan bidan secara umum atau yang berlaku untuk semua bidan baik yang di fasilitas kesehatan maupun yang praktek mandiri, dibatasi hanya untuk kesehatan ibu dan anak sementara pelayanan kesehatan masyarakat yang dulu tercantum dalam kepmenkes nomor 900 tahun 2002 ditiadakan. b. Kewenangan Dalam Menjalankan Program Pemerintah c. Kewenangan bidan yang menjalankan praktik di daerah yang tidak memiliki dokter. DAFTAR PUSTAKA 1. Anny.Isfandyarie. 2005. Malpraktek dan Resiko Medik dalam Kajian Hukum Pidana. Jakarta: Prestasi Pustaka. 2. Bahder Johan Nasution. 2005. Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban. Jakarta: Rineka Cipta. 3. Chrisdiono M. Achadiat. 2007. Dinamika Etika dan Hukum kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku Kedoktera EGC. Hal-11. 4. H. J. J. Lenan dan P. A. F. Lamintang. 1991. Pelayanan Kesehatan dan Hukum : suatu studi Tentang Hukum Kesehatan. Bandung: Rineka Cipta. 5. Maria Farida Indrati Soeprapto. 2006. Ilmu Perundang-undangan dasardasar dan pembentukannya. Yogyakarta: Kanisius. 6. Sadjijono. 2008. Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi. Yogyakarta: LaksBang PRESSindo. 7. Safitri Hariyani. 2005. Sengketa Medik : Alternatif Penyelesaian Perselisihan Antara Dokter dengan Pasien. Jakarta: Diadit Media. 8. Soerjono Soekanto & R. Otje Salman. 1996. Disiplin Hukum dan Disiplin Sosial Jakarta: Rajawali Pers. 9. Sofyawan Dahlan. 1999. Hukum Kesehatan Rambu-rambu Profesi Dokter. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. 10. Sofyan, Mustika,dkk. 2007. Bidan Menyongsong Masa Depan. Jakarta: PP IBI. 11. Sri Praptianingsih.2006. Kedudukan Hukum Perawat dalam Upaya Kesehatan di Rumah Sakit. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 12. Wila Chandrawila Supriadi. 2001. Hukum Kedokteran. Bandung: Mandar Maju.http://jurnal.unimus.ac.id. Fitriani Nur Damayanti. Perbandingan Jurnal Kesehatan dan Budaya “ HIKMAH” AKBID Islam Al-Hikmah Jepara ISSN: 1907-1396 Vol.07 No.02 Edisi November 2014 antara Kepemilikan Kompetensi Bidan Dengan Pelaksanaan Kewenangan bidan dalam Pelayanan Kebidanan pada Bidan Praktik Mandiri menurut kepmenkes no. 900/menkes/sk/vii/2002, permenkes no. Hk.02.02/menkes/149/2010 dan permenkes no. 1464/menkes/per/x/2010 di Kota Semarang. 13. Undang-Undang No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. 14. Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan. 15. Kepmenkes RI No.900/ Menkes/ SK/VII/2002 Tentang Registrasi dan Praktik Bidan. 16. Kepmenkes RI No. 369/MENKES/SK/III/2007 Tentang Standar Profesi Bidan. 17. Permenkes RI No. HK.02.02/Menkes/149/I/2010 Tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan. 18. Permenkes No. 1464/ Menkes/ Per/X/2010 Tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan.

Share
       
bambangHukum Kebidanan
read more

SISTEM MEDIS

No comments

Sejak manusia mengalami sakit, ia pun berusaha untuk mencari kesembuhan. Ada berbagai cara manusia untuk mendapatkan kesembuhan agar bsa menjadi manusia sehat seperti sediakala. Maka sejak itu pula ditemukan berbagai sistem medis yang berbeda di setiap kondisi zaman.

Manusia sangat menyadari bahwa kondisi sakit merupakan kondisi yang membuat hidupnya menderita. Maka dari itu, kesadaran ini membuat manusia mencari berbagai cara untuk mencari kesembuhan terhadap segala penyakit. Namun, terkadang sistem medis yang salah dapat membuat manusia menjadi semakin sakit.

Pembahasan dalam sistem medis memfokuskan pada masalah-masalah orang sakit, teori-teori etiologi, teknik-teknik pengobatan, stategi adaptasi sosial yang melahirkan sistem-sistem medis, tingkah laku serta bentuk-bentuk kepercayaan yang berlandaskan budaya yang timbul sebagai respons terhadap ancaman yang disebabkan oleh penyakit.Pembahasan mengenai masalah orang sakit, teori etiologi, dan teknik pengobatannya muncul dikarenakan adanya penyakit yang tidak mampu ditangani oleh masyarakat.Dan bentuk pranata-pranata sosial dan tradisi-tradisi budaya berupa tingkah laku manusia itu sendiri bertujuan untuk meningkatkan kesehatan manusia.

A.    Pengertian Sistem Medis

Dunn mengatakan bahwa sistem medis adalah pola-pola dari pranata-pranata sosial dan tradisi-tradisi budaya yang menyangkut perilaku yang sengaja untuk meningkatkan kesehatan, meskipun hasil dari tingkah laku khusus tersebut belum tentu menghasilkan kesehatan yang baking diharapkan dan sesuai dengan y (Dunn 1976:135).

Saunders (154:7) menambahkan bahwa sistem medis sebagai suatu kompleks luar dari pengetahuan, kepercayaan, teknik, peran, norma-norma, nilai-nilai, ideologi, sikap, adat-istiadat, upacara-upacara, dan lain-lain.Karena keharusan, manusia mau tidak mau senantiasa menaruh perhatian terhadap masalah-masalah kesehatan serta usaha untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan sejauh batas pengetahuannya mencari penyelesaian masalah-masalah penyakit (Rubin; 1960).

Secara umum, sistem medis adalah segala kepercayaan dalam usaha untuk meningkatkan kesehatan dan tindakan pengetahuan ilmiah maupun keterampilan anggota-anggota kelompok yang mendukung sistem tersebut.

B.     Sistem Medis sebagai Strategi Adaptasi Sosial Budaya

Strategi adaptasi ini dilakukan karena ketiadaan keterampilan untuk menyembuhkan penyakit sehingga memilih jalan dengan melakukan preventif dengan menjauhkan diri atau lari dari si sakit dalam usaha untuk melindungi diri dari ancaman infeksi penyakit.

Jane Goodall mendeskripsikan, ketika epidemi poliomyletis menyerang kelompok kera simpanse yang sedang di pelajari di Tanzania.Dalam ketiadaan keterampilan untuk menyembuhkan maka menghidar atau meninggalkan adalah perilaku adaptasi yang merupakan sejenis obat preventif. Di barat, sejak zaman masehi hingga zaman modern kini, penderita-penderita kusta dikutuk untuk hidup di luar dinding-dinding kota dan wajib memberi tahu semua yang mendekati mereka dengan teriakan “kotor! kotor!”. Di bagian dunia yang lain, orang kubu yang berdiam di Hutan-Hutan Sumatra, bila terancam oleh epidemi, mereka melarikan diri lebih jauh ke dalam hutan dengan meninggalkan para penderita (Sigerist 1951:148).

Hal ini secara tidak langsung memunculkan artian menjatuhkan hukuman mati sosial kepada penderita sebelum mereka mati secara fisik.Di sini tampak bahwa penyakit tidak lagi berupa fenomena biologis semata, tetapi juga mempunyai dimensi sosial dan budaya.

C.    Sistem Medis sebagai Perilaku Adaptif Baru

Strategi adaptasi ini  merupakan tingkah laku adaptif  baru yang didasari oleh logika dan rasa kasih sayang. Dalam hal ini, manusia berusaha untuk menyembuhkan si sakit dan menaruh perhatian terhadap masalah-masalah kesehatan serta tampak adanya usaha manusia untuk mempertahankan kelangsungan hidup sejauh batas pengetahuannya dan mencari solusi terhadap masalah-masalah penyakit.

Dalam kehidupannya, manusia memiliki aktivitas-aktivitas tersendiri yang kemudian melahirkan peranan. Terdapat dua macam peranan , yaitu peran wajib dan peran yang diharapkan, di mana dalam menjalankan peranan masing-masing, tiap individu memiliki rasa saling terkait dalam hubungan dukung-mendukung dan ketergantungan.

Contoh kegiatan saling mendukung dalam ketergantungannya ini tercermin dalam kegiatan penduduk Iban di Kalimantan, di mana upacara-upacara pengobatan tidak hanya melibatkan keluarga si sakit, tetapi juga melibatkan seluruh penghuni rumah panjang yang jumlahnya dapat mencapai 12 unit keluarga. Dalam upacara tersebut semua penghuni secara langsung terlibat dalam masalah si sakit, serta masing-masingnya mempunyai kewajiban-kewajiban mempersiapkan hal-hal yang dibutuhkan bagi upacara penyembuhan, dan seringkali harus mentaati pantangan-pantangan tertentu setelah upacara, agar pasien tetap sembuh.

Dalam contoh tersebut menggambarkan aktivitas masyarakat dalam menjalankan peran masing-masing yang saling mendukung dalam ketergantungan, di mana si “orang sakit” memiliki hak-hak tertentu dan mengharapkan bentuk-bentuk tingkah laku dari orang lain dengan siapa ia berinteraksi. Dan masyarakat memiliki kepentingan utama mereka juga agar pasien sembuh dan tidak kehilangan anggota-anggotanya yang sakit.

Contoh tadi di atas mencerminkan perilaku adaptif baru, hal tersebut  ditunjukkan dengan anggota kelompok yang berusaha memulihkan si sakit agar ia dapat kembali memenuhi peranan kewajiban-kewajiban normalnya dalam masyarakat. Namun dalam perilaku adaptif baru ini juga memperhitungkan faktor-faktor “untung-rugi” yang diukur dengan faktor kegunaan si sakit bagi kelompoknya.

D.    Etiologi Penyakit

Foster dan Anderson membagi dalam dua bagian konsep kausalitas dengan istilah personalistik dan naturalistik. Kedua istilah ini merujuk secara khusus pada konsep-konsep kausalitas.

1.      Sistem medis personalistik

Sistem medis personalistik adalah sistem di mana penyakit (illness) disebabkan oleh intervensi dari suatu agen yang aktif.Berupa makhluk supranatural, seperti dewa, hantu, roh leluhur, roh jahat, dan manusia (tukang sihir, tukang tenung).Pada sistem ini tidak dikenal konsep kecelakaan karena sesuatu yang terjadi pada tubuh disebabkan oleh ilmu sihir.

2.      Sistem medis naturalistik

Dalam sistem naturalistik, penyakit (illness) dijelaskan dengan istilah sistemik, bukan pribadi.Dalam sistem naturalistik lebih ditekankan pada model keseimbangan. Sehat terjadi karena unsur-unsur dalam tubuh, seperti panas, dingin, cairan tubuh (humor atau dosha), yin dan yang berada dalam keadaan seimbang menurut usia dan kondisi individu dalam lingkungan alam dan lingkungan sosialnya. Apabila keseimbangan ini terganggu maka akan menimbulkan penyakit.

E.     Sistem Teori Penyakit   

Sistem teori penyakit meliputi beberapa pembahasan mengenai kepercayaan dalam mengenali ciri-ciri sehat, segala penyebab penyakit, pengobatannya, dan  teknik penyembuhan terhadap penyakit yang digunakan oleh para dokter.

Istilah sehat mengandung banyak muatan kultural, sosial, dan pengertian profesional yang beragam.Dulu dari sudut pandangan kedokteran, sehat sangat erat kaitannya dengan kesakitan dan penyakit.Dalam kenyataannya tidaklah sesederhana itu, sehat harus dilihat dari berbagai aspek.

WHO (1981) mendefinisikan sehat sebagai suatu keadaan sempurna, baik jasmani, rohani, maupun kesejahteraan sosial seseorang. Masalah sehat dan sakit merupakan proses yang berkaitan dengan kemampuan atau ketidakmampuan manusia beradaptasi dengan lingkungan baik secara biologis, psikologis maupun sosio budaya.

Seseorang dikatakan sakit apabila ia menderita penyakit menahun (kronis), atau gangguan kesehatan lain yang menyebabkan aktivitas kerja atau kegiatannya terganggu.

F.     Sistem Perawatan Kesehatan

      Sistem perawatan kesehatan ialah suatu cara yang dilakukan oleh masyarakat dalam merawat orang yang sedang menderita sakit. Sistem perawatan kesehatan setidaknya melibatkan interaksi antara sejumlah orang yang terdiri dari penyembuh dan orang yang menderita sakit atau pasien.Fungsi perawatan kesehatan adalah untuk memobilisasi sumber-sumber daya si pasien, yakni keluarganya dan masyarakatnya, untuk menyertakan mereka dalam mengatasi masalah tersebut.

G.    Sistem Medis Tradisional dan Sistem Medis Pengobatan Alternatif

Dalam sistem medis juga dikenal sistem medis tradisional dan sistem medis pengobatan alternatif.  Sistem medis tradisional biasanya merupakan suatu sistem pengobatan turun-temurun dalam suatu daerah di mana pengetahuan, penyembuh, maupun pemakainya menggunakan teori penyembuhan yang sama.

Sistem medis pengobatan alternatif juga sebenarnya hampir serupa dengan pengobatan tradisional. Pengobatan alternatif ini biasanya cenderung bersifat non-barat, tetapi banyak juga yang berasal dari tempat atau Negara lain. Contoh pengobatan alternatif yang berasal dari wilayah Cina, misalnya pengobatan Sin She.Ada juga yang berasal dari India, misalnya pengobatan alternative Ayur Wedha.

Efektif atau tidaknya suatu sistem medis menyembuhkan penyakit yang diderita manusia, semua memang sangat bergantung kepada kepercayaan masing-masing.Jika pasien lebih percaya kepada sistem medis tradisional maka itulah yang lebih efektif untuk kesembuhan dirinya.Selain itu, penggunaan peralatan dan ilmu pengetahuan yang memadai juga menjadi faktor penting dalam mencari kesembuhan.

H.    Unsur Universal dalam Sistem-Sistem Medis

Terdapat suatu struktur universal yang mendasari semua sistem medis untuk memudahkan kita dalam pemahaman dan studi yang sifatnya berhubungan dengan peranan dan kewajiban-kewajiban antara pasien dan penyembuh. Beberapa unsur universal dalam sistem medis adalah sebagai berikut:

1.      Sistem Medis Merupakan Integral dari Kebudayaan-Kebudayaan

Di sini dikatakan bahwa sistem medis berkaitan dengan keseluruhan pola-pola kebudayaan.Sebagai contoh, kepercayaan terhadap penyakit pada banyak masyarakat sangat terjalin erat dengan magis dan religi, di mana sebagian masyarakat masih mempercayai mitos dan makhluk-makhluk lain yang mendatangkan penyakit, serta adanya pantangan-pantangan yang didapat dari sesepuhnya.

Masyarakat menganggap bahwa sakit adalah keadaan individu mengalami serangkaian gangguan fisik yang menimbulkan rasa tidak nyaman.Anak yang sakit ditandai dengan tingkah laku rewel, sering menangis, dan tidak nafsu makan.Orang dewasa dianggap sakit jika lesu, tidak dapat bekerja, kehilangan nafsu makan, atau “kantong kering” (tidak punya uang). Selanjutnya masyarakat menggolongkan penyebab sakit ke dalam tiga bagian yaitu :

a.       Karena pengaruh gejala alam (panas, dingin) terhadap tubuh manusia.

b.      Makanan yang diklasifikasikan ke dalam makanan panas dan dingin.

c.       Supranatural (roh, guna-guna, setan dan lain-lain).

Untuk mengobati sakit yang termasuk dalam golongan pertama dan kedua, dapat digunakan obat-obatan, ramuan-ramuan, pijat, kerok, pantangan makan, dan bantuan tenaga kesehatan.Untuk penyebab sakit yang ketiga harus dimintakan bantuan dukun, kyai dan lain-lain.Dengan demikian upaya penanggulangannya tergantung kepada kepercayaan mereka terhadap penyebab sakit.

2.      Penyakit Ditentukan oleh Kebudayaan

Dari pandangan budaya, penyakit adalah pengakuan sosial bahwa seseorang itu tidak bisa menjalankan peran normalnya secara wajar dan harus dilakukan sesuatu terhadap kondisi tersebut. Dengan kata lain, harus dibedakan antara penyakit (disease) sebagai suatu konsep patologi, dan penyakit (illness) sebagai suatu konsep kebudayaan.

Illness adalah penyakit yang dianggap sebagai suatu konsep kebudayaan atau dapat dikategorikan konsep penyebab sakit personalistik dimana dianggap munculnya penyakit disebabkan oleh intervensi suatu aagen aktif yang dapat berupa makhluk atau bukan manusia.

      Sedangkan disease adalah penyakit yang dianggap sebagai suatu konsep patologi atau dapat dikategorikan konsep penyebab sakit naturalistik yaitu seseorang menderita sakit akibat pengaruh lingkungan, makanan (salah makan), kebiasaan hidup, ketidakseimbangan dalam tubuh, termasuk juga kepercayaan panas dingin seperti masuk angin dan penyakit bawaan.

      Persepsi masyarakat mengenai terjadinya penyakit berbeda antara daerah yang satu dengan daerah yang lain, tergantung dari kebudayaan yang ada dan berkembang dalam masyarakat tersebut. Persepsi kejadian penyakit yang berlainan dengan ilmu kesehatan sampai saat ini masih ada di masyarakat; dapat turun dari satu generasi ke generasi berikutnya dan bahkan dapat berkembang luas.

Berikut ini contoh persepsi masyarakat tentang penyakit malaria, yang saat ini masih ada di beberapa daerah pedesaan di Papua (Irian Jaya).Makanan pokok penduduk Papua adalah sagu yang tumbuh di daerah rawa -rawa.Selain rawa-rawa, tidak jauh dari mereka tinggal terdapat hutan lebat.Penduduk desa tersebut beranggapan bahwa hutan itu milik penguasa gaib yang dapat menghukum setiap orang yang melanggar ketentuannya. Pelanggaran dapat berupa menebang, membabat hutan untuk tanah pertanian, dan lain-lain akan diganjar hukuman berupa penyakit dengan gejala demam tinggi, menggigil, dan muntah. Penyakit tersebut dapat sembuh dengan cara minta ampun kepada penguasa hutan, kemudian memetik daun dari pohon tertentu, dibuat ramuan untuk di minum dan dioleskan ke seluruh tubuh penderita. Dalam beberapa hari penderita akan sembuh. Persepsi masyarakat mengenai penyakit diperoleh dan ditentukan dari penuturan sederhana dan mudah secara turun temurun. Misalnya penyakit akibat kutukan Allah, makhluk gaib, roh-roh jahat, udara busuk, tanaman berbisa, binatang, dan sebagainya.Pada sebagian penduduk Pulau Jawa, dulu penderita demam sangat tinggi diobati dengan cara menyiram air di malam hari. Air yang telah diberi ramuan dan jampi–jampi oleh dukun dan pemuka masyarakat yang disegani digunakan sebagai obat malaria.

3.      Sistem Medis Memiliki Segi-segi Pencegahan dan Pengobatan

      Segi-segi pencegahan umumnya dilakukan dengan upaya preventif dari tindakan individu itu sendiri, dan tindakan ini merupakan tingkah laku individu yang secara logis mengikuti konsep tentang penyebab sakit, menjelaskan mengapa orang jatuh sakit, dan tentang apa yang harus dilakukan untuk menghindari penyakit itu. Apabila penduduk percaya bahwa penyakit terjadi karena dikirim oleh dewa-dewa atau leluhur yang marah untuk menghukum suatu dosa, maka prosedur untuk melakukan upaya preventifnya adalah dengan pengakuan dosa.

Contoh nyata dalam masyarakat di beberapa daerah, yaitu penyakit kejang-kejang di mana masyarakat pada umumnya menyatakan bahwa sakit panas dan kejang-kejang disebabkan oleh hantu.Di Sukabumi disebut hantu gegep, sedangkan di Sumatra Barat disebabkan hantu jahat.Di Indramayu pengobatannya adalah dengan dengan pergi ke dukun atau memasukkan bayi ke bawah tempat tidur yang ditutupi jaring.

      Contoh lain adalah penyakit campak yang dalam asumsi masyarakat mengatakan bahwa Penyebabnya adalah karena anak terkena panas dalam, anak dimandikan saat panas terik, atau kesambet. Di Indramayu ibu-ibu mengobatinya dengan membalur anak dengan asam kawak, meminumkan madu dan jeruk nipis atau memberikan daun suwuk.

Walaupun banyak praktik-praktik “pencegahan” ala pribumi tidak lebih dari mitos atau tahayul, namun beberapa tindakan memberikan hasil, walaupun tidak untuk alasan yang diasumsikan.Namun hal demikian juga termasuk dalam upaya preventif di mana tindakan tersebut dilakukan untuk mencegah sakit.

4.      Sistem Medis Memiliki Sejumlah Fungsi

a.       Sistem teori penyakit memberikan rasional bagi pengobatan

Maksudnya setiap penyakit memiliki upaya pengobatan demi kesembuhan si pasien.

b.      Sistem teori penyakit menjelaskan “mengapa”

Sistem teori penyakit tidak hanya mendiagnosis sebab penyakit dan memberikan pengobatan yang logis untuk penyembuhan, tetapi juga menjelaskan mengapa penyakit tersebut dapat menyerang seseorang dengan menjelaskan tentang apa yang telah mengganggu hubungan sosial si pasien atau apakah adanya gangguan keseimbangan alam yang terjadi pada pasien. Hal ini guna memuaskan kebutuhan dasar manusia untuk mengetahui penyebab penyakit nya agar dapat melakukan upaya-upaya agar penyakitnya tidak kembali.

c.       Sistem-sistem teori penyakit berperan dalam memberi sanksi dan dorongan norma-norma budaya sosial dan moral

Hal ini menyatakan bahwa penyakit disebabkan oleh dosa, pelanggaran tabu, dan bentuk-bentuk lain dari kesalahan tindakan.Dalam hal ini penyakit dilihat sebagai ganjaran bagi tingkah laku yang tidak baik atau tidak disukai. Hal itu merupakan akibat dari tingkah laku yang menyimpang dari pola-pola umum yang berlaku dalam hubungan antarpribadi, baik sesama manusia atau antara manusia dengan makhluk lain yang bukan manusia.

d.      Sistem teori penyakit juga berperan dalam dorongan norma-norma budaya sosial dan moral

Psikiater John Cawte menyatakan dalam sanksi atas ketidaksepakatan sosial di kalangan penduduk asli Australia, di mana timbale balik antara dominasi-submissi digunakan oleh para dukun pribumi sebagai suatu dorongan menuju kesepakatan sosial. Dukun mengatakan: sesuaikan diri atau kamu akan menjadi sakit, ia memaksakan para pembangkang pada tindakan yang kompromistis supaya kelompok kekerabatan tersebut dapat hidup bersama secara lebih baik.

e.       Sistem teori penyakit dapat memberikan rasional bagi pelaksanaan-pelaksanaan konservasi (perlindungan alam)

Hal ini dapat dilihat di kalangan tertentu, misalnya kalangan pemburu orang-orang Indian Tukano di daerah Amazon Columbia. Mereka tidak boleh sembarangan memburu dan untuk melakukan perburuan mereka harus mentaati beberapa peraturan tertentu dari sang penguasa yang ditakuti oleh orang-orang Tukano. Mereka mempercayai bahwa hewan buruan dapat melakukan tindakan balasan terhadap para pemburu dengan mengakibatkan penyakit di kalangan penduduk desanya.Dengan demikian hal tersebut menekankan pemburu agar membunuh hewan apabila makanan diperlukan.Kepercayaan-kepercayaan terhadap penyakit jelas menghasilkan konservasi yang baik bagi pelaksanaan perburuan.

f.       Sistem teori penyakit dapat mengatasi agresi

Dalam masyarakat luas yang terbuka, jumlah tertentu dari sifat-sifat agresif yang terbuka dapat diserap tanpa mengancam masyarakat.Namun dalam masyarakat kecil yang tertutup, agresi terbuka merupakan ancaman yang tak dapat diterima bagi kelangsungan hidup masyarakat tersebut.

g.      Peran nasionalistik pengobatan tradisional

Pengobatan tradisional suatu negara berperan dalam pengembangan kebangsaan nasional, hal ini dikarenakan pengobatan tradisional mencerminkan tingkatan kebudayaan suatu negara di masa silam.Misalnya, kebangsaan Cina termasuk salah satu kebudayaan yang maju, hal ini ditandai dengan teknik-teknik pengobatan Cina yang telah dikenal dan digunakan lama sebelum pengobatan itu muncul di Barat (Huard dan Wong 1968).Salah satu contoh peran nasionalistik pengobatan tradisional di Indonesia adalah jamu yang merupakan khas milik Indonesia.

Tindakan Malpraktik

Kesehatan memiliki arti yang sangat penting bagi setiap orang.Dengan kesehatan orang dapat berpikir dengan baik dan dapat melakukan aktivitas secara optimal, sehingga dapat pula menghasilkan karya-karya yang diinginkan. Oleh karena itu setiap orang akan selalu berusaha dalam kondisi yang sehat. Ketika kesehatan seseorang terganggu, mereka akan melakukan berbagai cara untuk sesegera mungkin dapat sehat kembali. Salah satunya adalah dengan cara berobat pada sarana-sarana pelayanan kesehatan yang tersedia. Tetapi, upaya penyembuhan tersebut tidak akan terwujud jika tidak didukung dengan pelayanan yang baik pula dari suatu sarana pelayanan kesehatan, dan kriteria pelayanan kesehatan yang baik, tidak cukup ditandai denganterlibatnya banyak tenaga ahli atau yang hanya memungut biaya murah, melainkan harus didasari dengan suatu sistem pelayanan medis yang baik pula dari sarana pelayanan kesehatan tersebut. Salah satunya adalah dengan mencatat segala hal tentang riwayat penyakit pasien, dimulai ketika pasien datang, hingga akhir tahap pengobatan di suatu sarana pelayanan kesehatan.Dalam dunia kesehatan, catatan-catatan tersebut dikenal dengan istilah rekam medis.

Rekam medis berisi antara lain tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan serta tindakan dan pelayanan lain yang diberikan oleh dokter kepada seorang pasien selama menjalani perawatan di suatu sarana pelayanan kesehatan.

Di setiap sarana pelayanan kesehatan, rekam medis harus ada untuk mempertahankan kualitas pelayanan profesional yang tinggi, untuk melengkapi kebutuhan informasi sebagai pendahuluan mengenai “informed concent locum tenens”, untuk kepentingan dokter pengganti yang meneruskan perawatan pasien, untuk referensi masa datang, serta diperlukan karena adanya hak untuk melihat dari pasien.

Dalam pelaksanaan pelayanan medis kepada pasien, informasi memegang peranan yang sangat penting.Informasi tidak hanya penting bagi pasien, tetapi juga bagidokteragar dapat menyusun dan menyampaikan informasi kedokteran yang benar kepada pasien demi kepentingan pasien itu sendiri.Peranan informasi dalam hubungan pelayanan kesehatan mengandung arti bahwa pentingnya peranan informasi harus dilihat dalamhubungannya dengan kewajiban pasien selaku individu yang membutuhkan pertolongan untuk mengatasi keluhan mengenai kesehatannya, di samping dalam hubungannya dengan kewajiban dokter selaku profesional di bidang kesehatan. Agar pelayanan medis dapat diberikan secara optimal, maka diperlukan informasi yang benar dari pasien tersebut agar dapat memudahkan bagi dokter dalam diagnosis, terapi, dan tahapan lain yang diperlukan oleh pasien. Dengan kata lain, penyampaian informasi dari pasien tentang penyakitnya dapat mempengaruhi perawatan pasien.

Malpraktek tidak hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan saja, melainkan kaum profesional dalam bidang lainnya yang menjalankan prakteknya secara buruk, misalnya profesi pengacara, profesi notaris.Hanya saja istilah malpraktek pada umumnya lebih sering digunakan di kalangan profesi di bidang kesehatan/ kedokteran. Begitu pula dengan istilah malpraktek yang digunakan dalam skripsi ini juga dititikberatkan pada malpraktek bidang kedokteran, karena inti yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah mengenai kedudukan rekam medis dalam pembuktian perkara pidana. Agar lebih terfokus serta tetap memiliki keterkaitan dengan rekam medis, maka dilakukan pengkhususan terhadap jenis perbuatan pidana yang dimaksud dalam tema skripsi ini, yaitu malpraktek di dalam bidang kedokteran.

Berkenaan dengan kerugian yang sering diderita pasien akibat kesalahan (kesengajaan/ kealpaan) para tenaga kesehatan karena tidak menjalankan praktek sesuai dengan standar profesinya, saat ini masyarakat telah memenuhi pengetahuan serta kesadaran yang cukup terhadap hukum yang berlaku, sehingga ketika pelayanan kesehatan yang mereka terima dirasa kurang optimal bahkan menimbulkan kondisi yang tidak diinginkan atau dianggap telah terjadi malpraktek kedokteran, masyarakat akan melakukan gugatan baik kepada sarana pelayanan kesehatan maupun kepada tenaga kesehatan yang bekerja di dalamnya atas kerugian yang mereka derita.

Demi mewujudkan keadilan, memberikan perlindungan, serta kepastian hukum bagi semua pihak, dugaan kasus malpraktek kedokteran ini harus diproses secara hukum. Tentunya proses ini tidak mutlak menjamin akan mengabulkantuntutan dari pihak pasien atau keluarganya secara penuh, atau sebaliknya membebaskan pihak tenaga kesehatan maupun sarana pelayanan kesehatan yang dalam hal ini sebagai pihak tergugat, dari segala tuntutan hukum. Pemeriksaan terhadap dugaan kasus malpraktek kedokteran ini harus dilakukan melalui tahapan-tahapan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, serta pemeriksaan di sidang pengadilan untuk membuktikan ada/ tidaknya kesalahan (kesengajaan/ kealpaan) tenaga kesehatan maupun sarana pelayanan kesehatan tempat mereka bekerja.

Sorotan masyarakat yang cukup tajam atas jasa pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan, khususnya dengan terjadinya berbagai kasus yang menyebabkan ketidakpuasan masyarakat memunculkan isu adanya dugaan malpraktek medis yang secara tidak langsung dikaji dari aspek hukum dalam pelayanan kesehatan, karena penyebab dugaan malpraktek belum tentu disebabkan oleh adanya kesalahan/kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan, khususnya dokter.

Bentuk dan prosedur perlindungan terhadap kasus malpraktek yang ditinjau dari Undang-Undang Perlindungan Konsunmen No.8 tahun 1999. peraturan tersebut mengatur tentang pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah melalui lembaga-lembaga yang dibentuk oleh pemerintah yang membidangi perlindungan konsumen, selain peran serta pemerintah, peran serta masyarakat sangat perlu dibutuhkan dalam perlindungan konsumen dalam kasus malpraktek serta penerapan hukum terhadap kasus malpraktek yang meliputi tanggung jawab hukum dan sanksinya menurut Hukum Perdata, pidana dan administrasi.

Untuk membuktikan kesalahan (kesengajaan/ kealpaan) tenaga kesehatan ataupun sarana pelayanan kesehatan tempat mereka bekerja dalam dugaan kasus malpraktek kedokteran ini, hakim di pengadilan dapat menjadikan rekam medis pasien sebagai salah satu sumber atau bukti yang dapat diteliti.

Perkembangan hukum disuatu Negara tidak dapat dilepaskan dari sistem hukum yang dianut di Negara tersebut.

Menurut H.J.J. Leenen : Hukum kesehatan melipiti semua ketentuan yang langsung berhubungan dengan pemeliharaan kesehatan dan penerapan hukum perdata, hukum pidana dan hukum administrasi dalam hubungan tersebut. Demikian pula dengan penerapan pedoman internasional, hukum kebiasaan dan juris prudensi yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan, hukum otonom, ilmu, literature menjadi sumber hukum kesehatan.

Sedangkan Anggaran Dasar PERHUKI (Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia) menyebutkan kesehatan adalah : Semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan dan pelayanan kesehatan dan penerapan hak dan kewajiban baik perseorangan dan segenap lapisan masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan maupun dari pihak penyelenggaraan pelayanan kesehatan salam segala aspek organisasi, sarana, pedoman-pedoman medik, ilmu pengetahuan kesehatan dan hukum serta sumber-sumber hukum lainya, sedangkan yang dimaksud dengan hukum kedokteran adalah bagian dari hukum kesehatan yang menyangkut pelayanan medis.

Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktik” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktik berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”.

            Definisi malpraktik profesi kesehatan adalah kelalaian dari seseorang dokter atau perawat untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).

Menurut M.Jusuf  Hanafiah& Amri Amir (1999: 87), malpraktek adalah:

”kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama. Yang dimaksud kelalaian disini adalah sikap kurang hati-hati, yaitu tidak melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati melakukannya dengan wajar, tapi sebaliknya melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati tidak akan melakukannya dalam situasi tersebut. Kelalaian diartikan pula dengan melakukan tindakan kedokteran di bawah standar pelayanan medis (standar profesi dan standar prosedur operasional)”.

Menurut M.Jusuf  Hanafiah& Amri Amir, yaitu:

1.   adanya unsur kesalahan/kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan   dalam menjalankan profesinya;

2.   adanya perbuatan yang tidak sesuai dengan standar prosedur operasional;

3.   adanya luka berat atau mati, yang mengakibatkan pasien cacat atau meninggal dunia;

4.   adanya hubungan kausal, dimana luka berat yang dialami pasien merupakan akibat dari perbuatan dokter yang tidak sesuai dengan standar pelayanan medis.

      Contoh-contoh malpraktek adalah ketika seorang dokter atau tenaga kesehatan:

a.   meninggalkan kain kasa di dalam rahim pasien;

b.   melupakan keteter di dalam perut pasien;

c.   menunda persalinan sehingga janin meninggal di dalam kandungan ibunya;

d. menjahit luka operasi dengan asal-asalan sehingga pasien terkena infeksi berat;

e.   tidak mengikuti standar profesi dan standar prosedur operasional.

      Adapun pemikiran tentang malpraktek itu sendiri antara lain dikemukakan oleh Kartono Mohamad (Mantan ketua IDI):

para dokter jangan sok kuasa dan menganggap pasien cuma perlu dicecoki obat. Pasien jangan lagi mau diam, seharusnya pasien mempertanyakan resep, dosis dan jenis terapi kepada dokter dengan kritis. Cari pendapat kedua dari dokter lain sebagai pembanding. Ini memang agak susah karena sebagian masyarakat masih menilai posisi dokter begitu tinggi. Sedikit saja dokter melotot, mulut pasien seolah beku terkunci.Padahal dokter juga manusia yang bisa keliru dan karena itu butuh dicereweti.

            Sedangkan menurut Marius Widajarta, Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (Majalah Tempo, 28 Maret 2004;97), ”setiap minggu ada korban malpraktek dalam berbagai tingkatan di seluruh Indonesia, dikarenakan pengawasan praktek kedokteran di negeri ini begitu longgar dan hanya bagus sebagai teori diatas  kertas”.

Untuk  membawa kasus malpraktek ke pengadilan banyak menemui kendala. Pertama, karena pengadilan kita sedang jatuh wibawa, karena pengadilan itu sendiri seakan-akan bisa dibeli.Kedua rumah sakit dan dokter dianggap mewakili pihak yang sanggup membeli pengadilan. Ketiga, para penegak hukum belum tentu memahami teknis dan prosedur dalam mengajukan perkara malpraktek ke depan pengadilan. Tak aneh bila pasien berpikir dua kali jika harus berhadapan dengan rumah sakit yang bermodal raksasa.

Berdamai memang pilihan mudah bagi korban atau dokter, korban mendapatkan ganti rugi berupa materi, sementara dokter dan rumah sakit tak perlu risau dengan publikasi bernada miring di media massa. Tapi jalan damai inilah yang membuat malpraktek sulit untuk dibawa ke pengadilan, karena selama korban cenderung memilih jalan damai, kita tidak akan pernah belajar menangani persoalan malpraktek sampai tuntas.

Akan tetapi jalan damai tidak cukup membuat para dokter jera dalam melakukan kesalahan, karena cukup dengan uang puluhan atau ratusan juta rupiah, urusan bisa selesai. Uang sejumlah itu bukanlah masalah besar bagi dokter atau rumah sakit, lain halnya bila kasusnya dibawa ke pengadilan, dokter dan rumah sakit akan menanggung dampak serius bila divonis bersalah.

Dampaknya antara lain, dokter dan rumah sakit akan kehilangan kepercayaan dari masyarakat, yang menyebabkan dokter dan pengelola rumah sakit akan mengalami penurunan pendapatan yang sangat drastis. Hal itu dikarenakan masyarakat jarang atau bahkan tidak mau lagi berobat ke tempat praktik dokter dan rumah sakit yang mempunyai kasus malpraktek.Hasilnya, mereka tentu bakal berhitung panjang sebelum melakukan kesalahan.

Henry campell black memberikan definisi malpraktek sebagai berikut: Malpractice is professional misconduct on the part of a professional person such as physician, dentist, vetenarian, malpractice may be the result of skill or fidelity in the performance of professional duties, intentionally wrong doing or illegal or unethical practice. (Malpraktek adalah kesalahan dalam menjalankan profesi sebagai dokter, dokter gigi, dokter hewan.Malpraktek adalah akibat dari sikap tidak peduli, kelalaian, atau kurang keterampilan, kurang hati-hati dalam melaksanakan tugas profesi, berupa pelanggaran yang disengaja, pelanggaran hukum atau pelanggaran etika).

Sedangkan veronica komalawati menyebutkan malpraktek pada hakekatnya adalah kesalahan dalam menjalankan profesi yang timbul akibat adanya kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan dokter. Selanjutnya herman hediati koeswadji menjelaskan bahwa malpraktek secara hafiah diartikan sebagai bad practice atau praktik buruk yang berkaitan dengan penerapan ilmu dan teknologi medik dalam menjalankan profesi medik yang mengandung ciri-ciri khusus.

Pasal 11 UU 6 /1963 tentang kesehatan menyatakan: dengan tidak mengurangi ketentuan dalam KUHP dan UU lain terhadap tenaga kesehatan dapat dilakukan tindakan administrative dalam hal sebagai berikut:

a.  Melalaikan kewajiban

b. Melakukan suatu hal yang tidak boleh diperbuat oleh seorang tenaga kerja kesehatan mengingat sumpah jabatan maupun mengingat sumpah sebagai tenaga kesehatan.

c.  Melanggar ketentuan menurut undang-undang ini.

            Pengertian malpraktik medik menurut WMA (World Medical Associations) adalah Involves the physician’s failure to conform to the standard of care for treatment of the patient’s condition, or a lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient (adanya kegagalan dokter untuk menerapkan standar pelayanan terapi terhadap pasien, atau kurangnya keahlian, atau mengabaikan perawatan pasien, yang menjadi penyebab langsung terhadap terjadinya cedera pada pasien).Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga kesehatan berlaku norma

etika dan norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut yuridical malpractice. Hal ini perlu difahami mengingat dalam profesi tenaga perawatan berlaku norma etika dan norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa yang dilanggar. Karena antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk menentukan adanya ethical malpractice atau yuridical malpractice dengan sendirinya juga berbeda.

            Yang jelas tidak setiap ethical malpractice merupakan yuridical malpractice akan tetapi semua bentuk yuridical malpractice pasti merupakan ethical malpractice (Lord Chief Justice, 1893).

Untuk malpraktik hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar, yakni Criminal malpractice, Civil malpractice dan Administrative malpractice.

1. Criminal malpractice

Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice manakala perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni :

a.  Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan perbuatan tercela.

b. Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa kesengajaan (intensional), kecerobohan (reklessness) atau kealpaan (negligence).

• Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional) misalnya melakukan euthanasia (pasal 344 KUHP), membuka rahasia jabatan (pasal 332 KUHP), membuat surat keterangan palsu (pasal 263 KUHP), melakukan aborsi tanpa indikasi medis pasal 299 KUHP).

• Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness) misalnya melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien informed consent.

• Criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai) misalnya kurang hati-hati mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya pasien, ketinggalan klem dalam perut pasien saat melakukan operasi.

            Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan.

2. Civil malpractice

            Seorang tenaga kesehatan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji). Tindakan tenaga kesehatan yang dapat dikategorikan civil malpractice antara lain:

a.   Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan.

b. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melakukannya.

c.   Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna.

d.   Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.

            Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability.Dengan prinsip ini maka rumah sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan karyawannya (tenaga kesehatan) selama tenaga kesehatan tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya.

·         Administrative malpractice

Dokter dikatakan telah melakukan administrative malpractice manakala tenaga perawatan tersebut telah melanggar hukum administrasi.Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police power, pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi tenaga perawatan untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja, Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban tenaga perawatan.Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hokum administrasi.

·         Pembuktian Malpraktek Dibidang Pelayanan Kesehatan

            Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan dengan dua cara yakni :

1.      Cara langsung

Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni :

a. Duty (kewajiban)

Dalam hubungan perjanjian tenaga dokter dengan pasien, dokter haruslah bertindak berdasarkan:

1)      Adanya indikasi medis

2)       Bertindak secara hati-hati dan teliti

3)      Bekerja sesuai standar profesi

4)      Sudah ada informed consent.

 b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)

Jika seorang dokter melakukan tindakan menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka dokter dapat dipersalahkan.

 c. Direct Cause (penyebab langsung)

 d. Damage (kerugian)

Dokter untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara penyebab (causal) dan kerugian (damage) yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan dokter.Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya kesalahan dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien).

2.      Cara tidak langsung

            Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan perawatan (doktrin res ipsa loquitur). Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria:

a.       Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila dokter tidak lalai

b.      Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab dokter

c.       Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada contributory negligence.

            Di dalam transaksi teraputik ada beberapa macam tanggung gugat, antara lain:

1. Contractual liability

Tanggung gugat ini timbul sebagai akibat tidak dipenuhinya kewajiban dari hubungan kontraktual yang sudah disepakati. Di lapangan pengobatan, kewajiban yang harus dilaksanakan adalah daya upaya maksimal, bukan keberhasilan, karena health care provider baik tenaga kesehatan maupun rumah sakit hanya bertanggung jawab atas pelayanan kesehatan yang tidak sesuai standar profesi/standar pelayanan.

2. Vicarius liability

Vicarius liability atau respondeat superior ialah tanggung gugat yang timbul atas kesalahan yang dibuat oleh tenaga kesehatan yang ada dalam tanggung jawabnya (sub ordinate), misalnya rumah sakit akan bertanggung gugat atas kerugian pasien yang diakibatkan kelalaian perawat sebagai karyawannya.

3. Liability in tort

Liability in tort adalah tanggung gugat atas perbuatan melawan hokum (onrechtmatige daad). Perbuatan melawan hukum tidak terbatas haya perbuatan yang melawan hukum, kewajiban hukum baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain, akan tetapi termasuk juga yang berlawanan dengan kesusilaan atau berlawanan dengan ketelitian yang patut dilakukan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda orang lain (Hogeraad 31 Januari 1919).

3.2. Malpraktek Ditinjau Dari Segi Etika dan Hukum

Masalah dugaan malpraktik medik, akhir-akhir ini, sering diberitakan di media masa.Namun, sampai kini, belum ada yang tuntas penyelesaiannya. Tadinya masyarakat berharap bahwa UU Praktik Kedokteran itu akan juga mengatur masalah malpraktek medik. Namun, materinya ternyata hanya mengatur masalah disiplin, bersifat intern.Walaupun setiap orang dapat mengajukan ke Majelis Disiplin Kedokteran, tetapi hanya yang menyangkut segi disiplin saja.Untuk segi hukumnya, undang-undang merujuk ke KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) bila terjadi tindak pidana. Namun, kalau sampai diajukan ke Pengadilan tetap terkatung-katung tidak ada kunjung penyelesaiannya, lantas apa gunanya?

Di negara yang menganut sistem hukum Anglo-Saxon, masalah dugaan malpraktik medik ini sudah ada ketentuan di dalam common law dan menjadi yurisprudensi.Walaupun Indonesia berdasarkan hukum tertulis, seharusnya tetap terbuka putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap menjadi yurisprudensi.

            Dan karena masyarakat semakin sadar terhadap masalah pelayanan kesehatan, DPR yang baru harus dapat menangkap kondisi tersebut dengan berinisiatif membentuk Undang-Undang (UU) tentang Malpraktik Medik, sebagai pelengkap UU Praktik Kedokteran.

Bagaimana materinya, kita bisa belajar dari negara-negara yang telah memiliki peraturan tentang hal tersebut.Harapan masyarakat, ketika mereka merasa dirugikan akibat tindakan medis, landasan hukumnya jelas.Sedangkan di pihak para medis, setiap tindakannya tidak perlu lagi dipolemikan sepanjang sesuai undang-undang.

Etika punya arti yang berbeda-beda jika dilihat dari sudut pandang pengguna yang berbeda dari istilah itu.Bagi ahli falsafah, etika adalah ilmu atau kajian formal tentang moralitas.Moralitas adalah ha-hal yang menyangkut moral, dan moral adalah sistem tentang motivasi, perilaku dan perbuatan manusia yang dianggap baik atau buruk. Franz Magnis Suseno menyebut etika sebagai ilmu yang mencari orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab pertanyaan yang amat fundamental : bagaimana saya harus hidup dan bertindak ? Peter Singer, filusf kontemporer dari Australia menilai kata etika dan moralitas sama artinya, karena itu dalam buku-bukunya ia menggunakan keduanya secara tertukar-tukar.

Bagi sosiolog, etika adalah adat, kebiasaan dan perilaku orang-orang dari lingkungan budaya tertentu. Bagi praktisi profesional termasuk dokter dan tenaga kesehatan lainnya etika berarti kewajiban dan tanggung jawab memenuhi harapan (ekspekatasi) profesi dan amsyarakat, serta bertindak dengan cara-cara yang profesional, etika adalah salah satu kaidah yang menjaga terjalinnya interaksi antara pemberi dan penerima jasa profesi secara wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat.

Bagi eksekutif puncak rumah sakit, etika seharusnya berarti kewajiban dan tanggung jawab khusus terhadap pasien dan klien lain, terhadap organisasi dan staff, terhadap diri sendiri dan profesi, terhadap pemrintah dan pada tingkat akhir walaupun tidak langsung terhadap masyarakat. Kriteria wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat tentu berlaku juga untuk eksekutif lain di rumah sakit.

Bagi asosiasi profesi, etika adalah kesepakatan bersamadan pedoman untuk diterapkan dan dipatuhi semua anggota asosiasi tentang apa yang dinilai baik dan buruk dalam pelaksanaan dan pelayanan profesi itu.

Malpraktek meliputi pelanggaran kontrak ( breach of contract), perbuatan yang disengaja (intentional tort), dan kelalaian (negligence). Kelalaian lebih mengarah pada ketidaksengajaan (culpa), sembrono dan kurang teliti. Kelalaian bukanlah suatu pelanggaran hukum atau kejahatan, selama tidak sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya. Ini berdasarkan prinsip hukum “de minimis noncurat lex”, hukum tidak mencampuri hal-hal yang dianggap sepele (hukumonliine.com, 17 April 2004).

Ketidaktercantuman istilah dan definisi menyeluruh tentang malpraktek dalam hukum positif di Indonesia, ambiguitas kelalaian medik dan malpraktek yang berlarut-larut, hingga referensi-referensi tentang malpraktek yang masih dominan diadopsi dari luar negeri yang relevansinya dengan kondisi di Indonesia masih dipertanyakan, semuanya merupakan Pe-Er besar bagi pemerintah. Barangkali inovasi cerdas pemerintah guna menangani kasus malpraktek dan sengketa medik adalah lahirnya RUU Praktik Kedokteran.Akan tetapi, benarkah demikian?Dalam beberapa pasal, RUU Praktik Kedokteran memang memberikan kepastian hukum bagi dokter sekaligus perlindungan bagi pasien.

Secara substansial, RUU yang terdiri dari 182 pasal ini memuat pasal-pasal yang implisit dengan teori-teori pembelaan dokter yang umumnya digunakan dalam peradilan.RUU Praktek Kedokteran memungkinkan sebuah sistem untuk meregulasi pelayanan medis yang terstandardisasi dan terkualifikasi sehingga probabilitas terjadinya malpratek dapat dieliminasi seminimal mungkin.Dengan dicantumkannya peraturan pidana dan perdata serta peradilan profesi tenaga medis, harapan perlindungan terhadap pasien dapat terealisasi.

3.3 Aspek Hukum Malpraktek

Hukum itu mempunyai 3 pengertian, sebagai sarana mencapai keadilan, yang kedua sebagai pengaturan dari penguasa yang mengatur perbuatan apa yang boleh dilakukan, dilarang, siapa yang melakukan dan sanksi apa yang akan dijatuhkan (hukum objektif). Dan yang ketiga hukum itu juga merupakan hak.Oleh karenanya penegakan hukum bukan hanya untuk medapatkan keadilan tapi juga hak bagi masyarakat (korban).

Sehubungan dengan hal ini, Adami Chazawi juga menilai tidak semua malpraktik medik masuk dalam ranah hukum pidana. Ada 3 syarat yang harus terpenuhi, yaitu pertama sikap bathin dokter (dalam hal ini ada kesengajaan/dolus atau culpa), yang kedua syarat dalam perlakuan medis yang meliputi perlakuan medis yang menyimpang dari standar tenaga medis, standar prosedur operasional, atau mengandung sifat melawan hukum oleh berbagai sebab antara lain tanpa STR atau SIP, tidak sesuai kebutuhan medis pasien. Sedangkan syarat ketiga untuk dapat menempatkan malpraktek medik dengan hukum pidana adalah syarat akibat, yang berupa timbulnya kerugian bagi kesehatan tubuh yaitu luka-luka (pasal 90 KUHP) atau kehilangan nyawa pasien sehingga menjadi unsure tindak pidana.

Selama ini dalam praktek tindak pidana yang dikaitkan dengan dugaan malpraktik medik sangat terbatas. Untuk malpraktek medik yang dilakukan dengan sikap bathin culpa hanya 2 pasal yang biasa diterapkan yaitu Pasal 359 (jika mengakibatkan kematian korban) dan Pasal 360 (jika korban luka berat).

Pada tindak pidana aborsi criminalis (Pasal 347 dan 348 KUHP).Hampir tidak pernah jaksa menerapkan pasal penganiyaan (pasal 351-355 KUHP) untuk malpraktik medik.

Dalam setiap tindak pidana pasti terdapat unsure sifat melawan hukum baik yang dicantumkan dengan tegas ataupun tidak.Secara umum sifat melawan hukum malpraktik medik terletak pada dilanggarnya kepercayaan pasien dalam kontrak teurapetik tadi.

Dari sudut hukum perdata, perlakuan medis oleh dokter didasari oleh suatu ikatan atau hubungan inspanings verbintenis (perikatan usaha), berupa usaha untuk melakukan pengobatan sebaik-baiknya sesuai dengan standar profesi, standar prosedur operasional, kebiasaan umum yang wajar dalam dunia kedokteran tapi juga memperhatikan kesusilaan dan kepatutan.Perlakuan yang tidak benar akan menjadikan suatu pelanggaran kewajinban (wan prestasi).

Ada perbedaan akibat kerugian oleh malpraktik perdata dengan malpraktik pidana.Kerugian dalam malpraktik perdata lebih luas dari akibat malpraktik pidana.Akibat malpraktik perdata termasuk perbuatan melawan hukum terdiri atas kerugian materil dan idiil, bentuk kerugian ini tidak dicantumkan secara khusus dalam UU.Berbeda dengan akibat malpraktik pidana, akibat yang dimaksud harus sesuai dengan akibat yang menjadi unsure pasal tersebut. Malpraktik kedokteran hanya terjadi pada tindak pidana materil (yang melarang akibat yang timbul,dimana akibat menjadi syarat selesainya tindak pidana). Dalam hubungannya dengan malpraktik medik pidana, kematian,luka berat, rasa sakit atau luka yang mendatangkan penyakit atau yang menghambat tugas dan matapencaharian merupakan unsure tindak pidana.

            Jika dokter hanya melakukan tindakan yang bertentangan dengan etik kedokteran maka ia hanya telah melakukan malpraktik etik. Untuk dapat menuntut penggantian kerugian karena kelalaian maka penggugat harus dapat membuktikan adanya suatu kewajibanbagi dokter terhadap pasien, dokter telah melanggar standar pelayananan medik yang lazim dipergunakan, penggugat telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya.

Terkadang penggugat tidak perlu membuktikan adanya kelalaian tergugat. Dalam hukum dikenal istilah Res Ipsa Loquitur (the things speaks for itself), misalnya dalam hal terdapatnya kain kasa yang tertinggal di rongga perut pasien sehingga menimbulkan komplikasi pasca bedah. Dalam hal ini dokterlah yang harus membuktikan tidak adanya kelalain pada dirinya.

.3.4 Asumsi masyarakat terhadap malpraktek

Maraknya malpraktek di Indonesia membuat masyarakat tidak percaya lagi pada pelayanan kesehatan di Indonesia.Ironisnya lagi, pihak kesehatan pun khawatir kalau para tenaga medis Indonesia tidak berani lagi melakukan tindakan medis karena takut berhadapan dengan hukum.Lagi-lagi hal ini disebabkan karena kurangnya komunikasi yang baik antara tenaga medis dan pasien.Tidak jarang seorang tenaga medis tidak memberitahukan sebab dan akibat suatu tindakan medis.Pasien pun enggan berkomunikasi dengan tenaga medis mengenai penyakitnya.Oleh karena itu, Departemen Kesehatan perlu mengadakan penyuluhan atau sosialisasi kepada masyarakat tentang bagaimana kinerja seorang tenaga medis.

Sekarang ini tuntutan professional terhadap profesi ini makin tinggi.Berita yang menyudutkan serta tudingan bahwa dokter telah melakukan kesalahan dibidang medis bermunculan.Di Negara-negara maju yang lebih dulu mengenal istilah makpraktek medis ini ternyata tuntutan terhadap tenaga medis yang melakukan ketidaklayakan dalam praktek juga tidak surut.Biasanya yang menjadi sasaran terbesar adalah dokter spesialis bedah (ortopedi, plastic dan syaraf), spesialis anestesi serta spesialis kebidanan dan penyakit kandungan.

Di Indonesia, fenomena ketidakpuasan pasien pada kinerja tenaga medis juga berkembang. Pada awal januari tahun 2007 publik dikejutkan oleh demontrasi yang dilakukan oleh para korban dugaan malpraktik medis ke Polda Metro Jaya dengan tuntutan agar polisi dapat mengusut terus sampai tuntas setiap kasus dugaan malpraktek yang pernah dilaporkan masyarakat.

Tuntutan yang demikian dari masyarakat dapat dipahami mengingat sangat sedikit jumlah kasus malpraktik medik yang diselesaikan di pengadilan.Apakah secara hukum perdata, hukum pidana atau dengan hukum administrasi. Padahal media massa nasional juga daerah berkali-kali melaporkan adanya dugaan malpraktik medik yang dilakukan dokter tapi sering tidak berujung pada peyelesaian melalui sistem peradilan.

Salah satu dampak adanya malpraktek pada zaman sekarang ini (globalisasi)

Saat ini kita hidup di jaman globalisasi, jaman yang penuh tantangan, jaman yang penuh persaingan dimana terbukanya pintu bagi produk-produk asing maupun tenaga kerja asing ke Indonesia.Kalau kita kaitkan dengan dunia medis, ada manfaat yang didapat, tetapi banyak pula kerugian yang ditimbulkan. Manfaatnya adalah seiring mesuknya jaman globalisasi, maka tidak menutup kemungkinan akan kehadiran peralatan pelayanan kesehatan yang canggih. Hal ini memberikan peluang keberhasilan yang lebih besar dalam kesembuhan pasien.Akan tetapi, banyak juga kerugian yang ditimbulkan.Masuknya peralatan canggih tersebut memerlukan sumber daya manusia yang dapat mengoperasikannya serta memperbaikinya kalau rusak.Yang menjadi sorotan disini adalah dalam hal pengoperasiannya.Coba kita analogikan terlebih dahulu, dengan masuknya peralatan-peralatan canggih tersebut, maka mutu pelayanan kesehatan harus ditingkatkan.Namun, yang terjadi saat ini adalah banyak tenaga medis yang melakukan kesalahan dalam pengoperasian peralatan canggih tersebut sehingga menimbulkan malpraktek.Jelas sekali bahwa ketergantungan pada peralatan pelayanan kesehatan ini dapat menghambat pelayanan kesehatan.Untuk menindaklanjuti masalah ini, agar tidak sampai terjadi malpraktek, perlu adanya penyuluhan kepada tenaga pelayanan kesehatan mengenai masalah ini.Kemudian, perlu adanya penyesuaian kurikulum pendidikan dengan perkembangan teknologi.Satu hal yang lebih penting lagi adalah perlu adanya kesadaran bagi para tenaga medis untuk terus belajar dan belajar agar dapat meningkatkan kemampuannya dalam penggunaan peralatan canggih ini demi mencegah terjadinya malpraktek.

Hal ini dapat direalisasikan dengan adanya penyuluhan yang disebutkan tadi.Selain pembahasan dari sisi peralatan tadi, juga perlu dipikirkan masalah eksistensi dokter Indonesia dalam menghadapi globalisasi.Seperti yang disebutkan sebelumnya, di jaman globalisasi ini memberikan pintu terbuka bagi tenaga kesehatan asing untuk masuk ke Indonesia, begitu pula tenaga kesehatan Indonesia dapat bekerja diluar negeri dengan mudah.Namun, apabila tidak ada tindakan untuk mempersiapkan hal ini, dapat menimbulkan kerugian bagi tenaga kesehatan kita. Bayangkan saja, tidak menutup kemungkinan apabila seorang tenaga medis yang kurang mempersiapkan dirinya untuk berkiprah di negeri orang, dikarenakan ilmunya yang masih minim serta perbedaan kurikulum di negeri yang ia tempati, terjadilah malpraktek. Hal ini tidak saja mencoreng nama baik tenaga edis tersebut tersebut, tetapi juga nama baik dunia kesehatan Indonesia. Yang jelas, kami sangat berharap akan peran dari Pemerintah pada umumnya dan peran dari Departemen Kesehatan pada khususnya untuk mempersiapkan tenaga kesehatan Indonesia dalam menghadapi era globalisasi saat ini.

3.5 Upaya pencegahan malpraktik dalam pelayanan kesehatan

1.      Upaya pencegahan malpraktek dalam pelayanan kesehatan

Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga bidan karena adanya mal praktek diharapkan para bidan dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:

a. Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat verbintenis).

b. Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.

c. Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.

d. Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.

e. Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala kebutuhannya.

f. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.

2. Upaya menghadapi tuntutan hukum

Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak memuaskan sehingga bidan menghadapi tuntutan hukum, maka tenaga bidan seharusnyalah bersifat pasif dan pasien atau keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian bidan.

            Apabila tuduhan kepada bidan merupakan criminal malpractice, maka tenaga bidan dapat melakukan :

a.       Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/ menyangkal bahwa tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya bidan mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko medik (risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap batin (men rea) sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan.

b.      Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa.

Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya bidan menggunakan jasa penasehat hukum, sehingga yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya.

            Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana bidan digugat membayar ganti rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat, karena dalam peradilan perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar gugatan bahwa tergugat (bidan) bertanggung jawab atas derita (damage) yang dialami penggugat.

            Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk membuktikan adanya tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan adanya hubungan langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya kesehatan (damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah orang-orang awam dibidang kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan tenaga kebidanan.

•  Di Indonesia terdapat ketentuan informed consent yang diatur antara lain pada peraturan pemerintah no 18 tahun 1981 yaitu:

1. Manusia dewasa sehat jasmani dan rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien, walaupun untuk kepentingan pasien sendiri.

2. Semua tindakan medis (diagnostic, terapuetik maupun paliatif) memerlukan informed consent secara lisan maupun tertulis.

3. Setiap tindakan medis yang mempunyai resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis yang ditandatangani pasien, setelah sebelumnya pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta resikonya.

4. Untuk tindakan yang tidak termasuk dalam butir 3, hanya dibutuhkan persetujuan lisan atau sikap diam.

5. Informasi tentang tindakan medis harus diberikan kepada pasien, baik diminta maupun tidak diminta oleh pasien. Menahan informasi tidak boleh, kecuali bila dokter/bidan menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien.Dalam hal ini dokter dapat memberikan informasi kepada keluarga terdekat pasien. Dalam memberikan informasi kepada keluarga terdekat dengan pasien, kehadiran seorang bidan/paramedic lain sebagai saksi adalah penting.

6. Isi informasi mencakup keuntungan dan kerugian tindakan medis yang direncanakan, baik diagnostic, terapuetik maupun paliatif. Informasi biasanya diberikan secara lisan, tetapi dapat pula secara tertulis (berkaitan dengan informed consent).

3.6. JENIS-JENIS MALPRAKTEK.

Berpijak pada hakekat malpraktek dalam praktik yang buruk atau tidak sesuai dengan standar profesi yang telah ditetepkan, maka ada bermacam-macam malpraktek yang dapat dipilah dengan mendasarkan pada ketentuan hukum yang dilanggar, walaupun kadang kala sebutan malpraktek secara langsung bisa mencakup dua atau lebih jenis malpraktek.Secara garis besar malprakltek dibagi dalam dua golongan besar yaitu mal praktik medik (medical malpractice) yang biasanya juga meliputi malpraktik etik (etichal malpractice) dan malpraktek yuridik (yuridical malpractice).Sedangkan malpraktik yurudik dibagi menjadi tiga yaitu malpraktik perdata (civil malpractice), malpraktik pidana (criminal malpractice) dan malpraktek administrasi Negara (administrative malpractice).

1. Malpraktik Medik (medical malpractice)

            John.D.Blum merumuskan: Medical malpractice is a form of professional negligence in whice miserable injury occurs to a plaintiff patient as the direct result of an act or omission by defendant practitioner. (malpraktik medik merupakan bentuk kelalaian professional yang menyebabkan terjadinya luka berat pada pasien / penggugat sebagai akibat langsung dari perbuatan ataupun pembiaran oleh dokter/terguguat).

            Sedangkan rumusan yang berlaku di dunia kedokteran adalah Professional misconduct or lack of ordinary skill in the performance of professional act, a practitioner is liable for demage or injuries caused by malpractice. (Malpraktek adalah perbuatan yang tidak benar dari suatu profesi atau kurangnya kemampuan dasar dalam melaksanakan pekerjaan. Seorang dokter bertanggung jawab atas terjadinya kerugian atau luka yang disebabkan karena malpraktik), sedangkan junus hanafiah merumuskan malpraktik medik adalah kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut lingkungan yang sama.

2. Malpraktik Etik (ethical malpractice)

            Malpraktik etik adalah tindakan dokter yang bertentangan dengan etika kedokteran, sebagaimana yang diatur dalam kode etik kedokteran Indonesia yang merupakan seperangkat standar etika, prinsip, aturan, norma yang berlaku untuk dokter.

3. Malpraktik Yuridis (juridical malpractice)

Malpraktik yuridik adalah pelanggaran ataupun kelalaian dalam pelaksanaan profesi kedokteran yang melanggar ketentuan hukum positif yang berlaku.

·         Malpraktik Yuridik meliputi:

a. malpraktik perdata (civil malpractice)

Malpraktik perdata terjadi jika dokter tidak melakukan kewajiban (ingkar janji) yaitu tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati. Tindakan dokter yang dapat dikatagorikan sebagai melpraktik perdata antara lain :

a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan

b. Melakukan apa yang disepakati dilakukan tapi tidak sempurna

c. Melakukan apa yang disepakati tetapi terlambat

d. Melakukan apa yang menurut kesepakatan tidak seharusnya dilakukan

b. Malpraktik Pidana (criminal malpractice)

Malpraktik pidana terjadi, jika perbuatan yang dilakukan maupun tidak dilakukan memenuhi rumusan undang-undang hukum pidana. Perbuatan tersebut dapat berupa perbuatan positif (melakukan sesuatu) maupun negative (tidak melakukan sesuatu) yang merupakan perbuatan tercela (actus reus), dilakukan dengan sikap batin yang slah (mens rea) berupa kesengajaan atau kelalauian. Contoh malpraktik pidana dengan sengaja adalah :

a. Melakukan aborsi tanpa tindakan medik

b. Mengungkapkan rahasia kedi\okteran dengan sengaja

c. Tidak memberikan pertolongan kepada seseorang yang dalam keadaan darurat

d. Membuat surat keterangan dokter yang isinya tidak benar

e. Membuat visum et repertum tidak benar

f. Memberikan keterangan yang tidak benar di pengadilan dalan kapasitasnya sebagai ahli

·         Contoh malpraktik pidana karena kelalaian:

a. Kurang hati-hati sehingga menyebabkan gunting tertinggal diperut

b. Kurang hati-hati sehingga menyebabkan pasien luka berat atau meninggal

c. Malpraktik Administrasi Negara (administrative malpractice)

Malpraktik administrasi terjadi jika dokter menjalankan profesinya tidak mengindahkan ketentuan-ketentuan hukum administrasi Negara. Misalnya:

a. Menjalankan praktik kedokteran tanpa ijin

b. Menjalankan praktik kedokteran tidak sesuai dengan kewenangannya

c. Melakukan praktik kedokteran dengan ijin yang sudah kadalwarsa.

d. Tidak membuat rekam medik.

Share
       
bambangSISTEM MEDIS
read more

MEDICAL NEGLIGENCE

No comments

Posted on December 24, 2012 by robihabsyi

A General practitioner temporarily replaced a surgeon in a hospital. A male patient visited him and said that he had a sprained leg after falling off in the field. Besides writing a prescription, the physician recommended him to have a physiotherapy treatment (massage). A few days later, the patient came back without any significant improvement. The physician recommended him to have an x-ray. The x-ray showed that his leg is fractured.
The patient has got upset and charged the hospital. Patient has suspected that the physician has done medical misconduct namely malpractice, medical negligence, ethical and discipline misconduct. The patient argues that the physician has not conducted medical treatments as it should be or based on medical procedures. Subsequently, the patient’s condition has been getting worse.
Translate:
Seorang dokter umum sementara menggantikan seorang dokter bedah di rumah sakit. Seorang pasien laki-laki mendatanginya dan berkata bahwa kakinya terkilir setelah jatuh di lapangan. Selain menulis resep, dokter menyarankan nya untuk menjalani perawatan fisioterapi (pijat). Beberapa hari kemudian, pasien tersebut datang kembali tanpa ada suatu kesembuhan. Dokter menyarankan nya untuk menjalani pemeriksaan x-ray. Kemudian pemeriksaan x-ray menunjukkan bahwa kakinya retak.
Pasien tersebut kecewa dan terbebankan oleh rumah sakit. Pasien menduga bahwa dokter telah melakukan kesalahan medis yaitu malpraktik, kelalaian medis, etika dan perilaku disiplin. Pasien berpendapat bahwa dokter tidak melakukan perawatan medis yang seharus nya atau berdasarkan prosedur medis. Sehingga, kondisi pasien semakin memburuk.

STEP 1 Unfamiliar Term
1. X-ray
Bentuk radiasi elektromagnetik untuk rontgen dan bisa menembus benda lunak. X-ray adalah gelombang elektromagnetik yang mempunyai lambda 10-8 -10-12 dengan frekuensi 1016 -1021 Hz yang dapat menembus benda benda lunak seperti daging . Lebih dikenal dengan nama rontgen .

2. Physiotherapy treatment
Pijat untuk membenarkan dislokasi sendi. Fisioterapi adalah ilmu yang menitik beratkan untuk memperbaiki gangguan fungsi alat tubuh dan pengobatannya secara fisik .
3. Fractured
Putusnya hubungan normal suatu tulang /tulang rawan atau pecahan atau kerusakan pada tulang (Patah tulang) .
4. Medical Misconduct
Salah satu bentuk penyimpangan dalam kesehatan
5. Discipline Misconduct
Pelanggaran disiplin adalah pelanggaran tentang aturan-aturan dan/atau ketentuan penerapan keilmuwan
6. Medical Negligence
Kelalaian medis yang disebut culpa. Culpa mengenai keadaan batin orang dalam hubungannya dengan perbuatan dan akibat perbuatan maupun dengan segala keadaan yang berada di sekitar perbuatan, objek perbuatan, dan akibat perbuatan
7. Medical prosedur
Standar pelayanan medis yang berupa dokumen sebagai pedoman dalam pengambilan keputusan pelayanan medis .

Step 2 Problem Definiton
1. Bentuk pelanggaran disiplin apa yang terjadi dalam kasus tersebut?
• Menyediakan dokter atau dokter gigi pengganti yang tidak memiliki kompetensi dan kewenangan yang sesuai atau tidak memberitahukan penggantian tersebut;
Penjelasan:
a. Bila dokter berhalangan menjalankan praktik kedokteran, maka dapat menyediakan dokter atau dokter gigi pengganti yang memiliki kompetensi sama dan memiliki SIP
b. Dalam kondisi keterbatasan tenaga dokter/dokter gigi dalam bidang tertentu sehingga tidak memungkinkan tersedianya dokter/dokter gigi pengganti yang memiliki kompetensi yang sama, maka dapat disediakan dokter/dokter gigi pengganti lainnya
c. SIP dokter atau dokter gigi pengganti tidak harus SIP di tempat yang harus digantikan.
d. Ketidakhadiran dokter bersangkutan dan kehadiran dokter atau dokter gigi pengganti pada saat dokter berhalangan praktik, harus diinformasikan kepada pasien.
• Dalam penatalaksanaan pasien, melakukan yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan yang seharusnya dilakukan, sesuai dengan tanggung jawab profesionalnya, tanpa alasan pembenar atau pemaaf yang sah, sehingga dapat membahayakan pasien.
Penjelasan:
Dokter atau dokter gigi wajib melakukan penatalaksanaan pasien dengan teliti, tepat, hati-hati, etis dan penuh kepedulian dalam hal-hal sebagai berikut:
a. Anamnesis, pemeriksaan fisik dan mental, bilamana perlu pemeriksaan penunjang diagnostik
b. Penilaian riwayat penyakit, gejala dan tanda-tanda pada kondisi pasient. Tindakan dan pengobatan secara profesional. Tindakan yang tepat dan cepat terhadap keadaan yang memerlukan intervensi kedokteran. Kesiapan untuk berkonsultasi pada sejawat yang sesuai, bilamana diperlukan

2. Mengapa seorang dokter umum bisa menggantikan seorang dokter bedah ?
– Sudah tidak ada dokter lain
– Masih dalam kompetensi dokter
– Memakai metode tugas jaga / shift

3. Apa perbedaan malapraktek dan negiglence? Dan tercermin apa di kasus tersebut?
Malpraktek (bahasa yunani, mal : buruk, practice : kegiatan; kamus dorlan, mal:salah) adalah kesalahan atau kelalaian seorang dokter karena tidak mempergunakan ilmu pengetahuan dan tingkat ketrampilan sesuai dengan standar profesinya atau tindakan dari seorang dokter yang bertentangan dengan Kode Etik Kedokteran (KEK), Standar Pelayanan Medik (SPP), Standar Profesi (SP) dan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang akhirnya mengakibatkan pasien terluka atau cacat badan bahkan meninggal dunia sehingga merugikan pasien dan dapat menjadi tuntutan. Ataupun Malpraktek Medis adalah suatu tindakan medis yang dilakukan oleh tenaga medis yang tidk sesuai dengan standartd tindakan sehingga merugikan pasien, hal ini di kategorikan sebagai kealpaan atau kesengajaan dalam hukum pidana.
Tindakan yang dilakukan dengan sengaja dan melanggar undang undang. Tindakan secara sadar dan terarah walaupun melanggar hukum dan standar kesehatan. Melakukan sesuatu yang tidak seharusnya dilakukan
Malpraktek menurut KBBI adalah praktek kedokteran yang dilakukan salah atau tidak tepat menyalahi undang-undang atau kode etik. Malpraktik atau malpractice berasal dari kata “mal” yang berarti buruk, sedang kata “practice” berarti suatu tindakan atau praktik. Dengan demikian secara harfiah, malpraktik dapat diartikan sebagai suatu tindakan medik “buruk” yang dilakukan oleh dokter dalam hubungannya dengan pasien.
Jenis jenis malpraktik
• Malpraktik etik: berkaitan terhadap prilaku dari seorang dokter dan tidak ada kaitannya dengan keilmuan, maka kesalahan ini dianggap telah melakukan kesalahan etika (malpraktek etik)
Ex:dokter belum punya surat izin tetapi sudah praktik .
• Malpraktik hukum: berkaitan terhadap prilaku dari seseorang dan terhadap kesalahan standar profesi bagi seorang dokter dan terhadap malpraktek kedokteran inilah yang harus dan dapat dipertanggung jawabkan oleh dokter dimaksud dari sisi hukum, pertanggung jawaban mana kita sebut dengan tanggung jawab hukum, baik dalam hal tanggung jawab hukum administrasi, hukum perdata dan hukum pidana.
dibagi 3:
a. Malpraktek pidana : dokter melakukan aborsi,berkaitan dengan tindakan dokter yang mengarah ke kriminal ini biasanya dalam unsure kesengajaan dan merupakan perbuatan tercela
b. Malpraktek perdata : hubungan terapetik dalam pasien (transaksi antara dokter dan pasien) dokter yang ingkar janji atau tidak melaksanakan kewajiban dokter
c. Malpraktek administratif : tenaga pelayanan kesehatan melanggar hukum administrasi .
• Malpraktik pidana dan malpraktek perdata termasuk ke dalam malpraktik operasional
Bentuk kesalahan profesi:
• Kesalahan medis yaitu kesalahan melaksanakan profesi atas dasar ketentuan medis yang professional.
• Kesalahan yuridis yaitu kesalahan melaksanakan tugas profesi atas dasar ketentuan peraturan perundang-undangan atau hukum.
Kemudian dari kesalahan diatas muncul kriteria:
• Melalaikan kewajiban profesi.
• Melakukan sesuatu yang seharusnya tidak boleh diperbuat, mengingat sumpah profesi atau sumpah jabatan.
• Mengabaikan sesuatu yang seharusnya dilakukan menurut standar profesi.
• Berperilaku tidak sesuai dengan patokan umum mengenai kewajaran yang diharapkan dari sesama rekan seprofesi dalam keadaan sama dan tempat yang sama.
Kelalaian ada juga yang membagi menjadi 3 , yaitu :
• Malfeasance, yaitu melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tidak tepat atau tidak layak, misalnya melakukan tindakan medis tanpa memadai.
• Misfeasance, yaitu melakukan pilihan tindakan medis yang tepat namun dilaksanakan dengan tidak tepat misalnya melakukan tindakan medis dengan menyalahi prosedur.
• Nonfeasance, yaitu tidak melakukan tindakan medis yang merupakan kewajiban.
Kesalahan dan kelaian sebagaimana yang disebutkan diatas merupakan suatu perbuatan yang dilakukan oleh seorang dokter terhadap pasiennya dalam rangka pelayanan masyarakat yang dapat berakibat bukan saja terhadap fisik, akan tetapi juga dapat menimbulkan kematian, kasalahan dan kelaian inilah yang disebut dengan malpraktek kedokteran (medical malpractice).
Kelalaian ada 2 macam :
• Culpata (Berat) : menyebabkan kerugian materi hingga mengakibatkan kematian
• Ringan : tidak menimbulkan kerugian yang besar .
Dasar hukum malpraktek
• Pidana : a. Pasal 359 KUH Pidana ( kelalaian yang menyebabkan kematian)
b. Pasal 360 KUH Pidana ( kelalaian yang menyebabkan cacat)
c. Pasal 361 KUH Pidana
• Perdata : Pasal 1365 → penggantian kerugian
Pasal 1366 → tanggung jawab dari kelalaian karena lalai
• KODEKI
Syarat-syarat dikatakan malpractice: a. Duty
b. Direction of duty
c. Direct cause
d. Demage
Jenis-jenis malpractice: a. Yuridical malpractice-hukum
b. Etical malpractice-etika.
Yuridical malpractice ada 3 :
a. Criminal malpractice: a. Lebih bersifat individual
b. Sengaja / dolus. Contoh : Eutanalasia
c. Ceroboh . contoh : tidak melakukan inform concent
d. Lalai. Contoh : meninggalkan gunting saat operasi
b. Civil malpractice: ingkar janji / wanprestasi
c. Administratif malpractice: lebih pada SIP dan STR.
Sehingga kasus tersebut bukan merupakan malpraktek melainkan kelalaian,
– Jenis-jenis kelalaian : a. Malfeasance : tidak melakukan tindakan medis dengan tepat
a. Misfeasance : Pilihan tenaga medis, tapi dalam penerapan nya tidak tepat
b. Nonfeasance : Tidak melakukan tindakan medis.
– Kelalaian / keterlambatan diagnosis disebut malpractice
– Malpractice adalah kelalaian yang berakibat buruk dan tidak sesuai dengan yang di harapkan
– Kelalaian dapat di sebabkan karena contributoring negligence
Kesalahan dan kelalaian memang ada perbedaan yaitu kesalahan merupakan perbuatan yang disengaja, sedangkan kelalaian merupakan perbuatan yang kurang hati-hati atau kelalaian atau kesalahan yang terjadi karena tindakan tanpa sengaja, tidak memiliki motif tertentu, dan tidak melanggar hukum jika tidak terjadi kerugian dan pasien tidak menggugat namun kedua perbuatan tersebut dapat berakibat fatal bagi orang lain terutama segala hal yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan, disebabkan karena menyangkut dengan nyawa manusia. Menurut J. Guwandi malpraktik mempunyai arti lebih luas daripada negligence, karena dalam malpraktik selain tindakan yang termasuk dalam kelalaian juga ada tindakan-tindakan yang termasuk dalam kategori kesengajaan (intentional, dolus, opzettelijk) dan melanggar undang-undang. Malpraktik yang dilakukan dengan sengaja merupakan bentuk malpraktik murni yang termasuk di dalam criminal malpractic.
Kasus ini tergolong malpraktek karena tidak mengindahkan prosedur pemeriksaan yang benar dan tidak sesuai dengan standard kompetensi serta profesi.
4. Apa landasan pasien bisa menuntut rumah sakit ? Dan siapakan yang bertanggung jawab atas kelalaian tersebut?
Ketiga kelompok provider yaitu rumah sakit, dokter dan paramedis dan perawat merupakan kelompok yang paling bertanggung jawab bila terdapat hal-hal yang tidak diinginkan dalam pelayanan kesehatan, disebabkan karena ketiga kelompok inilah yang berkaitan langsung dengan pasien atau masyarakat sebagai pencari kesehatan, sadar atau tidak maraknya kasus dugaan malpraktek kedokteran (medical malpractice). Namun terhadap tindakan atau perbuatan hukum yang dilakukan terhadap provider tentulah berbeda-beda pula tergantung dari bentuk kesalahan yang dilakukan, meskipun kelompok provider bertanggung jawab dalam pelayanan kesehatan yang melakukan malpraktek. namun dalam pelaksanaannya berhubung seorang dokter merupakan sentralistik yaitu bagaikan seorang pembalap mobil, maka kadangkala masyarakat menilai bilamana terjadi malpraktek kedokteran yang mengakibatkan pasien terluka, cacat atau meninggal dunia, dokter sebagai pelayanan masyarakat harus bertanggung jawab bukan rumah sakit atau perawat.
Kemudian terhadap tanggung jawab dokter mengacu kepada bentuk hubungan hukum yang ditimbulkan, dimana hubungan hukum antara pasien dengan dokter merupakan hubungan perikatan yang lahir karena adanya suatu perjanjian yang kita sebut dengan perjanjian treupatik, mengingat hubungan hukum pasien dan dokter merupakan hubungan hukum perjanjian, maka bilamana terjadi malpraktek yang dilakukan oleh dokter sedangkan untuk menentukan telah terjadi malpraktek atau tidak, dapat diukur dari standar profesi kedokteran yaitu batasan kemampuan (ilmu pengetahuan) minimal yang harus dikuasai oleh seorang individu untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara mandiri (vide Pasal 50 UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran).Jadi apabila dokter dianggap telah melanggar perjanjian sedangkan pelanggaran perjanjian termasuk kategori perbuatan melawan hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata, maka dengan sendirinya malpraktek yang dilakukan oleh dokter merupakan pelanggaran terhadap perjanjian treupatik.
Berhubung dalam rumah sakit sebagai pelayanan kesehatan melibatkan seluruh tenaga kesehatan yang saling berkaitan satu sama lainnya yaitu mulai dari manajemen, dokter, pegawai, paramedis sampai pada perawat yang kesemuanya memiliki tanggung jawab sesuai profesinya, maka bilamana terjadi kesalahan terhadap Pasien dalam pelayanan kesehatan, pertanggung jawaban rumah sakit dapat dilihat dari Pasal 1367 KUHPerdata yaitu pertanggungjawaban karena kesalaha dalam gugatan perbuatan melawan hokum termasuk perbuatan orang-orang yang berada dibawah pengawasannya (respondeat superior). Pasal 1367 KUHPerdata ini untuk mengajukan gugatan ganti rugi terhadap rumah sakit dengan landasan :
1. Rumah sakit yang membayar honor dokter
2. Rumah sakit mempunyai wewenang memberikan instruksi.
3. Rumah sakit berwenang mengadakan pengawassan
4. Setiap kesalahan atau kelalaian yang diperbuat oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya didalam rumah sakit, maka menjadi tanggung rumash sakit itu sendiri
Tanggung jawab provider lainnya adalah perawat, dimana perawat sebagai tenaga medis berfungsi untuk membantu kelancaran dari pelayanan kesehatan, sebagaimana diketahui fungsi perawat itu terdiri dari 3 (tiga) hal, antaranya adalah :
1. Fungsi Independen, yaitu perawat bertindak secara mandiri sesuai dengan keprawatannya, oleh karenanya perawat harus bertanggung jawab terhadap akibat yang timbul dari tindakan yang diambil, namun tanggung jawab tersebut tetap merupakan tanggung jawab perawat kepada dokter, misalnya perawat membantu pasien dalam melakukan kegiatan sehari-hari atau perawat mendorong pasien untuk berprilaku secara wajar.
2. Fungsi Interdependen, yaitu tindakan kerja sama dengan tim perawat atau tim kesehatan lainnya yang dipimpin oleh seorang dokter.
3. Fungsi dependen, yaitu perawat bertindak membantu dokter dalam memberikan pelayanan medis, jadi posisi perawat adalah sebagai mewakili dokter dalam hal pelayanan kesehatan terhadap pasien.
Kebanyakan pasien yang berobat kerumah sakit berkeinginan mendapat pelayanan dari seorang dokter agar dokter dapat melayaninya sesuai dengan keluhan penyakit yang diderita, jadi posisi seorang dokter dalam hal ini merupakan posisi yang sangat penting dan sangat rawan karena dokter berhadapan langsung dengan pasien, boleh juga dikatakan baik buruknya suatu rumah sakit tergantung dari keberhasilan dokternya dalam pelayanan kesehatan dari penyakit yang diderita pasien, dokter sebagai pusat penilaian (point central) masyarakat, sehingga wajar kadangkala masyarakat menuduh kesalahan rumah sakit merupakan kesalahan dari seorang dokter.
5. Apa penyebab terjadinya malpraktek?
• Faktor internal : kelalaian, kecerobohan, ketidakhati-hatian, ketidaktelitian, kurang nya pemahaman terhadap sumpah dokter,standar profesi nya, kurang nya ilmu pengetahuan
• Faktor eksternal : a.situasi yang menginginkan dokter cepat selesai, sehingga bekerja kurang cermat, tekanan dari pihak lain, komunikasi yang kurang baik ( tidak ada nya inform consent )
Kriteria terjadi nya malpraktek : a. Dokter bekerja di bawah standar pelayanan.
b. Mengakibatkan kerugian bagi pasien
c. Sebagai kelalaian berat
d. adanya : a. Duty of care
b. Derelection of duty
c. Breach of duty
d. Hubungan sebab akibat
6. Sanksi apa saja yang akan diperoleh seorang dokter yang melakukan tindakan malpraktek?
• Pidana : kurungan, penjara atau denda ( KUHP 350,360, 304,306 )
• Perdata : ganti rugi ( pasal 1365, 1366 )
• administratif : peringatan tertulis, pencabutan SIP
7. Bagaimana cara pasien menuntut tindakan malapraktek?
a. Secara administrasi, yaitu pasien atau keluarganya dapat membuat pengaduan ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MK-DKI) karena MKDKI merupakan lembaga yang berwenang untuk menentukan apakah dokter telah melakukan malpraktek yang berkaitan dengan pelanggaran standar profesi atau standar operasional prosedur, lalu atas pengaduan dari pasien atau keluarganya yang mencantumkan alasan-alasan diajukannya pengaduan tersebut MKDKI akan memperoses pengaduan dengan memeriksa dokter yang bersangkutan, kemudian dari hasil pemeriksaan yang dilakukan MKDKI akan memberi keputusan berupa pernyataan tidak bersalah, atau :
• Pemberian peringatan tertulis
• Rekomendasi pencabutan surat tanda register atau surat izin praktek
• Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi.
b. Secara perdata, yaitu pasien atau keluarganya dapat mengajukan gugatan perdata dengan ganti rugi melalui Pengadilan Negeri sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata, dengan alasan dokter telah melakukan pelanggaran terhadap perjanjian treupatik sedangkan pelanggaran perjanjian tersebut merupakan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian pada orang lain.
c. Secara pidana, yaitu pasien atau keluarganya dapat membuat pengaduan ke pihak kepolisian dengan alasan bahwa dokter telah melanggar Pasal 79 huruf c UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, dan pihak kepolisian dapat memproses pengaduan pasien dengan meminta bantuan kepada saksi ahli, apakah dokter telah melakukan pelanggaran atau kesalahan terhadap standar profesi.
#UU No. 29 tahun 2004 tentang PRAKTEKDOK Pasal 79 “Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang :
a. dengan sengaja tidak memasang papan nama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1);
b. dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1); atau
c. dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e.
#UU No. 29 tahun 2004 tentang PRAKTEKDOK Pasal 51 “Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban :
a. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien;
b. merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan;
c. merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia;
d. melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan
e. menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteranatau kedokteran gigi.
8. Instansi apa yang akan menangani masalah malpraktek?
MKEK = Majelis kehormatan etik kedokteran
P3EK = Panitia pertimbangan dan pembinaan etik kedokteran
Tugas P3EK : – Menangani kasus- kasus malpraktek etik yang tidak dapat ditanggulangi oleh MKEK
– Memberi pertimbangan serta usul-usul kepada pejabat berwenang.
Tahap pengaduan pasien jika terjadi malpraktek oleh dokter:
MKEK cabang / wilayah → P3EK provinsi → P3EK pusat
Jika sesuatu pelanggaran merupakan malpraktek hukum pidana atau perdata, maka kasusnya di teruskan kepada pengadilan. Jika sudah terbukti, biasa di alihkan ke kasus perdata, demi mendapat ganti rugi
Dampak terjadinya malpraktek:
Bagi pasien : – Fisik ( luka, cacat, atau kematian )
– Mental (Psikis)
– Material
Bagi dokter : – Yang di tuntut tapi tidak terbukti : nama tercemar, rasa percaya diri berkurang, di tinggalkan
pasien
– Yang terbukti bersalah : ganti rugi, adminisrative di cabut, hukuman pidana
Sikap dokter jika di tuduh malpraktek :
Informal defence ( pengajuan bukti tidak berdasarkan doktrin )
Formal defence / legal defence ( pembelaan dengan berdasar pada doktrin – doktrin hukum )
9. Bagaimana cara menghindari tuntutan pasien?
a. Alasan pembenar:
• Melaksanakan Undang-undang
• Melaksanakan perintah jabatan
• Resiko pengobatan
• Contributoring negligence
• Pasien ingin pulang ( atas permintaan sendiri)
b. Alasan pemaaf:
• Daya paksa undang-undang
• Kekeliruan pemeriksaan klinis
• Kecelakaan
Ex: alasan pembenar adalah dokter pendamping eksekusi
10. Cara mencegah perbuatan malpraktek?
• Menambah pemahaman tentang sumpah dokter dan standar profesi nya
• Bekerja sesuai KODEKI
• Meningkatkan kompetensi diri dengan Long Life Learning
• Menjalin hubungan komunikasi yang baik dengan pasien, dan keluarga pasien
• Membekali diri dengan pengetahuan tentang hukum
• Mencatat semua tindakan medis seperti therapy dalam rekam medis, serta menyimpan rekam medis yang asli
• Berkonsultasi dengan senior
• Turut seta dalam asuransi
• Tidak menjanjikan keberhasilan suatu upaya/ insponing Verbitanis
• Harus melakukan informed consent sebelum melakukan tindakan
• Jika meragu, konsultasi ke dokter yang lebih ahli
• Memberlakukan pasien secara manusiawi
• Komunikasi yang baik kepada pasien, keluarga, dan masyarakat.
• Dokter harus menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan medis.
11. Syarat-syarat apa malpraktik profesi medis/kedokteran bisa masuk lapangan hukum pidana?
1. Syarat dalam sikap batin dokter;
Sikap batin adalah sesuatu yang ada dalam batin sebelum seseorang berbuat. Sesuatu yang ada dalam alam batin ini dapat berupa kehendak, pengetahuan, pikiran, perasaan, dan apapun yang melukiskan keadaan batin seseorang sebelum berbuat. Setiap orang normal memiliki sikap batin seperti itu. Dalam keadaan normal, setiap orang memiliki kemampuan mengarahkan dan mewujudkan sikap batinnya ke dalam perbuatan-perbuatan. Apabila kemampuan mengarahkan dan mewujudkan alam batin ke dalam perbuatan-perbuatan tertentu yang dilarang, hal itu disebut kesengajaan. Namun, apabila kemampuan berpikir, berperasaan, dan berkehendak itu tidak digunakan sebagaimana mestinya dalam hal melakukan suatu perbuatan yang pada kenyatannya dilarang, maka sikap batin tersebut dinamakan kelalaian (culpa). Jadi, perbedaan antara kesengajaan dan kelalaian sebenarnya hanyalah dari sudut tingkatannya (gradasi) belaka. Derajat kesalahan-kesengajaan lebih tinggi/besar daripada kesalahan (culpa). Sebelum perlakuan medis diwujudkan oleh dokter, ada tiga arah sikap batin dokter, yakni :
a. Sikap batin mengenai wujud perbuatan (terapi);
b. Sikap batin mengenai sifat melawan hukum perbuatan;
c. Sikap batin mengenai akibat dari wujud perbuatan.
Sikap batin dalam malpraktik kedokteran pada umumnya adalah sikap batin kealpaan (kesalahan dalam arti sempit), yang dalam doktrin dilawankan dengan sengaja (dolus atau opzet) yang dalam rumusan kejahatan undang-undang selalu ditulis dengan kesalahan (schuld). Walaupun doktrin hukum mengenai kealpaan beragam, kiranya banyak dan luasnya itu secara pokok-pokoknya dapat disimpulkan ke dalam dua ajaran, yakni ajaran culpa subjektif dan ajaran culpa objektif.
a. Ajaran culpa subjektif;
Pandangan ajaran culpa subjektif dalam usahanya menerangkan tentang culpa yang bertitik tolak pada syarat-syarat subjektif pada diri si pembuat. Untuk mengukur adanya culpa, menilai sikap batin orang sebagai lalai dapat dilihat pada beberapa unsur mengenai perbuatan atau sekitar perbuatan, yakni dapat dalam hal :
1) Apa wujud perbuatan, cara perbuatan, dan alat untuk melakukan perbuatan;
2) Sifat tercelanya perbuatan;
3) Objek perbuatan;
4) Akibat yang timbul dari wujud perbuatan.
b. Ajaran culpa objektif.
Pandangan objektif yang meletakkan syarat lalai atas suatu perbuatan ialah pada kewajaran dan kebiasaan yang berlaku secara umum. Apabila dalam kondisi dan situasi tertentu, dengan syarat-syarat tertentu yang sama, seseorang mengambil pilihan untuk perbuatan tertentu sebagaimana juga bagi orang lain pada umumnya yang berada dalam kondisi dan situasi seperti itu juga mengambil pilihan yang sama, maka di sini tidak ada kelalaian. Sebaliknya, apabila dalam kondisi dan situasi dan dengan syarat-syarat yang sama bagi orang lain pada umumnya, tidak memilih perbuatan yang telah menjadi pilihan orang itu maka dalam mengambil pilihan perbuatan ini mengandung kelalaian.
Pada dasarnya, hal ihwal mengenai kesalahan baik dalam arti luas maupun sempit (culpa) adalah mengenai keadaan batin orang dalam hubungannya dengan perbuatan dan akibat perbuatan maupun dengan segala keadaan yang berada di sekitar perbuatan, objek perbuatan, dan akibat perbuatan. Oleh karena itu, sikap batin dokter dalam culpa malpraktik kedokteran ditujukan setidak-tidaknya dalam 4 hal, yakni :
a. Pada wujud perbuatan;
b. Pada sifat melawan hukumnya perbuatan;
c. Pada pasien (objek perbuatan), dan
d. Pada akibat perbuatan, beserta unsur-unsur yang menyertainya.
Culpa pada pasien sebagai objek perbuatan adalah berupa apa yang patut diketahui tentang segala yang terdapat pada diri pasien tersebut, terutama mengenai hal penyakitnya (riwayat penyakitnya dan penyebab penyakitnya). Sementara itu, karena keteledorannya dokter tidak menggubris tentang apa yang seharusnya diketahui tentang segala hal mengenai penyakit pasien tersebut. Segala hal yang seharusnya diketahuinya ini tidak boleh diabaikan atau dilalaikan yang ternyata diabaikan. Pengabaian mana akan sangat kuat pengaruhnya terhadap perbuatan apa yang dilakukan dokter pada pasien beserta akibatnya.
2. Syarat dalam perlakuan medis; dan
Perlakuan medis, yakni wujud dan prosedur serta alat yang digunakan dalam pemeriksaan untuk memperoleh data-data medis, menggunakan data-data medis dalam mendiagnosis, cara atau prosedur dan wujud serta alat terapi, bahkan termasuk pula perbuatan-perbuatan dalam perlakuan pasca terapi. Syarat lain dalam aspek ini ialah kepada siapa perlakuan medis itu diberikan dokter. Berarti untuk kasus konkrit tertentu kadang diperlukan syarat lain, misalnya kepatutan dan pembenaran dari sudut logika umum. Misalnya, salah dalam menarik diagnosis (diagnosis salah) tetapi perbuatan itu dapat dibenarkan apabila ada alasan pembenar, misalnya fakta-fakta medis yang ada (hasil pemeriksaan sesuai standar) dari sudut kepatutan dibenarkan untuk menarik kesimpulan diagnosis.
3. Syarat mengenai hal akibat
Akibat yang boleh masuk pada lapangan malpraktik kedokteran harus akibat yang merugikan pihak yang ada hubungan hukum dengan dokter. Sifat akibat dan letak hukum pengaturannya menentukan kategori malpraktik kedokteran, antara malpraktik pidana atau perdata. Dari sudut hukum pidana, akibat yang merugikan masuk dalam lapangan pidana. Apabila jenis kerugian disebut dalam rumusan kejahatan menjadi unsur tindak pidana akibat kematian atau luka merupakan unsur kejahatan Pasal 359 dan Pasal 360 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, maka bila kelalaian/culpa perlakuan medis terjadi dan mengakibatkan kematian atau luka sesuai jenis yang ditentukan dalam pasal ini maka perlakuan medis masuk kategori malpraktik pidana.
LO Step 5-7
1. Upaya-upaya agar tercegah dari malpraktek?
Ø Tips bagi dokter
• Tidak menjanjikan
Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat verbintenis).
• Good informed consent
Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
• Rekam medis
Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
• Konsultasi
Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.
• Manusia sebagai subyek
Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala kebutuhannya.
• Komunikasi yang efektif
Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya
Ø Tips bagi pasien
• Tanya tentang pemeriksaan dan obat
Bertanyalah setiap dokter melakukan pemeriksaan dan saat diberikan obat. Tanyakan tujuan pemeriksaan dan fungsi serta jelaskan masing-masing obat yang anda terima. Ex: obat itu untuk apa, berapa kali minum dan lamanya, apa efek sampingnya, apakah aman diminum bersama obat lain, serta minuman atau makanan apa yang harus dihindari
• Memberitahukan riwayat kesehatan, alergi dan obat yang dikonsumsi
Pastikan bahwa setiap pekerja kesehatan yang anda temui mengetahui riwayat kesehatan anda termasuk masalah alergi dan obat-obatan yang anda pernah konsumsi. Kalau perlu bawa obat atau vitamin yang dikonsumsi itu untuk ditunjukkan ke dokter dan beri tahu pula reaksi terhadap obat-obatan tertentu ex: alergi pada penisilin
• Mengajak orang lain untuk membantu penilaian
Ajaklah keluarga atau teman dekat anda saat anda ke klinik pelayanan kesehatan sehingga keluarga atau teman anda tersebut dapat membantu memastikan bahwa pelayanan kesehatan yang anda terima sudah aman dan tepat
• Resep dokter harus jelas
Ketika dokter menulis resep pastikan agar anda dapat membacanya, apabila tidak bisa maka apoteker pun tidak dapat membacanya. Serta periksa kembali obat-obatan yang anda terima di apotek apakah sudah sesuai dengan resep yang diberikan dokter dan tanyakan kepada apoteker apa obat yang diresepkan dokter itu
• Bawa kartu berobat
Jangan lupa membawa kartu berobat setiap kali anda ke tempat pelayanan kesehatan yang sama sehingga riwayat kesehatan anda sebelumnya bisa dibaca dengan baik
• RS yang berpengalaman
Pilih RS yang berpengalaman dalam mengoperasi pasien bila harus menjalankan tindakan itu. Penelitian menunjukkan bahwa hasil operasi akan lebih baik bila pasien dirawat di RS yang punya banyak pengalaman
• Tanya pula waktu perawatan dirumah
Ketika akan keluar dari RS, tanyakan kepada dokter perihal perawatan yang akan dilakukan di rumah
• Kejelasan pada semua pihak
Ketika akan diperiksa, pastikan bahwa Anda, dokter dan dokter bedah semua setuju dan jelas tentang apa yang akan dilaksanakan
• Kejelasan perawatan dan pengobatan
Lebih banyak tidak selalu berarti lebih baik. Penting untuk diketahui adalah mengapa anda perlu menjalani suatu perawatan dan bagaimana itu akan membantu mengobati penyakit
• Menanyakan hasil tes dan meminta penjelasan
Jangan takut untuk menanyakan hasil tes yang telah dijalani dan minta dokter menjelaskan artinya
• Cek Infus, Pengobatan, dan Diet Yang Diberikan oleh Pihak Rumah Sakit
Jika Anda atau kenalan Anda di rawat inap, catat merk & jenis infus, obat, dan diet yang diberikan pihak rumah sakit. Setelah itu carilah info mengenai apa yang Anda catat tadi, di internet lewat Search Engine Google. Cermati info yang Anda dapat dari internet dan bandingkan dengan kondisi sakit yang pasien hadapi. Seringkali pasien percaya begitu saja dengan apa yang diberikan oleh dokter atau pihak rumah sakit tanpa cek ulang. Bisa dimaklumi karena pasien tdak paham sama sekali mengenai pengobatan. Beberapa kali saya mendapati kenalan, teman, atau kerabat saya sering diberikan infus, obat dan diet yang salah. Ada jutaan obat dipakai oleh dokter dan tidak mungkin kita bisa menghafal manfaat, pengaruh dan efek sampingnya. Oleh karena itu, adalah tindakan yang cukup cerdik jika kita memakai fasilitas internet untuk mengetahui tentang obat-obatan yang diberikan kepada pasien. Sebagai contoh, saya ceritakan kasus yang terjadi pada Ibu saya sendiri 2 tahun yang lalu. Ibu menderita kanker payudara, hipertensi, dan asma. Usia beliau 48 tahun. Ketika dirawat di rumah sakit, beliau diberikan cairan infus, Sodium Chloride, yaitu garam murni yang sangat tidak cocok untuk hipertensi. Beliau juga diberikan obat antibiotik yang tidak cocok dengan kondisi beliau saat itu. Yang paling kacau adalah, untuk minum sehari-hari beliau diberikan sirup manis, bukannya air putih. Kondisi Ibu makin memburuk dan dokter memutuskan untuk menjalankan kemoterapi. Saya yang pada waktu itu masih di luar kota, langsung bergegas pergi untuk melihat keadaan beliau. Sungguh memprihatinkan, beliau saya temui dalam kondisi tidak bisa bergerak kemana-mana, selalu sesak nafas, sakit kepala, badan bengkak penuh cairan dan selalu diberikan oksigen. Saya cek perawatan yang diberikan oleh pihak rumah sakit dan saya dapati pihak rumah sakit telah memberikan perawatan yang salah. Saya melarang keluarga untuk melanjutkan saran-saran dari rumah sakit dan meminta mereka untuk sesegera mungkin memulangkan beliau. Keluarga pun menuruti saran saya dan Ibu bisa segera pulih dari semua kondisi tadi hanya dalam waktu seminggu.
• Cari Pendapat Kedua bahkan Ketiga
Setiap orang tentu memiliki pendapat yang berbeda, begitu juga dengan dokter. Mereka memiliki pengalaman, ilmu, dan terlebih lagi hati nurani yang berbeda. Semua perbedaan ini bisa jadi bahan pertimbangan yang baik bagi Anda. Jika perbedaan pendapat antara dokter yang satu dengan yang lain makin lebar, sadarlah berarti Anda tidak jauh dari kasus malpraktek. berarti Anda harus memilih salah satu dari saran mereka, atau tidak sama sekali.
• Jika Memungkinkan Cari Dokter yang Anda Kenal Baik Karakternya
Apakah Anda rela jika Anda atau keluarga Anda ditangani oleh dokter yang hanya peduli untuk mengejar setoran? Apa Anda juga rela jika Anda tahu dokter tersebut cuek dan tidak memperhatikan pasiennya dengan baik? Apa Anda suka mendapatkan dokter yang sangat jarang bertanya keluhan Anda, apa yang Anda rasakan dan paling parah, tidak mau menyentuh Anda karena rasa jijik? Yang menyentuh Anda justru hanya perawatnya saja. Jika Anda mendapat sikap atau perlakuan demikian, cepat-cepatlah “kabur” dan cari dokter atau rumah sakit lainnya. Ingat, kerugian atau penderitaan karena malpaktek bukan hanya rugi di waktu, uang dan energi dimasa sekarang saja, tapi lebih dari itu, Anda bisa kehilangan masa depan atau nyawa!
• Dapatkan Dokter dari Rekomendasi Orang Terpercaya
Ini adalah cara yang bijaksana. Tanyakan orang lain yang Anda kenal dan percaya, untuk mendapatkan referensi dokter yang baik bagi Anda. Ini akan mengurangi resiko malpraktek karena teman Anda sudah “mengalami” dokter yang dia rekomendasikan tersebut. Pelanggan yang tidak puas pasti tidak akan mengatakan sebaliknya tentang pelayanan yang buruk.
• Waspadai Politik Informasi Tertutup
Jika dokter dan perawat tidak pernah menjelaskan kepada Anda rencana pengobatan mereka, apa dan untuk apa pengobatan itu, dan juga tidak memperbolehkan Anda dan keluarga melihat hasil lab, Anda harus sesegera mungkin langsung cabut dari rumah sakit itu.
• “Knowledge is power and the truth will set us free.” Karena tidak tahu arah, seseorang bisa tersesat. Karena kurang pendidikan, seseorang dibodohi oleh yang lebih pintar. Dan karena tidak mengerti kesehatan dan sistem kesehatan konvensional, seseorang jadi korban malpraktek
2. Bagaimana cara dokter tersebut membela diri?
Untuk bisa dikatakan sebagai perbuatan melanggar hukum harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut :
1. Adanya suatu perbuatan
” Yang dimaksud dengan perbuatan ini, baik yang bersifat positif maupun bersifat negatif, artinya setiap tingkah laku berbuat atau tidak berbuat37 “. ” Suatu perbuatan melawan hukum diawali oleh suatu perbuatan dari si pelakunya. Umumnya diterima anggapan bahwa dengan perbuatan ini dimaksudkan, baik berbuat sesuatu( dalam arti aktif ) maupun tidak berbuat sesuatu ( dalam arti pasif ), misalnya tidak berbuat sesuatu, padahal dia mempunyai kewajiban hukum untuk membuatnya, kewajiban mana timbul dan hukum yang berlaku ( karena ada juga kewajiban yang timbul dari suatu kontrak ) karena itu, terhadap perbuatan melawan hukum, tidak ada unsur persetujuan atau kata sepakat ” dan tidak ada juga unsur ” causa yang diperbolehkan ” sebagaimana yang terdapat dalam kontrak. Dari pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu perbuatan itu bisa berupa berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.
2. Perbuatan tersebut melanggar hukum
Unsur melawan hukum ini diartikan seluas-luasnya, yakni meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. Perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku.
b.Yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum
c. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku
d. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan
e. Perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam bermasyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain
3. Adanya kesalahan dari pihak pelaku
Hal ini dapat dibedakan menjadi menjadi 3 aliran yaitu sebagai berikut:
a. Aliran yang menyatakan cukup hanya unsur melawan hukum saja. Aliran ini menyatakan bahwa dengan unsur melawan hukum terutama dalam arti yang luas, sudah inklusif unsur kesalahan didalamnya, sehingga tidak diperlukan lagi unsur kesalahan terhadap suatu perbuatan melawan hukum. Di negeri Belanda aliran ini dianut misalnya oleh Van Owen.
b. Aliran yang menyatakan cukup hanya unsur kesalahan saja. Sebaliknya, aliran ini menyatakan bahwa dengan unsur kesalahan, sudah mencakup juga unsur perbuatan melawan hukum didalamnya, sehingga tidak diperlukan lagi unsur ” melawan hukum , ” terhadap suatu perbuatan melawan hukum. Di negeri Belanda aliran ini dianut misalnya oleh Van Goudever.
c. Aliran yang menyatakan diperlukan, baik unsur melawan hukum maupun unsur kesalahan. Aliran ketiga ini mengajarkan bahwa suatu perbuatan melawan hukum mesti mensyaratkan unsur melawan hukum dan unsur kesalahan sekaligus, karena dalam unsur melawan hukum saja belum tentu mencakup unsur kesalahan. Di negeri Belanda aliran ini dianut misalnya oleh Meyers. Kesalahan yang disyaratkan oleh hukum dalam perbuatan melawan hukum, baik kesalahan dalam arti ” kesalahan hukum ” maupun ” kesalahan sosial “. Dalam hal ini hukum menafsirkan kesalahan sebagai suatu kegagalan seseorang untuk hidup dengan sikap yang ideal, yakni sikap yang biasa dan normal dalam suatu pergaulan masyarakat. Sikap yang demikian kemudian mengkristal dalam istilah hukum yang disebut
4. Adanya kerugian bagi korban
Mengenai hal tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut : ” Adanya kerugian (scade) bagi korban juga merupakan syarat agar gugatan berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata dapat dipergunakan. Berbeda dengan kerugian karena wanprestasi yang hanya mengenal kerugian materill, maka kerugian karena perbuatan melawan hukum disamping kerugian materiil, yurisprudensi juga mengakui konsep kerugian immateriil, yang juga dinilai dengan uang “ Dari pendapat tersebut jelas sekali bahwa perbuatan melawan hukum bisa mengakibatkan kerugian materiil dan immateriil yang dapat diajukan dalam gugatan oleh korban, biasanya kerugian immateriil ini akan lebih besar jumlahnya karena tidak dapat dinilai dengan harga barang.
5. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian
terjadi juga merupakan syarat dari suatu perbuatan melawan hukum. Untuk hubungan sebab akibat ada 2 (dua) macam teori, yaitu teori hubungan faklual dan teori penyebab kira-kira. Hubungan sebab akibat secara faktual (causation in fact) hanyalah merupakan “fakta ” atau apa yang secara faktual telah terjadi. Setiap penyebab yang menyebabkan timbulnya kerugian dapat merupakan penyebab secara faktual, asalkan kerugian (hasilnya) tidak akan pernah terdapat tanpa penyebabnya. Dalam hukum tentang perbuatan melawan hukum, sebab akibat jenis ini sering disebut dengan hukum mengenai ” but for ” atau ” sine qua non “. Von Buri adalah salah satu ahli hukum eropa yang mendukung pendapat ini. Selanjutnya, agar lebih praktis dan agar tercapainya elemen kepastian hukum dan hukum yang lebih adil, maka diciptakanlah konsep ” sebab kira-kira “(proximate cause). Proximate cause merupakan bagian yang paling membingungkan dan paling banyak pertentangan pendapat dalam hukum tentang perbuatan melawan hukum. Kadang-kadang, untuk penyebab jenis ini disebut juga dengan istilah legal cause atau dengan berbagai penyebutan lainnya

Unsur-unsur dalam perbuatan melanggar hukum
Bahwa didalam unsur kesalahan atau schuld harus memenuhi satu diantara tiga syarat penting yaitu :
1). Ada unsur kesengajaan
2). Ada unsur kelalaian ( negligence, culpa ), dan
3). Tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf (rechtvaardigingsrognd), seperti keadaan overmacht, membela diri, tidak waras dan lain-lain.
• criminal malpractice, maka dapat melakukan :
a. Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/ menyangkal bahwa tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya bidan mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko medik (risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap batin (men rea) sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan.
b. Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa.
• Didakwa telah melakukan ciminal malpractice, harus dibuktikan apakah perbuatan telah memenuhi unsur tidak pidanya yakni :
a. Apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan perbuatan yang tercela
b. Apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang salah (sengaja, ceroboh atau adanya kealpaan).
Selanjutnya apabila dituduh telah melakukan kealpaan sehingga mengakibatkan pasien meninggal dunia, menderita luka, maka yang harus dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau kurang hati-hati ataupun kurang praduga.
Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan dengan dua cara yakni :
1. Cara langsung
Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni :
a. Duty (kewajiban)
Dalam hubungan perjanjian dengan pasien, tenaga bidan haruslah bertindak berdasarkan
1) Adanya indikasi medis
2) Bertindak secara hati-hati dan teliti
3) Bekerja sesuai standar profesi
4) Sudah ada informed consent.
b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)
Jika melakukan tindakan menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka dapat dipersalahkan.
c. Direct Causation (penyebab langsung)
d. Damage (kerugian)
Dokter untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara penyebab (causal) dan kerugian (damage) yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela diantaranya, dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan tenaga bidan.
Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya kesalahan dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien).
2. Cara tidak langsung
Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan bidan (doktrin res ipsa loquitur).
Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria:
a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila tenaga dokter tidak lalai
b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab dokter
c. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada contributory negligence.

Share
       
bambangMEDICAL NEGLIGENCE
read more

Hubungan Dokter dan Pasien

No comments

Permulaan   sejarah   peradaban   umat   manusia,   sudah   dikenal   hubungan  kepercayaan antara dua insan yaitu sang pengobat dan penderita. Hubungan ini merupakan hubungan yang sangat pribadi karena didasarkan atas kepercayaan dari pasien terhadap dokter yang disebut dengan transaksi terapeutik2. Transaksi terapeutik adalah perjanjian antara dokter dan pasien berupa hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban antara kedua belah pihak. Sedangkan objek dari perjanjian ini adalah upaya atau terapi untuk menyembuhkan pasien.Bila salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya, maka pihak lain dapat menuntut atau menggugat pihak lainnya. 2,3,4,5  

Dalam hubungan terapeutik, berlaku asas-asas hubungan terapeutik yang mencakup, yaitu:4

  1. Asas konsensual

Berdasarkan azas ini maka masing-masing pihak harus menyatakan persetujuannya. Dengan kata lain, dokter atau rumah sakit juga harus menyatakan persetujuannya, baik secara eksplisit (misalnya secara lisan menyatakan sanggup) maupun secara emplisit (misalnya menerima pendaftaran, memberikan nomor urut, menjual karcis). Pernyataan kesanggupan itu tidak harus disampaikan sendiri oleh dokter tetapi dapat disampaikan oleh pegawainya.

  • Azas itikad baik

Itikad baik (utmost of good faith) merupakan azas yang paling utama dalam hubungan kontraktual, termasuk hubungan terapeutik. Tanpa disertai adanya itikad baik maka hubungan terapeutik juga tidak sah menurut hukum.

  • Azas bebas

Para pihak yang mengikatkan diri dalam hubungan kontraktual bebas menentukan apa saja yang menjadi hak dan kewajiban masing-masing, sepanjang hal ini menjadi kesepakatan semua pihak, termasuk bentuk perikatannya. Hanya saja perlu disadari dalam hubungan terapeutik adalah bahwa upaya medik itu penuh dengan uncertainty dan hasilnya tidak dapat diperhitungkan secara matematik. Oleh sebab itu perlu dipikirkan secara masak-masak sebelum memberikan garansi kepada pasien.

  • Azas tidak melanggar hukum

Meskipun para pihak bebas menentukan isi kesepakatan, namun tidak boleh melanggar hukum. Jika misalnya pasien meminta dokter melakukan aborsi tanpa indikasi medis dan dokter pun setuju, maka hal ini tidak boleh dianggap sebagai hubungan terapeutik. Kesepakatan seperti itu harus dipandang sebagai pemufakatan jahat yang justru dapat menyeret dokter serta pasien ke meja hijau. Karena bukan merupakan hubungan kontraktual makan dokter pun tidak dapat digugat mengganti kerugian yang terjadi atas dasar wanprestasi jika seandainya timbul kerugian pada pasien akibat kelalaian dokter ketika melakukan aborsi.

  • Azas kepatutan dan kebiasaan

Dalam hukum perdata dinyatakan bahwa para pihak yang telah mengadakan perikatan, selain harus tunduk pada apa yang telah disepakati, juga pada apa yang sudah menjadi kebiasaan dan kepatutan. Kebiasaan dan kepatutan yang berlaku di dunia kedokteran akan sedikit membedakan hubungan terapeutik dengan hubungan kontraktual lainnya, seperti misalnya dalam hal pemutusan hubungan secara sepihak oleh pihak pasien mengingat hubungan tersebut merupakan hubungan kepercayaan sehingga sudah sepatutnya jika pasien dapat memutuskan kapan saja jika kepercayaannya kepada dokter hilang.

Konsekuensi hukum yang timbul akibat disepakatinya hubungan terapeutik antara dokter dan pasien adalah timbulnya hak dan kewajiban pada masing-masing pihak. Hak dan kewajiban masing-masing adalah sebagai berikut:

  1. Hak pasien
  2. Hak primer

Hak memperoleh pelayanan medik yang benar dan layak, berdasarkan teori kedokteran yang telah teruji kebenarannya.

  • Hak sekunder
  • Hak memperoleh informasi medik tentang penyakitnya
  • Hak memperoleh informasi tentang tindakan medik yang akan dilakukan oleh dokter
  • Hak memutuskan hubungan kontraktual setiap saat (sesuai azas kepatutan dan kebiasaan)
  • Hak atas rahasia kedokteran
  • Hak atas surat keterangan dokter bagi kepentingan pasien yang bersifat non yustisial
  • Hak atas second opinion
  • Hak dokter
  • Hak untuk memperoleh imbalan yang layak
  • Hak untuk memperoleh informasi yang selengkap-lengkapnya dan sejujur-jujurnya demi kepentingan diagnosis.
  • Kewajiban pasien
  • Kewajiban memberi informasi yang sejujur-jujurnya dan selengkap-lengkapnya bagi kepentingan diagnosis dari terapi
  • Kewajiban mematuhi semua nasihat dokter
  • Kewajiban memberikan imbalan yang layak
  • Kewajiban dokter
  • Kewajiban primer

Memberikan pelayanan medik yang benar dan layak, berdasarkan teori kedokteran yang telah teruji kebenarannya.

  • Kewajiban sekunder
  • Memberikan informasi medik tentang penyakit pasien
  • Memberikan informasi tentang tindakan medik yang akan dilakukan
  • Memberikan kesempatan kepada pasien untuk memutuskan apakah ia akan menerima atau menolak tindakan medik yang akan dilakukan oleh dokter
  • Memberikan kepada pasien untuk mendapatkan second opinion
  • Menyimpan rahasia kedokteran
  • Memberikan surat keterangan dokter

Pada   awalnya   hubungan   hukum   antara   dokter   dan   pasiennya   ini   bersifat hubungan vertikal atau hubungan paternalistik, dimana dokter dianggap paling superior (father know best). Dalam hubungan ini kedudukan dokter dengan pasien tidak sederajat yaitu kedudukan dokter lebih tinggi daripada pasien karena dokter dianggap mengetahui tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan penyakit dan penyembuhannya. Sedangkan pasien tidak tahu apa-apa tentang hal itu sehingga pasien menyerahkan nasibnya sepenuhnya di tangan dokter.3

Hubungan hukum timbul bila pasien menghubungi dokter karena ia merasa ada sesuatu yang dirasakannya membahayakan kesehatannya. Keadaan psikobiologisnya memberikan peringatan bahwa ia merasa sakit, dan dalam hal ini dokterlah yang dianggapnya mampu menolongnya, dan memberikan bantuan pertolongan. Jadi, kedudukan dokter dianggap lebih tinggi oleh pasien, dan peranannya lebih penting daripada pasien.3

Sebaliknya, dokter berdasarkan prinsip “father knows best” dalam hubungan paternatistik ini akan mengupayakan untuk bertindak sebagai ‘bapak yang baik’, yang secara cermat, hati-hati untuk menyembuhkan pasien. Dalam mengupayakan kesembuhan pasien ini, dokter dibekali oleh Lafal Sumpah dan Kode Etik Kedokteran Indonesia.3

Pola hubungan vertikal yang melahirkan sifat paternalistik dokter terhadap pasien ini mengandung baik dampak positif maupun dampak negatif. Dampak positif pola vertikal yang melahirkan konsep hubungan paternalistik ini sangat membantu pasien, dalam hal pasien awam terhadap penyakitnya. Sebaliknya dapat juga timbul dampak negatif, apabila tindakan dokter yang berupa langkah-langkah dalam mengupayakan penyembuhan pasien itu merupakan tindakan-tindakan dokter yang membatasi otonomi pasien, yang dalam sejarah perkembangan budaya dan hak-hak dasar manusia telah ada sejak lahirnya. Pola hubungan yang vertikal paternalistik ini bergeser pada pola horizontal kontraktual.3

            Hubungan ini melahirkan aspek hukum horisontal kontraktual yang bersifat “inspanningsverbintenis” yang merupakan hubungan hukum antara 2 (dua) subyek hukum (pasien dan dokter) yang berkedudukan sederajat melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang bersangkutan. Hubungan hukum ini tidak menjanjikan sesuatu (kesembuhan atau kematian), karena obyek dari hubungan hukum itu berupa upaya dokter berdasarkan ilmu pengetahuan dan pengalamannya (menangani penyakit) untuk menyembuhkan pasien.3 

Suatu tindakan medik yang dilakukan dapat mendatangkan dua akibat :13

  1. Akibat positif, dimana tindakan yang dilakukan berhasil mencapai tujuan yang diharapkan dan pasien pulang dalam keadaan sembuh.
  2. Akibat negative, yang sama sekali tidak diharapkan ataupun tidak terduga terjadinya.

Secara umum, akibat negative dari tindakan medis dapat timbul karena dua hal :

  1. Karena kelalaian/kesalahan dokter

Akibat yang disebabkan oleh kelalaian/kesalahan dokter dapat diperinci sebagai berikut :

  1. Karena suatu tindakan sengaja yang dilarang oleh undang-undang. Perbuatan ini menurut hukum termasuk pada golongan dolus karena ada kesengajaan terhadap perbuatan itu (delicta commissionis). Contohnya adalah melakukan tindakan abortus tanpa indikasi medik ataupun mengeluarkan surat keterangan sakit yang tidak benar.
  2. Karena kelalaian. Perbuatan ini disebut sebagai delicta ommissionis atau melanggar suatu peraturan pidana karena tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan sehingga menimbulkan kerugian bagi pasien. Kelompok ini paling banyak terjadi. 
  3. Bukan kesalahan dokter

Peristiwa atau akibat merugikan pasien yang terjadi bisa dikarenakan sebab-sebab lain. Jenis penyakit, beratnya penyakit, ada tidaknya komplikasi, usia pasien dan daya tahan tubuh pun berbeda-beda. Demikian pula tingkat kecerdasan pasien untuk segera pergi memeriksakan diri ke dokter jika dirasakan sesuatu.

Adapun penyebabnya misalnya bisa terjadi karena :

  1. Tingkat penyakit yang sudah berat (terlambat dibawa ke dokter atau rumah sakit). Hal ini bisa terjadi, karena masyarakat serng menunda-nunda pemeriksaan. Bisa karena rasa takut atau bisa juga jarena alasan lain, misalnya factor keuangan.
  2. Reaksi yang berlebihan dari tubuh pasien itu sendiri yang tidak dapat diperhitungkan sebelumnya. Misalnya timbulnya syok anafilaktik pada waktu diberikan suntikan anaestesi. Jika timbul dan sudah diberikan antinya tetapi tidak berhasil, dokter tida dapat dipersalahkan karena tidak ada unsur kelalaian. Akibatnya timbul karena pasien hipersensitif terhadap obat suntikan tersebut.
  3. Ketidakterusterangan pasien atau kurang menceritakan seluruhnya apa yang dirasakan olehnya, sehingga diagnosis dan terapi yang diberikan meleset.
  4. Pasien tidak menuruti apa yang dinasehati oleh dokter sehingga bisa menimbulkan akibat yang buruk dan fatal (contributory negligence). Misalnya dilarang meminum obat-obat ramuan yang keras berbarengan dengan obat yang diberika dokter.

Dalam melakukan profesi medik, seorang dokter harus memenuhi dua tanggung jawab utama yaitu :12

  1. Informed Consent atau Persetujuan/Izin Tindakan Medik (Pertindik)
  2. Standar Profesi Medik (SPM)

Menurut Leenen, SPM dan informed consent merupakan dua hal pokok yang dapat menghilangkan suatu sifat bertentangan dengan hukum terhadap suatu tindakan ataupun perbuatan medik. Pelanggaran kedua hal tersebut dapat berujung tuntutan hukum, baik pidana maupun perdata.

Sebagai contoh, apabila A melukai B maka tergolong sebagai penganiayaan merut pasal 351 KUHP, demikian pula apabila dokter A melukai B, hal tersebut tetap tergolong penganiayaan. Hal ini tidak berlaku lagi apabila :

  1. Orang yang dilukai memberikan persetujuan
  2. Tindakan tersebut berdasrkan indikasi medik tertentu dan ditujukan untuk sasaran atau tujuan tertentu
  3. Tindakan tersebut dilakukan menurut kaidah ilmu kedokteran.

Dengan pemenuhan ketiga unsur tersebut maka tindakan penganiayaan pada pasal 351 KUHP tadi dapat “dinetralkan” dan tindakan medik (diagnostic maupun terapeutik) tidak dikategorikan sebagai penganiayaan.

Dalam dunia kedokteran, dikenal istilah lege artis, yang pada hakikatnya mengacu pada tidakan sesuai SPM termasuk dalam aspek hukumnya. Menurut Leenen, SPM minimal meliputi :

  1. Bekerja secara teliti, cermat dan hati-hati
  2. Sesuai ukuran medis
  3. Sesuai kemampuan rata-rata dibanding dokter dari kategori keahlian medis yang sama
  4. Dalam situasi yang sebanding
  5. Dengan sarana dan upaya yang memenuhi perbandingan wajar dibanding dengan tujuan konkret tindak medik tersebut.
  1. Aspek Hukum Hubungan Dokter dan Pasien

Dokter dan pasien merupakan 2 subjek hukum yang keduanya membentuk  hubungan medis dan hubungan hukum. Pelaksanaan keduanya diatur dalam peraturan tertentu agar terjadi keharmonisan dalam pelaksanaannya.6

Hubungan hukum antara dokter dan pasien ada 2 macam, yaitu:6

  1. Hubungan karena kontrak (transaksi terapeutik)
  2. Hubungan karena Undang-Undang

Pada  dasarnya  hubungan  hukum  antara  dokter  dan  pasien  ini  bertumpu  pada  dua macam hak asasi manusia yang dijamin dalam dokumen maupun konvensi internasional. Kedua macam hak tersebut adalah hak untuk menentukan nasib sendiri (the right to self determination)  dan  hak  atas  informasi  (the  right  to  information).  Kedua  hak  dasar tersebut  bertolak  dari  hak  atas   keperawatan  kesehatan  (the  right  to  health  care)  yang merupakan  hak  asasi  individu  (individual  human  rights).  Dokumen  internasional  yang menjamin  kedua  hak  tersebut  adalah  The  Universal  Declaration  of  Human  Right  tahun 1948, dan The United Nations International Covenant on Civil and Political right tahun 1966.2

  Selain itu, dengan adanya Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 756/MENKES/SK/VI/2004 tentang Persiapan Liberalisasi Perdagangan dan Jasa di Bidang Kesehatan, berarti UU No. 8 / 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga dapat diberlakukan pada bidang kesehatan.6

UU No. 8 / 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) mempunyai 2 sasaran pokok, yaitu :6

  1. Memberdayakan konsumen dalam hubungannya dengan pelaku usaha (publik atau privat) barang dan atau jasa;
  2. Mengembangkan sikap pelaku usaha yang jujur dan bertanggung jawab

Untuk mengetahui apakah pasien dapat disebut sebagai konsumen dan pemberi pelayanan kesehatan (dokter) sebagai pelaku usaha, kita harus mengetahui pengertian konsumen dan pelaku usaha berdasarkan UUPK. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Adapun pengertian konsumen di sini yaitu konsumen akhir, sedangkan produk berupa barang, mis : obat-obatan, suplemen makanan, alat kesehatan, dan produk berupa jasa, mis.: jasa pelayanan kesehatan yang diberikan oleh dokter, dokter gigi, jasa asuransi kesehatan.6

Untuk mengetahui, apakah profesi pemberi pelayanan kesehatan (dokter) merupakan pelaku usaha atau bukan maka kita harus melihat UU No. 2 /1992 tentang Kesehatan, Black Law Dictionary, dan WTO / GATS bidang kesehatan. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau ketrampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya Kesehatan. Sedangkan dalam Black Law Dictionary dinyatakan : Business (kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi) meliputi: employment, occupation, profession, atau commercial activity engaged in / or gain or livelihood (segala kegiatan untuk mendapatkan keuntungan / mata pencaharian). Selain itu, posisi bidang kesehatan menurut WTO / GATS menyatakan antara lain bahwa profesi dokter dan dokter gigi saat ini termasuk dalam sector jasa bisnis, seperti tampak berikut :6

SEKTOR KESEHATAN :

  • hospital services
  • other human health services
  • social services
  • other

Sektor jasa bisnis :

  • Profesional services:
  • Medical and dental services
  • Physiotherapis
  • nurse and midwife

Dengan berlakunya UUPK diharapkan posisi konsumen sejajar dengan pelaku usaha, dengan demikian anggapan bahwa konsumen merupakan raja tidak berlaku lagi mengingat antara konsumen dan pelaku usaha tidak hanya mempunyai hak namun juga kewajiban, sebagai berikut:6

  1. Hak konsumen kesehatan
  2. Berdasarkan UU No.8 / 1999 tentang Perlindungan Konsumen
    1. Kenyamanan, keamanan, dan keselamatan
    1. Memilih informasi yang benar, jelas, dan jujur
    1. Didengar pendapat dan keluhannya
    1. Mendapatkan advokasi, pendidikan & perlindungan konsumen
    1. Dilayani secara benar, jujur, tidak diskriminatif
    1. Memperoleh kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian
  • Berdasarkan UU No.23/1992 tentang Kesehatan
    • Informasi
    • Memberikan persetujuan
    • Rahasia kedokteran
    • Pendapat kedua (second opinion)
  • Kewajiban konsumen
  • Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur
  • Beritikad baik
  • Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati
  • Mengikuti upaya penyelesaian hukun sengketa perlindungan konsumen secara patut.
  • Hak dan Kewajiban Tenaga Kesehatan Berdasarkan UU NO. 23/1992 tentang kesehatan
  • Hak:

Memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya

  • Kewajiban

Mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien

  • Malpraktek MedisDefinisi Malpraktek

Malpraktek berasal dari kata “mal” yang artinya salah dan “praktek” yang artinya tindakan. Jadi secara harfiah malpraktek berarti tindakan yang salah. Dengan langsung digunakan ungkapan ‘malpraktek (medis)’ oleh pengacara, LSM, dan pers pada setiap kasus klinik dengan hasil yang tidak sesuai harapan, opini publik serta secara apriori diarahkan, bahwa penyebab kasus tertentu adalah kesalahan dokter dan dokter serta rumah sakit harus dituntut.8

Malpraktek sebenarnya adalah istilah umum yang tidak hanya ditujukan untuk dunia medis. Dewasa ini belum ada keseragaman mengenai istilah “malpractice”. Didalam bahasa Inggris malpraktek disebut malpractice yang berarti wrong doing atau neglect of duty. Sedangkan dalam bahasa Belanda malpraktek dikenal dengan istilah Kunstfout, yang berarti tindakan medis yang dilakukan tidak dengan sengaja akan tetapi ada unsur lalai yang tidak patut dilakukan oleh seorang ahli dalam dunia medis yang mengakibatkan sesuatu yang fatal. 8

Di Indonesia berbagai pihak ada yang menggunakan istilah malapraktek, malpraktek, malapraktik, malpraktik, marapraktek, perkara tindak pidana, dan sebagainya. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua terbitan Balai Pustaka, dirumuskan bahwa malapraktek adalah praktek kedokteran yang dilakukan salah atau tidak tepat, menyalahi Undang-Undang atau Kode Etik.8

Menurut Presiden World Medical Association (WMA) periode 2006-2007, Dr. Nachiappan Arumugam, MBBS, FAMM, FRCP, malpraktik medis merupakan kelalaian yang dilakukan oleh petugas kesehatan, termasuk dokter, perawat serta mahasiswa kedokteran.7

Istilah malpraktek juga terdapat pada Kamus Kata-Kata Serapan Asing Dalam Bahasa Indonesia Oleh J. S. Badudu yang diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas, dimana didalamnya dirumuskan bahwa malpraktek, ialah praktek dokter yang salah dan menyalahi undang-undang serta kode etik kedokteran. 8

Malpraktek medis adalah isu medico-legal, tentang kerugian atau cidera yang dialami pasien dan disebabkan oleh atau terkait dengan sistem pelayanan kesehatan ditempat ia mendapat asuhan klinis. Malpraktek juga dapat dikatakan suatu tindakan dokter yang tidak sesuai dengan standard perawatan, kurang mampu atau kurang terampil, kelalaian, sehingga secara langsung menimbulkan kerugian.8

Black’s Law Dictionary, memberikan perumusan sebagai berikut:8

“Any professional misconduct, unreasonable lack of skill. This term is usually applied to such conduct by doctors, lawyers, and accountants. Failure of one rendering professional services to exercise that degree of skill and learning commonly applied under all circumstances in the community by the average prudent reputable member of the profession with the result of injury, loss or damage to the recipient of those services or to those entitled to rely upon them. It is any professional misconduct, unreasonable lack of skill or fidelity in professional or fiduciary duties, evil practise, or illegal or immoral conduct.”

“Malpraktek adalah setiap sikap-tindak yang salah, kekurangan keterampilan dalam ukuran tingkat yang tidak wajar. Istilah ini umumnya dipergunakan terhadap sikap-tindak dari para dokter, pengacara dan akuntan. Kegagalan untuk memberikan pelayanan profesional dan melakukan pada ukuran tingkat ketrampilan dan kepandaian yang wajar di dalam masyarakatnya oleh teman sejawat rata-rata dari profesi itu, sehingga mengakibatkan luka, kehilangan atau kerugian pada penerima pelayanan tersebut yang cenderung menaruh kepercayaan kepada mereka itu. Termasuk didalamnya setiap sikap tindak profesional yang salah, kekurangan keterampilan yang tidak wajar atau kurang kehati-hatian atau kewajiban hukum, praktek buruk, atau ilegal atau sikap imoral.”

Dari segi hukum, di dalam definisi di atas dapat ditarik pemahaman bahwa malpraktik dapat terjadi karena suatu tindakan yang disengaja (intentional) seperti pada misconduct tertentu, tindakan kelalaian (negligence), ataupun suatu kekurang-mahiran atau ketidak kompetenan yang tidak beralasan. 8

Dalam tata hukum Indonesia tidak dikenal istilah malpraktik, pada Undang-Undang Kesehatan yang lama No. 23 tahun 1992 yang telah dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 disebut sebagai kesalahan atau kelalaian dokter sedangkan dalam Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang praktek kedokteran dikatakan sebagai pelanggaran disiplin dokter.9

Stedman’s Medical Dictionary memberikan perumusan sebagai berikut:8

“Malpractice is mistreatment of a disease or injury through ignorance, carelessness of criminal intent.”

“Malpraktek adalah salah cara mengobati suatu penyakit atau luka, karena disebabkan sikap-tindak yang acuh, sembarangan atau berdasarkan motivasi kriminal.”

Coughlin’s Dictionary of Law:8

“Professional misconduct on the part of a professional person, such as physician, engineer, lawyer, accountant, dentist, veterinarian.Malpractice may be the result of ignorance, neglect, or lack of skill or fidelity in the performance of professional duties; intentional wrongdoing; or unethical practice.”

“Malpraktek adalah sikap-tindak profesioanal yang salah dari seorang yang berprofesi, seperti dokter, ahli hukum, akuntan, dokter gigi, dokter hewan. Malpraktek bisa diakibatkan karena sikap-tindak yang bersifat tak pedulian, kelalaian. Atau kekurangan ketrampilan atau kehati-hatian didalam pelaksanaan kewajiban profesionalnya; tindakan yang salah yang sengaja atau praktek yang bersifat tidak etis.”

The Oxford Illustrated Dictionary, 2nd edition, 1975:

“Malpractice = wrongdoing; (law) improper treatment of patient by medical attendant; illegal action for one’s own benefit while in position of trust.”8

“Malpraktek = sikap-tindak yang salah; (hukum) pemberian pelayanan terhadap pasien yang tidak benar oleh profesi medis; tindakan yang ilegal untuk memperoleh keuntungan sendiri sewaktu dalam posisi kepercayaan.”8

Malpraktek menurut Ninik Mariyanti, SH, Definisi malpraktek mempunyai arti yang luas, yang dapat diuraikan sebagai berikut :8

  1. Dalam arti umum, malpraktek merupakan suatu praktek (khususnya praktek dokter) yang buruk dan tidak memenuhi standar yang telah  dilakukan oleh profesi.
  2. Dalam arti khusus, dilihat dari pasien malapraktek dapat terjadi dalam:
  3. Menentukan diagnosis, misalnya diagnosisnya sakit maag tapi ternyata pasien sakit lever.
  4. Menjalankan operasi, misalnya: seharusnya yang dioperasi mata sebelah kanan tetapi yang dilakukan pada mata kiri.
  5. Selama menjalankan perawatan.
  6. Sesudah perawatan, tentu saja dalam batas waktu yang telah ditentukan.

Malpraktek menurut Dr. Kartono Mohammad merupakan “kelalaian tindakan dokter yang berakibat kerusakan fisik, mental, atau finansial pada pasien”. 8

Selain definisi-definisi dari para pakar diatas, DR. Veronica Komalawati,SH.MH juga memberikan pengertian mengenai malpraktek yang berasal dari “malpractice” yang pada hakekatnya adalah kesalahan dalam menjalankan profesi yang timbul sebagai akibat adanya kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan dokter. Beliau juga memberikan pengertian bahwa medical malpractice atau kesalahan profesional dokter adalah kesalahan dalam menjalankan profesi medis yang tidak sesuai dengan standar profesi medis dalam menjalankan profesinya. 8

Menurut Antonius P.S. Wibowo, SH Medical Malpractice diartikan sebagai kesalahan dalam melaksanakan profesi medis berdasarkan standar profesi medis. Dengan banyaknya kasus malpraktek yang terjadi, barangkali menandakan bahwa aparat kesehatan masih kurang profesional. Atau merupakan bukti bahwa pelayanan kesehatan masih belum memadai. 8

  • Jenis-jenis Malpraktek Medis

Malpraktek dapat dibedakan menjadi dua bentuk yaitu, malpraktek etika dan malpraktek yuridis, ditinjau dari segi etika profesi dan segi hukum :8

  1. Malpraktek Etik

Yang dimaksud dengan malpraktek etik adalah dokter melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika kedokteran. Sedangkan Etika Kedokteran yang dituangkan di dalam KODEKI merupakan seperangkat standar etis, prinsip, aturan atau norma yang berlaku untuk dokter. Malpraktek ini merupakan dampak negatif dari kemajuan teknologi, yang bertujuan memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi pasien, dan membantu dokter untuk mempermudah menentukan diagnosa dengan cepat, lebih tepat, dan lebih akurat sehingga rehabilitasi pasien bisa lebih cepat, ternyata memberikan efek samping yang tidak diinginkan. Contoh konkritnya adalah di bidang diagnostik, misalnya pemeriksaan laboratorium yang dilakukan terhadap pasien kadangkala tidak diperlukan bilamana dokter mau memeriksa secara lebih teliti. Namun karena laboratorium memberikan janji untuk memberikan “hadiah” kepada dokter yang mengirimkan pasiennya, maka dokter kadang-kadang bisa tergoda juga mendapatkan hadiah tersebut. Dan di bidang terapi, seperti kita ketahui berbagai perusahaan yang menawarkan antibiotika kepada dokter dengan janji kemudahan yang akan diperoleh dokter bila mau mengunakan obat tersebut, kadang-kadang juga bisa mempengaruhi pertimbangan dokter dalam memberikan terapi kepada pasien.

Albert R. Jonsen dkk, menganjurkan empat hal yang harus selalu digunakan sebagai pedoman bagi para dokter untuk mengambil keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan secara etis dan moral, yakni menentukan indikasi medisnya, mengetahui apa yang menjadi pilihan pasien untuk dihormati, mempertimbangkan dampak tindakan yang akan dilakukan terhadap mutu kehidupan pasien. Yang terakhir adalah, mempertimbangkan hal-hal kontekstual yang terkait dengan situasi kondisi pasien, misalnya, aspek sosial, ekonomi, hukum, budaya, dan sebagainya.

  • Malpraktek Yuridik

Dalam malpraktek yuridik ini Soedjatmiko membedakannya menjadi tiga bentuk, yaitu :8

  1. Malpraktek Perdata (Civil Malpractice)

Malpraktek perdata terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak terpenuhinya isi perjanjian di dalam transaksi terapeutik oleh dokter atau tenaga kesehatan lain, atau terjadinya perbuatan melanggar hukum sehingga menimbulkan kerugian kepada pasien.

Pada civil malpractice, tanggung gugat bersifat individual atau korporasi. Selain itu dapat dialihkan kepada pihak lain berdasarkan principle of vicarious liability. Dengan prinsip ini, maka rumah sakit dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan dokternya, asalkan dapat dibuktikan bahwa tindakan dokter dalam rangka melaksanakan kewajiban rumah sakit.10

Dasar hukum civil malpractice adalah transaksi dokter dengan pasien, yaitu hubungan hukum dokter dan pasien, dimana dokter bersedia memberikan pelayanan medis kepada pasien dan pasien bersedia membayar honor kepada dokter tersebut. Pasien yang merasa dirugikan berhak menggugat ganti rugi kepada dokter yang tidak melaksanakan kewajiban kontraknya dengan melaksanakan kesalahan professional.8

Untuk perbuatan atau tindakan yang melawan hukum haruslah memenuhi beberapa syarat, seperti harus adanya suatu perbuatan (baik berbuat maupun tidak berbuat), perbuatan tersebut melanggar hukum (baik tertulis atau tidak tertulis), adanya suatu kerugian, ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melanggar hukum dengan kerugian yang diderita. Sedangkan untuk dapat menuntut penggantian kerugian karena kelalaian dokter, maka pasien harus dapat membuktikan adanya 4 (empat) unsur, yaitu:

  1. Dengan adanya suatu kewajiban dokter terhadap pasien
  2. Dokter telah melanggar standard pelayanan medik yang lazim dipergunakan
  3. Pengugat (pasien) telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya
  4. Secara faktual kerugian itu disebabkan oleh tindakan dibawah standard

Namun adakalanya seorang pasien (penggugat) tidak perlu membuktikan adanya kelalaian dokter (tergugat). Dalam hukum ada kaidah yang berbunyi “Res ipsa loquitor” yang artinya fakta telah berbicara. Misalnya karena kelalaian dokter, terdapat kain kasa yang tertinggal dalam perut sang pasien. Akibat tertinggalnya kain kasa di perut pasien tersebut, timbul komplikasi paska bedah, sehingga pasien harus dilakukan operasi kembali. Dalam hal demikian dokterlah yang harus membuktikan tidak ada kelalaian pada dirinya.

  • Malpraktek Pidana (Criminal Malpractice)

Malpraktek pidana terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami cacat akibat dokter atau tenaga kesehatan lainnya kurang hati-hati atau kurang cermat dalam melakukan upaya penyembuhan terhadap pasien yang meninggal dunia atau cacat tersebut. 8

  • Malpraktek pidana karena kesengajaan, misalnya, pada kasus-kasus melakukan aborsi tanpa indikasi medis (pasal 299 KUHP), euthanasia (pasal 344 KUHP), membocorkan rahasia kedokteran (pasal 332 KUHP), tidak melakukan pertolongan pada kasus gawat padahal diketahui tidak ada orang lain yang bisa menolong, serta memberikan surat keterangan dokter yang tidak benar (pasal 263 KUHP).8,9
  • Malpraktek pidana karena kecerobohan, misalnya melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan standard profesi serta melakukan tindakan tanpa disertai persetujuan tindakan medis.8
  • Malpraktek pidana karena kealpaan, misalnya, terjadi cacat atau kematian terhadap pasien sebagai akibat tidakan dokter yang kurang hati-hati atau alpa dengan tertinggalnya alat operasi didalam rongga tubuh pasien.8
  • Malpraktek Administratif (Administrative Malpractice)

Malpraktek administratif terjadi apabila dokter atau tenaga kesehatan lain melakukan pelanggaran terhadap hukum administrasi negara yang berlaku, misalnya menjalankan praktek dokter tanpa izin praktek, melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan izinnya, menjalankan praktek dengan izin yang sudah kadaluarsa, dan menjalankan praktek tanpa membuat catatan medik.8

  • Kelalaian Medik

Kelalaian medik, atau yang biasa dikenal dengan istilah medical negligence, merupakan suatu istilah yang sering digunakan dalam menunjukkan kegagalan melakukan pelayanan yang adekuat oleh dokter, rumah sakit ataupun penyedia layanan kesehatan lainnya. Istilah ini sering disalahartikan dengan malpraktik medik.11

Menurut Black’s Law Dictionary, kelalaian didefenisikan sebagai berikut :

Negligence is the omission to do something which the reasonable man, guided by those ordinary consideration which ordinarily regulated human affair, would do or the doing of something which a reasonable and prudent man would not do. Negligence is a failure to use such care as a reasonably prudent and careful person would use under the similar circumstances; it is the doing of some act which a person of ordinary prudence would not have done under the similar circumstances or failure to do what a person of ordinary prudence would have done under the similar circumstances.”12

Selain itu kelalaian juga didefenisikan sebagai “Negligence is the lack of ordinary care. It is a failure to do what a reasonable careful and prudent person would done on the occasion in question (Yurisprudensi Keputusan Pengadilan Boston Tahun 1979)”.12

Secara umum, seseorang dikatakan sudah berbuat kelalaian apabila ia melakukan suatu tindakan yang seharusnya tidak dilakukan, atau sebaliknya, tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan menurut ukuran seseorang yang biasa, wajar dan hati-hati (reasonable man). Yang dimaksud dengan reasonable man  adalah seorang yang wajar, yang biasa dan bertindak secara hati-hati dengan ukuran layak. Bukan seorang yang terpandai atau yang paling hati-hati.13

Pendefinisian “orang wajar”  masih harus melihat berbagai factor seperti usia, jenis kelamin, kondisi fisik, pendidikan, pengetahuan, keterampilan dan kapasitas mental. Factor lain yang sangat menenukan adalah kondisi pasien, tingkat penyakitnya, usia, komplikasi serta berbagai factor lain yang dapat mempengaruhi dokter dalam membuat keputusan. Walaupun tolak ukur ini masih bersifat umum dan harus ditafsirkan lagi, tapi setidak-tidaknya sudah ada sesuatu yang dapat dipakai sebagai pedoman. Tanpa adanya pedoman ini maka penilaian salah dan benarnya akan sangat tergantung pada pendapat subjektif setiap hakim secara pribadi.13

Di dalam arti kelalaian sudah tersirat suatu sifat sembrono atau sembarangan (heedlessness or carelessness) yang merupakan tindakan yang menyimpang dari tolak ukur yang secara umum biasanya dapat diharapkan dilakukan terhadap setiap anggota masyarakat. Anggota masyarakat yang wajar dalam melakukan suatu tindakan akan selalu menjaga agar jangan sampai mencelakakan sesama manusia.13

Dalam dunia kedokteran, kelalaian medis digolongkan sebagai Professional Negligence. Medical Injury Compensation Reform Act merumuskan “professional negligence is a negligence act or omission to act by a healthcare provider in the rendering of professional services, which is the proximate cause of personal injury or wrongful death, provided that the service are within the scope of service for which the provider is licensed and which are not within any restriction imposed by the licensing agency or licensed hospital”.14

Kelalaian juga bisa terjadi walaupun seorang dokter sudah memperhitungkan akibat dari tindakannya dan juga telah mempertimbangkan sebaik-baiknya, namun ia lalai atau tidak  menyiapkan upaya pencegahan terhadap suatu risiko yang bisa menimbulkan bahaya terhadap pasiennya.13

Di Indonesia, hukum kedokteran belum dapat dirumuskan secara mandiri sampai saat ini, sehingga defenisi tentang kelalaian dan malpraktik belum dapat dirumuskan pula. Rumusan yang digunakan oleh negara lain dapat menjadi acuan. Hal ini menyebabkan sering kacaunya batasan antara kelalaian dan malpraktik, yang sebenarnya berbeda. Bahasa Inggris lebih kaya dalam peristilahan tentang berbagai macam kelalaian.12,13

Bentuk-bentuk kelalaian di dalam bahasa Inggris adalah :13

  1. Malfeasance

Apabila seseorang melakukan suatu tindakan yang bertentangan dengan hukum atau melakukan perbuatan yang tidak patut (execution of an unlawful or improper act).

  • Misfeasance

Pelaksanaan suatu tindakan tidak secara benar (the improper performance of an act).

  • Nonfeasance

Tidak melakukan suatu tindakan yang sebenarnya ada kewajiban untuk melakukan (the failure to act when there is a duty to act)

  • Malpractice

Kelalaian atau tidak berhati-hati dari seorang yang memegang suatu profesi, seperti misalnya dokter, perawat, bidan, akuntan, dan profess lainnya sebagainya dalam menjalankan kewajibannya (negligence or carelessness of professional person, such as nurse, pharmacist, physician, accountant, etc).

  • Maltreatment

Cara penanganan sembarangan, misalnya suatu operasi yang dilakukan tidak secera benar atau terampil (improper or unskillful treatement). Hal ini bisa disebabkan karena ketidaktahuan, kelalaian, atau secara acuh (ignorance, neglect, or willfulness).

  • Criminal negligence

Sifat acuh, dengan sengaja atau sikap yang tidak peduli terhadap keselamatan orang lain, walaupun ia mengetahui bahwa tindakannya itu bisa mengakibatkan cedera/merugikan kepada orang lain (reckless disregard for the safety of another. It is the willful indifference to an injury which could follow an act).

Secara jelas dikatakan bahwa, malpraktik memiliki pengertian yang lebih luas daripada kelalaian, karena malpraktik mencakup pula tindakan yang sengaja (intentional, dolus) dan melanggar undang-undang yang akibat dari tindakan itu memang merupakan tujuan. Sedangkan kelalaian lebih berintikan ketidaksengajaan (culpa), kurang hati-hati, tidak peduli dan akibat yang timbul sebenarnya bukan merupakan tujuan dari tindakan tersebut.12

Oleh hukum kelalaian hanya dibedakan 2 (dua) ukuran tingkat yaitu :13

  1. Yang bersifat ringan, biasa (slight, simple, ordinary) – (Culpa levis), yaitu apabila seorang tidak melakukan apa yang seorang biasa, wajar dan berhati-hati akan melakukan, atau justru melakukan apa yang orang lain wajar tidak akan melakukan didalam situasi yang meliputi keadaan tersebut.
  2. Yang bersifat kasar, berat (gross, serious) – (Culpa lata), yaitu apabila seorang dengan sadar dan dengan sengaja tidak melakukan atau melakukan sesuatu yang sepatutnya tidak dilakukannya (the intentional or wanton omission of care which wold be proper to prived or the doing of that which would be improper to do).

Penilaian atas kelalaian sangat penting untuk dilakukan, karena merupakan salah satu unsur utama dari malpraktek. Seorang penulis merumuskan bahwa ukuran untuk seorang dokter yaitu “… that he should show a fair, reasonable and competent degree of skill”. Jika norma ini tidak dapat dicapai maka pada dasarnya dokter harus bertanggung jawab terhadap kerugian yang timbul akibat tindakannya (the carrying out of treatment can be contra legem artis, if it done without a proper and reasonable standard of skill, care and competence of the medical profession).12

      Pernyataandi atasmenunjukkan bahwa tindakan sesuai standar pelayanan medik (SPM) sangatlah penting bagi dokter dalam menjalankan profesinya. Dalam sebuah studi kepustakaan Anglo-Saxon dikatakan bahwa seorang dokter baru dapat dipersalahkan dan digugat menurut hukum atas suatu kelalaian apabila memenuhi 4 (empat) unsur yang dikenal dengan nama Formula 4-D, yaitu :12,13

  1. Duty to use due care

Tidak ada kelalaian jika tidak ada kewajiban untuk mengobati. Hal ini berarti harus ada hubungan hukum antara pasien dan dokter/rumah sakit. Dengan adanya hubungan hukum, maka implikasinya adalah bahwa sikap tindak dokter/perawat rumah sakit itu harus sesuai dengan standard pelayanan medik agar penderita jangan sampai menderita cedera karenanya. Adagium “Primum non nocere” terutama harus ditaati. Hubungan pasien dokter/perawat rumah sakit itu sudah harus ada pada saat peristiwa itu terjadi. Timbulnya hubungan ini bahkan juga dapat terjadi dari suatu pembicaraan per telpon.13

  • Dereliction (breach of duty)

Apabila sudah ada kewajiban (duty), maka sang dokter/perawat rumah sakit harus bertindak sesuai dengan standard profesi yang berlaku. Jika terdapat penyimpangan dari standard tersebut, maka ia dapat dipersalahkan. Bukti adanya suatu penyimpangan dapat diberikan melalui saksi ahli, catatan-catatan pada rekam medik, kesaksian perawat dan bukti-bukti lainnya.13

Apabila kesalahan atau kelalaian itu sedemikian jelasnya, sehingga tidak diperlukan kesaksian ahli lagi, maka hakim dapat menerapkan doktrin “Res ipsa Loquitur”. Tolak ukur yang dipakai secara umum adalah sikap-tindak seorang dokter yang wajar dan setingkat didalam situasi dan keadaan yang sama.13

  • Damage (Injury)

Unsur ketiga untuk penuntutan malpraktik medic adalah “Cedera atau Kerugian” yang diakibatkan kepada pasien. Walaupun seorang dokter di rumah sakit dituduh lalai, tetapi apabila tidak menimbulkan luka/cedera/kerugian (damage, injury, harm) kepada pasien, maka ia tidak dapat dituntut ganti kerugian. Istilah luka (injury) tidak saja dalam bentuk fisik, namum juga termasuk gangguan mental yang hebat (mental anguish). Juga apabila terjadi pelanggaran terhadap hak privacy orang lain.13

  • Direct Causation (Proximate cause)

Untuk berhasilnya gugatan ganti rugi, maka harus ada hubungan kausal yang wajar antara sikap tindak tergugat (dokter) dengan kerugian (damage) yang menjadi diderita oleh pasien sebagai akibatnya. Tindakan dokter itu harus berupa penyebab langsung. Hanya atas dasar penyimpangan saja, belum cukup untuk mengajukan tuntutan ganti-kerugian.kecuali jika sifat penyimpangan itu sedemikian tidak wajar sehingga sampai mencederai pasien. Namun apabila pasien sudah diperiksa oleh dokter secara adekuat, maka hanya atas dasar suatu kekeliruan dalam menegakkan diagnosis saja, tidaklah cukup kuat untuk meminta pertanggung jawaban hukumnya.13

Perlu ditekankan bahwa unsur-unsur tersebut berlaku secara kumulatif, yang artinya harus terpenuhi seluruhnya karena satu dan lainnya saling berkaitan dan saling melengkapi. Ukuran yang digunakan untuk culpa (kelalaian) ini bukanlah orang/dokter yang paling hati-hati, melainkan culpa lata itu sendiri. Hal ini mengharuskan kita untuk kembali mengacu pada SPM. Culpa lata tidaklah tergolong pada tindakan perdata, tetapi tergolong pidana. Perkara yang hanya memenuhi culpa levis dan tidak dikenai hukuman pidana, akan ditampung dalam hukum perdata dan hukum disiplin tenaga kesehatan.12

Secara yuridis penilaian atas tindakan dokter bukanlah berdasarkan hasil (resultaatverbitenis), melainkan berdasarkan usaha ataupun upaya yang sebaik-baiknya (inspanningverbintenis). Jadi, jika dokter telah bekerja sebaik-baiknya berdasarkan standar profesinya dan mendapatkan informed consent dari pasien maka secara umum tidak ada tindak pelanggaran hukum maupun hak asasi manusia. Dengan kata lain, dokter tersebut bebas dari hukuman baik pidana maupun perdata, tetapi semuanya itu tentu saja harus melewati proses peradilan terlebih dahulu. Sehingga, dari sebuah kepustakaan dinyatakan bahwa hanya beberapa kasus saja yang dapat digolongkan pada malpraktik, lainnya dapat berupa kelalaian ataupun berupa kecelakaan medik (ataupun memang risiko dari proses pembedahan).12

Share
       
bambangHubungan Dokter dan Pasien
read more